Temu Pastoral (TePas) adalah kegiatan rutin setiap tahun, yang diselenggarakian oleh Keuskupan Agung Jakarta, bagi para imam dan diakon. Para Propinsial, yang para konfratresnya berkarya di lingkungan KAJ, baik yang di paroki maupun di sektor-sektor non-parokial, diundang pula. TePas adalah sebagai ajang untuk “sharing pengalaman pastoral; mendalami salah satu atau salah dua bidang pastoral yang terkait dengan keputusan Sinode KAJ; membangun semangat kebersamaan; pembekalan bersama oleh pihak hierarki; rekreasi atau relaks bersama; dlsb. Bagi banyak imam dan diakon, khususnya yang diutus oleh Tarekat-tarekat Religius Imam (di KAJ ada 20 Tarekat Imam) berkarya di KAJ dengan rentang waktu 2 – 3 tahun, TePas telah menjadi kesempatan untuk mengenal salah satu aspek pastoral yang sedang diberi fokus perhatian oleh KAJ.
Bapak Uskup, dalam hal ini Yulius Kardinal Darmaatmaja SJ beserta anggota Kuria Keuskupan, pada umumnya setia menjadi peserta TePas. Kepanitiaan yang menjadi moderator atau “steering committee” TePas yang diadakan selama 4 hari, 3 malam, ditunjuk secara bergiliran — bisa oleh kelompok Imam sedekanat (ada 8 dekenat untuk 60 paroki), oleh Forum Deken dan Wakil Deken; oleh para Imam yang mempunyai tugas-pelayanan di sektor tertentu, dlsb. TePas diadakan dalam 2 kelompok. Dari pengalaman selama 3 tahun terakhir ini, pesertanya setiap kelompok lebih dari 100 imam atau diakon.
Sudah beberapa tahun terakhir ini TePas diadakan di ViaRenata, sebuah kompleks dari Resort Hotel dan Bungalows untuk berbagai macam kegiatan.ViaRenata terletak di desa Cimacan, setelah Puncak Jawa Barat.Yang jelas para imam dan diakon, serta panitia, telah dimanja oleh yang empunya ViaRenata maupun oleh fasilitas yang memang tepat untuk pertemuan dan acara-acara relaks.
Tema besar TePas 2008 ialah “MENGGAPAI MASA DEPAN GEREJA BERSAMA ORANG MUDA KAJ” alias Pastoral OMK. Kita tidak mengundang seorang pakar satu pun yang berbicara tentang OMK dengan segala nilai perkembangan dan persoalannya. Semua menjadi pakar alias berangkat dari pengalaman masing-masing dalam pendampingan OMK Keuskupan Agung Jakarta, baik yang di lingkup paroki maupun non-paroki (pelajar; mahasiswa-mahasiswi karyawan- karyawati muda; profesionalis muda; aktivis; dlsb.). Memang tidak berhenti pada kebiasan shorang-shering saja….lebih jauh dengan bimbingan dari SC dan Seksi Kepemudaan KAJ yang cukup ketat, para peserta telah diarahkan untuk mencermati permasalah demi permasalah OMK, sekaligus mengembangkan intuisi mana penggapaian untuk masa depan Gereja hendak dikembangkan. TePas bukanlah RaKer atau Rapat Kerja …. namun juga bukan sekedar “memuntahkan” sebanyak mungkin permasalahan, yang biasanya menimbulkan perasaan pesimis saja. Dengan mengundang aktivis OMK, baik yang terang-terangan berlebel Gerejani maupun yang tidak jelas-jelas atas nama “iman katolik” dan berlebel Gerejani, lebih dari 200 imam dan diakon yang berkarya di KAJ telah sangat dibantu untuk memasuki permasalah Pastoral OMK secara lebih dalam dan luas. Pada pengalaman ini, para imam dan diakon dipertemukan dengan personiil-personiil OMK yang sungguh variatif dan terkadang sungguh mengagetkan. Mengapa tidak? Banyak dari mereka ini menyatakan dengan terang-terangan,
- “Saya jarang ke Gereja, karena bosan dengan rutinitas, karena khotbah-khotbah yang tidak memberi inspirasi untuk kiprah di tengah-tengah masyarakat dan hanya mengulang-ngulang yang diceriterakan oleh KS saja”;
- “Dalam hidup saya yang ada hanyalah meraih sukses, karena itulah yang terjadi juga di antara teman-teman muda seumur saya”; pernyataan seorang karyawan bank.
- “Saya seorang wartawati, yang tidak sreg memakai nama baptis, dan meskipun saya bekerja di Jakarta, tetapi setiap week-end saya pulang ke Yogyakarta dan jarang ke gereja”;
- “Saya tidak tahu saya ini masuk paroki mana, apalagi kenal dengan Pastor paroki, karena saya sehari-hari suka ikut demo, termasuk yang di Monas pada tanggal 1 Juni 2008 lalu. Saya berasal dari Gombong dan saya seorang freelance dalam tulis-menulis dan membuat mini film untuk TV luar negeri”, dst….dari sekian personiil OMK yang diundang dan ditanggap dengan metode “talk-show” atau “dialogue interactive”
Dari dirinya penjenjangan umur, dari umur 13 tahun s/d 35 tahun dan belum menikah, adalah sesuatu yang bersifat tetap. Artinya ketika jaman Yesus sampai jaman kita, ya memang manusia bertumbuh-berkembang dari masa kanak-kanak menuju ke dewasa…trus mati. Apa yang baru dari
proses seperti ini? Namun, yang menarik justru OMK tidak bisa digeneralisir seperti diungkap oleh Kitab Pengkhotbah, “…segala sesuatu adalah sia-sia” (1:2). Ditemukan fakta bahwa secara umum OMK
tidak lepas dari kecenderungan instant, hedonistis, materialistis, acuh-tak-acuh alias indifferentis, tidak mandiri meskipun dijejali dengan berbagaigacam kurikulum pendidikan formal, dlsb. Dengan kata lain, perlulah OMK mendapatkan pendampingan untuk menemukan nilai-nilai hidup, syukurlah menemukan vitalitas hidup yang ada pada dirinya. Yang jelas ada “Pe eR” yang mesti dicermati khususnya oleh OMK sendiri, dengan bantuan pendamping atau pembimbing:
(1) ketika mereka berada pada umur SMP, SMA dan Mahasiswa (2) ketika mereka berada pada umur muda pasca kulian (yang beruntung bisa kuliah lho) (3) masa “panik” ketika menemukan diri “menganggur” atau “ada dalam bahaya mau di-PHK oleh perusahaan dan tidak terkecuali “panik” karena umur semakin bertambah, tetapi belum mendapatkan jodoh, yang seiman lagi.
Pada aspek ini, melalui TePas para imam dan diakon menjadi asyiiik mencermatinya. Terlebih, ketika dihadapkan pada perwakilan OMK yang sangat girang dapat berbicara di hadapan Kardinal untuk pertama kali, dan di hadapan lebih dari 100 imam sekaligus dalam 2 gelombang. Ada aktivis Serikat Pekerja, ikut paroki Santo Agustinus Karawaci), misalnya, telah mensharingkan bagaimana sebagai orang katolik yang aktif di serikat buruh sungguh harus ikut berjuang dan memperjuangkan nasib dari teman-teman buruh. Dia dengan 17.000 buruh yang memproduksi sepatu merk Nike, dalam situasi global seperti sekarang ini seperti “telur di ujung tanduk”. Mengapa? Karena dalam ukuran berapa bulan lagi mereka terancam di-PHK di dalam sistem “outsourcing” dewasa ini.Oh, ya dari 17.000 buruh ada sekitar 700 buruh katolik. Ekaristi Kudus sebulan sekali yang dilayani oleh imam dari paroki Karawaci sungguh telah memberi siraman rohani, syokor-syokor kalau mereka dibantu dengan dorongan moril, iman katolik, yang sungguh didamba.
Di lingkungan KAJ sudah lama OMK mendapatkan “ruang-lingkup” bina seperti berikut ini:
(1) Pengelompokan OKM pada tingkat keuskupan, dekenat, wilayah dan lingkungan, termasuk kelompok kategorial;
(2) Ada koordinasi pada setiap sistem atau tingkat tersebut;
(3) Melalui jalur pendidikan menengah, tinggi, sebagaimana dilakukan oleh para pastor, yang diutus oleh Tarekat atau Ordo atau KAJ sendiri;
(4) Sejak Uskup Soekoto telah dialokasikan dana sebanyak 5% dari kolekte untuk pembinaan OMK di paroki, selain itu ada Dana Pembinaan Generasi Muda (DPGM) yang diorganisir oleh Seksi Kepemudaan KAJ;
(5) Sekretariat- sekretariat mahasiswa, seperti wisma mahasiswa, tak terkecuali yang di UI Depok;
(6) Kelompok-kelompoki kategorial, seperti Choice, Peragi, Persatuan Pelajar Katolik di Sekolah- sekolah Negeri (PERSING) yang dilayani oleh para freter SJ, PERSIKA oleh pastor dan frater Xaverian, Imago Dei bersama Bidang Kepemudaan oleh Badan Pelayanan Karismatik KAJ, dlsb. ;
(7) Sentuhan pendampingan OMK melalui pendidikan formal, melalui Yayasan-yayasan Kanisius, Fransiskus, Strada, Seminari Menengah, dlsb.
(8 ) Dukungan konkret terhadap rumah-rumah bina, seperti Panti Samadi Klender, Rumah Retret Civita, dan banyak lain yang dikelola oleh Tarekat maupun awam.
Namun yang tidak otomatis berada di lingkup paroki atau yayasan katolik, yaitu mahasiswa-mahasiswi katolik, bagaimana dilayani? Romo Haryanto SJ, yang sudah malang melintang diutus untuk memberikan pelayanan bagi para mahasiswa selama 12 tahun, menjelaskan: di seluruh KAJ, termasuk UI Depok (ada di wilayah Keuskupan Bogor), ada sekitar 50.000 mahasiswa-mahasiswa katolik, yang 80% berasal dari luar KAJ, yang dilayani oleh 5 pastor mahasiswa (Yesuit, MSC dan Projo). Khusus
untuk daerah Grogol sampai Karawaci ada sekitar 17.000 mahasiswa-mahasiswi katolik. Mereka menghadapi berbagai tantangan dalam menghayati imannya, belum lagi para aktivis-aktivis yang berani bertarung atau “fight” di jalanan —- Nah bagaimana dari segi finansial OMK jenis ini mendapatkan dukungan? Tidak otomatis turut menikmati 5% kolekte di paroki-paroki.
Sering kita dengar bahwa “banyak umat katolik, khususnya orang mudanya, pada menyeberang alias pindah Gereja”, “ada yang mengatakan bahwa semakin banyak orang muda tidak tertarik pergi ke gereja, karena pada umumya khotbah para pastor kurang menarik dibandingkan khotbah para pendeta” (karena itu di antara imam juga cenderung uring-uringan, karena mata kulaih homelitik di dalam formasi para calon imam kurang diperhatikan) , dlsb. Bila tidak dikonfrontir dengan data-data atau kesaksian langsung dari yang langsung terjud di dalam pelayanan OMK, hal seperti ini cenderung menjadi “hearsay evident”. Nah, dalam TePas, para peserta diberi kesempaan untuk mengadakan “Talk-Show” dengan imam-imam yang dekat dengan OMK:
- Romo Anggras MSF (paroki Jagakarsa – koodinator pelayanan OMK Dekenat JakSel): benarkah kaum muda tidak ke Gereja lagi? Jawab: tidak benar. Ada yang tidak hadir, tetapi prosentasenya kecil. Kalau ada Misa, banyak OMK yang hadir. Kita harus mempunyai tanaga ekstra dengan OMK, karena mereka seperti “kalong” (= kelelawar yang keluar malam dan siangnya tidur), yang suka ngumpul justru pada malam hari….. untuk itu perlu mediasi yang tepat, misalnya melalui rujakan, minum kopi, dlsb……. setelah itu barulah memasuki masalah-masalah yang lebih mendalam.
- Rm Teguh SJ (paroki Cililitan – koordinator pelayanan OMK Dekenat JakTim): terlalu ekstrim bahwa OMK tidak tertarik pada Gereja – ada kelompok-kelompok minat yang membawa mereka OMK untuk tetap aktif; kesulitan bagi yang tidak ke Gereja, karena kuliah, acara pribadi serta acara-acara lain.
- Rm Susilo Suwarno MSC (paroki Kemakmuran – Choice): Misa bila dilakukan secara lebih “persolaized”, misalnya dengan diawali dengan sharing, dan ditujukan sungguh untuk OMK, maka tidak masalah. Supaya menarik bagi OMK, haruslah berasal dari mereka. Ada asumsi bila program dari “mereka” (bawah), barulah menarik; tetapi bila program itu dari “atas” (bukand dari mereka), maka tidak menarik. Team Choicer sebelum pergi ke luar mengadakan acara “kick-out”, Misa bersama dan untuk mereka ini, lalu melalui milist banyak yang datang.
- Rm Danto Pr (dari UniKa Atmajaya): setiap hari ada Misa dan disiapkan oleh kelompok-kelompok; ada 3 Misa besar, yang dirayakan di Sport-Hall dengan pesert sampai 1000 – 1500; Misa harian dihadiri kurang lebih 50 umat, termasuk para dosen, dlsb.
- Rm Heri SJ (Civita – sudah 6/7 tahun): religiusitas semakin menurun, sehingga menyelenggarakan retret tidak semakin mudah — yang serius justru anak-anak yang bukan katolik, yang katolik tidak serius, mungkin merasa “jago kandang”. Yang kurang berminat maunya santai, nyanyi-nyanyi saja ……sulit diajak masuk kepada kedalaman.
- Rm Treka Pr (paroki Cikarang – koordinator pelayanan OMK Dekenat Bekasi): orang muda adalah bagian dari Umat Allah juga. Misa tidak menarik….pada tahun 2007 dibuktikan kebalikannya, yaitu bahwa mereka masih suka dengan Misa. Kaum muda itu dinamis dan arah geraknya luwes/fleksibel, sebab mereka bisa suka musik keras, lembut, dlsb….
Berlaku ungkapan, “Marilah kita mendekati OMK melalui ‘pintu’ mereka, dan keluar melalui ‘pintu’ Kristus”. Coba kita lihat dari kacamata mereka. Minat-motivasi OMK untuk beraktivitas sungguh bervariasi: mulai dari yang kultis-soleh- liturgis sampai yang peduli-sosial- konkret dan bahkan mempunyai link dengan teman-teman yang tidak seiman: Marilah kita simak apa yang mereka ungkapkan
- Seorang mahasiswi dari Santa Bernadet Cileduk : “Saya aktif di Gropesh, berangkat dari pembekalan di Klender. Melalui pembekalan itu, saya bener-bener mulai tertarik sama isyu tentang bagaimana kita mesti menaruh perhatrian soal sampah. Dari sini saya lalu masuk sadar bahwa ini merupakan pintu masuk untuk berelasi dengan temen-temen muda dari agama-agama lain, dari “Gempita” (= Gerakan Iman Peduli Jakarta). Dengan ini memang kayaknya saya mengalamai penurunan dalam bidang rohani karena menjadi kurang aktif di gereja. Tetapi toh ini pilihan yang lain dari temen-temen yang lebih suka nge-hedon (kata kerja dari hedonisme). Dengan Gropes maka jelas kita masuk ke soal-soal politis — dan bagaimana kita mau mengajak teman-teman untuk berkecimpung di dalam bidang politik, politik kan tidak kotor…politik kan tidak hanya yang muluk-muluk, tetapi konkret bagaimana sebagai anggota masyarakat bersama-sama peduli tentang sampah.”
- Aktivis OMK dari paroki Thomas Rasul, Bojong Indah, Dekenat Jakarta Barat II: “Motivasi kebersamaan OMK, untuk saling memberi input, kumpul juga dengan temen2 dari OMK seDekenat dan juga cari jodoh. Saya berangkat dari kegelisahan bahwa banyak temen-temen suka ngemol (= pergi ke Mall), maka ajakannya ialah membaca KS, dlsb.mengajak temen-temen untuk mengaktualisasikan iman mereka, bisa merangkul..
- Aktivis paroki Kristus Salvator, Slipi, aktivis Legio Mariae: “Suka berdoa dengan tenang, suka berorganisi; mau merasul di tengah masyarakat; berguna bagi Gereja dan masyarakat, dengan cara mengajar anak-anak marginal….”
- Aktivis kaum muda karismatik: “Tantangan hidup yang lebih baik, kita mempunyai Tuhan dan pengharapan, pengalaman doa, dlsb. Komunitas-komunitas Imago Dei menjadi tempat untuk mengekspresikan talenta-talenta, misalnya ngeband (= main band) lagu-lagu rohani….”
- Mahasiswa dari Rawamangun, aktif di Keluarga Mahasiswa/i Katolik alias KMK, Unit Selatan “Bermula dari kebingunan di Kampus, lalu saya ketemu KMK, seneng, melayani temen-temen dan ajak yang lain untuk berorganisasi. …LG monoton, dan bikin jenuh lalu mundur — politik bukanlah daerah/wilayah kami….”
Dari temen-temen muda ini, kita belajar bagaimana panggilan hidup kristiani bisa dihayati di dalam medan-kehidupan yang variatif. Memang ada pengakuan juga dari mereka yang jauh dari lingkup gereja, untuk kembali ke masa-masa sewaktu dulu pernah aktif sebagai misdinar, dlsb. Singkat kata, dalam logika “kita ini dipangil dan diutus”, OMK boleh diharapkan tetap dekat dengan “altar”, tetapi juga harus berani menjauhi “altar” yakni ketika sedang menghayati “tugas-perutusan” di tempat-tempat di mana Yesus sama sekali tidak dikenal.
Dari paroki tetangga kita dapatkan masukan bahwasannya OMK bisa kurang berkembang manakala Gereja Parokial masih begitu banyak memberi peran kepada “orang-tua”. Seakan ada pertentangan antara “orang-tua” dengan “orang-muda”, bukan? Hal ini secara jujur-terbuka dapat kita amati “siapa orang-muda” (dalam rentang waktu 13-35 tahun) sudah masuk sebagai anggota Dewan Paroki. Diperlukan sebuah gebrakan, bukan? Yaitu keberanian untuk menerima keberadaan OMK dan memberi kesempatan kepada saudara-saudari ini ambil-bagian secara penuh dalam mengGereja. Kita dapat berseloroh, bukankah Yesus itu masih termasuk OMK, buktinya ketika wafat Dia baru atau sudah berumur 33 tahun? Soekarno, Presiden I RI kita ini, mulai aktif pada umur muda, dan bahkan ketika memproklamirkan kemerdekaan RI bersama tokoh lain, baru berumur 44 tahun….dan sebelumnya sudah terbiasa diasingkan alias ditahan. Nah, apa yang keliru dengan cara mengGereja kita ini?
Yeah, mencermati OMK tidak lepas dari lagu lama yang mengatakan bahwa “Gereja di masa depan terletak di tangan-tangan kaum muda”. Nah apakah OMK hanya untuk masa depan saja, atau juga sekarang ini juga, hic et nunc, here and now!? Terobosan perlu dibuat, bila kita benar-benar mau “MENGGAPAI MASA DEPAN GEREJA BERSAMA ORANG MUDA KAJ” (tema TePas 2008). Orang muda bukanlah obyek pelayanan orang tua, yang de fakto sedang menduduki posisi yang menentukan arah hidup mengGereja. Memang ada kebiasaan-kebiasaan mengGereja yang diwarisi entah dari mana yang secara tidak kita sadari mewarnai kebijakan, arah, suasana, dlsb. kehidupan kita….sementara OMK kita seakan masih ada dalam proses “sedang menjadi”, karena itu “jangan dipakai dulu”. Buku kumpulan tulisan beberapa teman OMK, yang berjudul “Tak Menanti Sempurna. Tentang Sebuah Dunia yang ‘Gue Banget’”, oleh Tim Redaksi Agenda-18 & Komisi Kepemudaan KWI, 2005. Ungkapan iman adalah proses menjadi pengikut Yesus Kristus itu sendiri….nah, apakah ditentukan oleh umur? Demikianlah sedikit pergumulan klasik, namun juga selalu aktual.
(Note: RomoWardjito SCJ mantan deken Dekenat Jakarta Selatan yang berpindah tugas berkarya di profinsialat SCJ Jakarta)
November 13, 2012 at 5:06 pm
dulu waktu saya masih smp dan remaja saya punya kaset civita.seperti lagu child salah satunya.sekarang kalo mau cari kaset retret civita itu dimana ya?mohon informasinya