Sumber: Seri Pastoral 325 : Murid Menjadi Pemimpin – Ciri Kepengurusan Bersama Rumah Tangga Jemaat, karangan James D. Whitehead. Diterbitkan : Pusat Pastoral Yogyakarta.
Kita semua adalah murid-murid Yesus, yang bersekutu dan menyelenggarakan kehidupan bersama dengan mengGereja di paroki, dimana anggota-anggotanya mempunyai beragam bakat dan kemampuan, baik yang menonjol maupun yang kurang. Kita perlu saling memperhatikan dalam kebersamaan, Perbedaan bakat dan kemampuan membuat kita saling tergantung, namun tetap bisa bersatu karena dihadapan Allah, kita tidak terkotak-kotak, melainkan satu tubuh dengan Yesus sebagai Kepala dan kita anggota-anggotanya.
Sebagai murid Kristus, kita sangat sadar bahwa Tuhan tidak hadir secara jasmaniah di tengah-tengah kita dan menuntun kita dengan perintah nyata sebagaimana lazimnya seorang guru. Kita percaya akan kehadiran Kristus secara batiniah dan pendampingan Roh Kudus; namun perlu ada di antara kita yang merefleksikan dan menterjemahkan atau membuat keputusan bagaimana umat paroki ini akan mengikuti Tuhan. Maka kepada sekelomnpok murid yang dipandang berbakat dan terpanggil, tugas ini ‘disahkan’ dan ‘dikukuhkan’ dalam jabatan kepemimpinan dan beberapa karunia pelayanananpun dilembagakan untuk memelihara tatatertib dan melestarikan kesinambungan. Kelompok murid yang menjadi pemimpin inilah yang kita kenal dengan anggota Dewan Paroki (DP), ada yang Harian, ada yang Inti, ada yang Pleno mencakup semua pemimpin teritorial dan kategorial. Salah satu bentuk dari hasil karya mereka adalah ditetapkannya visi dan misi paroki sebagai panduan, pedoman arah dan tujuan kita meng Gereja.
Sebagaimana layaknya sebuah keluarga besar, kerumahtanggan kita perlu dikelola dengan baik. Karena Kristus sebagai Kepala Keluarga tidak hadir secara fisik, maka perlu ada yang mewakiliNya. Warisan hirarkis cenderung membuat pembedaan antara klerus (kaum tertahbis) sebagai wakil atau gantinya Kristus (Alter Christi) – dengan kaum awam. Pola ini mudah jatuh dalam bentuk kepemimpinan yang eksklusif menampilkan kekuasaan dan menganggap karya sebagai milik pribadi, sementara kaum awam memilih sikap pasif dan konsumtif. Situasi ini mengandung bahaya terhambatnya pertumbuhan para murid yang berakibat sempit serta kunonya perkembangan para pemimpin. Masing-masing pihak mudah merasa tertekan, dimanfaatkan secara sepihak dan merasa tidak bahagia, menjauh dari semangat kebersamaan dalam satu keluarga yang saling mengasihi.
Untung ada pilihan lain yang diinspirasikan warisan religius (dari Perjanjin Baru dan sumber lainnya), yaitu wakil Kristus yang berfungsi sebagai pengurus rumah tangga. Pengurus rumah tangga adalah orang yang cakap dan berpengalaman yang diberi kekuasaan dan wewenang untuk mengurus hal-hal yang perlu dalam hubungan dengan pelayanannnya kepada orang lain, yaitu tuannya dan dalam lingkup yang lebih besar, yaitu kepada seluruh rumah tangga atau umat. Dinamika kepemimpinan dan kepengurusan rumah tangga inilah cerminan khas kepemimpinan kristiani, yaituL hamba yang menjadi pemimpin yang melayani.
Maka ada baiknya jika anggota DP pleno memperhatikan pesan Yesus dalam Injil Matius 23:8-12 untuk tidak membuat diri superior terhadap warga paroki yang lain dan mengkandaskan corak kepemimpinan kristiani dalam retorika saja.
Sedang gambaran pengurus rumah tangga yang setia disampaikan dalam permpamaan Lukas 12. Cerita ini menjelaskan tiga sifat seorang pengurus rumah tangga:
- Ia bertindak sebagai seorang pelayan, bukannya sebagai pemilik atau majikan.
- Kekuatan atau keutamaan pokok seorang pengurus adalah perpaduan sifat bijaksana dan bisa dipercaya, bisa diandalkan dan berpengalaman
- Konteks kepemimpinannya adalah situasi ketidakhadiran majikan, Dia mengambil keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan ketika majikan atau pemilik rumahtidak adadi tempat, Dengan demikian wewenang seorang pengurus rumah tangga memang penuh, tetapi bersifat “pinjaman” sementara.
Perlu adanya penyegaran kesadaran terus menerus bahwa seorang pengurus rumah tangga pada hakikatnya bukanlah seorang pemilik. Sebagai umat kristiani kita sadar bahwa ciptaan dan segala hasilnya adalah milik Tuhan. Namun demikian, tanggungjawab yang dewasa memanggi kita untuk memperhatikan dan terlibat penuh dalam memelihara ciptaan itu. Kita ditantang untuk memelihara tanpa menguasai, menentukan tanpa memiliki. Godaan yang kita alami dalam setiap bentuk investasi, anrata lain ketika kita memberi perhatian secara mendalam terhadao sesuatu, kita cenderung menguasai dan ingin memilikinya. Ibara orangtua yang merasa “sakit” ketika harus mengakui bahwa anak-anak bukanlah hasil produksi dan harta milik mereka. Kematangan pribadi menuntut pemurnian yang terus menerus terhnadap cinta kasih dan keterlibatankita. Kita harus mampu mempertahankan investasi kita pada apa yang tidak kita miliki. Jangan sampai kita jatuh dalam godaan pertama unruk memiliki dan mendapatkan pamrih. Lalu godaan kedua untuk sulit meninggalkan kedudukan kita, kalau kita sudah duduk sebagai pemimpin umat, kita malas/enggan berdiri karena status dan kekuasaan ternyata enak juga untuk dinikmati. Alasan bahwa generasi penerus belum siap mengemban kepemimpinan (dan dianggap tidak pernah siap) terdengar klise dan usang.
Akhirnya para pengurus rumah tangga yang dewasa dan bertanggungjawab memperhatikan juga terselenggaranya pembinaan dengan memelihara pertumbuhan orang lain, …biasanya yang lebih muda – untuk menjadi generasi penerus mereka. Mereka juga melakukan fungsi sebagai penyembuh atas luka, kesalahan, kekeliruan dan kekurangan yang pernah terjadi, bik yang muncul dalam bentuk konflik maupun akibat kelalaian. Sehingga jikaYesus datang dan meminta pertanggungjawaban para pengurus rumah tanggaparoki, benar-benar tidak mengecewakan Guru mereka, karena telah menjadi murid yang memimpin dengan baik. Selamat memimpin, selamat melayani. (Sinta D Aswin)