Masalah lingkungan hidup akhir-akhir ini menjadi pembicaraan orang, terlebih ketika issue global warming atau pemanasan global diangkat dalam film An Inconvenient Truth karya Al Gore. Film itu menjadi salah satu pemenang piala Oscar untuk kategori dokumenter, sedang Al Gore mendapat hadiah Nobel untuk bidang perdamaian. Keduanya di tahun 2007.
Tentu, jauh sebelum itu masalah lingkungan hidup sebenarnya sudah dirasakan banyak orang, tetapi baru menjadi issue besar ketika dampaknya buruknya semakin dirasakan oleh lebih banyak orang, entah itu bumi yang makin panas, badai atau taifun, banjir, sampai makin sulitnya ramalan cuaca.
Sejajar dengan lambatnya kesadaran orang akan dampak dari masalah lingkungan hidup itu, Gereja (Katolik) pun sebenarnya relatif lambat memberi tanggapan terhadapnya, termasuk dalam merefleksikannya secara teologis. Baru menjelang akhir abad ke-20 saja Gereja mulai memasukkan refleksi tentang lingkungan hidup dalam pernyataan resminya.[1] Selain itu, belum adanya badan organisatoris yang mengurusi masalah lingkungan hidup, khususnya di keuskupan-keuskupan, memberi kenampakan bahwa issue lingkungan hidup belum menjadi issue yang mendesak bagi Gereja.
Meski sikap Gereja terhadap permasalahan lingkungan hidup tetap penting diketahui, tulisan ini tidak akan memaparkan perkara yang lebih bersifat teoretis itu secara panjang lebar. Karena tujuannya lebih bersifat praktis, tulisan ini hanya akan menguraikan beberapa pandangan dasar sehubungan dengan hal-hal itu dari kacamata iman. Bagian kedua, yang lebih penting, menawarkan beberapa program praktis yang bisa dilakukan di paroki demi lebih terwujudnya paroki yang ramah-lingkungan.
[1] Kalau menilik judul buku berjudul “From Stockholm to Johannesburg – An historical overview of the concern of the Holy See for the Environment, 1972-2002” (diedit dan diterbitkan oleh The Pontifical Council for Justice and Peace, 2003), keprihatinan dan perhatian (concern) Gereja Katolik pada masalah lingkungan hidup memang masih relatif baru. Memang, sangat mungkin bahwa sebelum tahun 1972 ada pernyataan resmi tentang lingkungan hidup, tetapi belum cukup eksplisit dan kental.
Habitus, Iman dan Harapan
Karena kepedulian adalah salah satu perwujudan cinta, yang menjadi bagian integral iman kristiani, kepedulian pada lingkungan hidup adalah perwujudan iman kristiani juga. Memang, bisa dikatakan bahwa kepedulian pada lingkungan hidup adalah ‘selangkah peduli.’ Maksudnya, kepedulian pada lingkungan hidup adalah kepedulian pada sesama manusia, tetapi tidak langsung. Tidak-langsungnya kepedulian ini berarti ganda. Yang pertama adalah tidak langsung menyangkut orang yang kongkret, karena lingkungan hidup terkait dengan banyak orang, termasuk yang tidak dikenal. Lingkungan hidup terkait dengan kepentingan umum, yang dalam kebanyakan kasus bersifat anonim. Makna kedua terkait dengan waktu. Dari sisi waktu, kepedulian pada lingkungan hidup tidak selalu langsung berarti peduli pada manusia yang ada di masa kini. Kepedulian pada lingkungan hidup biasanya lebih banyak bermakna kepedulian pada generasi mendatang.
Dari sudut itu, bisa dikatakan bahwa setiap orang kristiani sudah mempunyai modal awal untuk peduli dan melakukan langkah nyata, yaitu cinta, sekecil apa pun.
Dengan itu, peduli sampah, yang menjadi fokus gerakan peduli lingkungan hidup,[1] juga menjadi sarana sederhana penghayatan iman dan cinta. Yang juga jelas tercakup dalam kepedulian pada sampah adalah nilai disiplin dan kejujuran. Pembentukan habitus jelas membutuhkan disiplin diri. Tanpa disiplin atau pengaturan diri yang baik dari tiap-tiap orang, mustahil suatu habitus bisa terbentuk. Pun, nilai kejujuran ada di dalamnya. Hal ini terkait dengan habitus lama yang banyak dilakukan orang, yaitu bermental NIMBY (atau biasa dikenal sebagai nimby syndrome, singkatan dari Not In My Back Yard). Maksudnya, kebiasaan lama adalah membuang sampah dengan sembunyi-sembunyi, asal tidak di halaman sendiri. Ada dimensi kemunafikan disini. Karena itu, habitus menaruh dan memilah sampah diharapkan bisa menjadi pengejawantahan nyata dari nilai kejujuran itu.
Tentu, dari langkah-langkah nyata itu pun seorang kristiani bisa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga bagi pertumbuhan imannya. Dalam hal ini, harapan kristiani akan diuji, dan disana harapan itu didewasakan. ’Ujian’ harapan itu tampak dalam sifat tidak langsung dari kepedulian pada lingkungan hidup. Dalam banyak kegiatan perwujudan iman, peduli sesama biasanya bersifat langsung, dan reward-nya akan lebih mudah terasakan. Melihat orang tersenyum karena uluran tangan kita, misalnya, para korban banjir atau gempa, kita bisa terdorong lagi untuk menolong sesama. Tetapi jelas bahwa reward psikologis itu bisa mengaburkan makna harapan. Hal ini tidak tampak dalam kepedulian pada lingkungan hidup, karena yang akan ’tersenyum’ adalah generasi mendatang, yang hanya bisa dibayangkan saja.
Dimensi harapan ini memang ditekankan ketika pilihan cara peduli itu jatuh pada pembentukan habitus, seperti dicanangkan oleh para uskup Indonesia dalam Nota Pastoral KWI 2004 dan ditindaklanjuti oleh SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia) 2005. Jika menilik bahwa pembentukan habitus atau kebiasaan sosial membutuhkan waktu sekitar 10 tahun, terlebih dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi, pembentukan habitus peduli lingkungan akan menguji dan mengasah harapan kristiani. Gerakan membentuk habitus ibarat menanam pohon keras, yang buahnya baru bisa dinikmati jauh di kemudian hari.
Habitus, Sampah dan Gereja
Terkait erat dengan berbagai dimensi itulah Gereja Katolik Indonesia dengan sangat tepat menitik-beratkan pada issue pembentukan habitus baru dalam partisipasinya membangun masyarakat yang lebih baik atau berkeadaban. Selain karena sangat sejalan dengan ketiga keutamaan teologal: iman, cinta, dan harapan, gerakan pembentukan habitus juga cocok dengan kesadaran Gereja akan dirinya. Sebagai bagian dari masyarakat warga, Gereja wajib berperan serta membentuk habitus, terutama dengan penyadaran. Selain itu, habitus bersikap evolutif, dan hal ini sejalan dengan Gereja yang tidak mau melakukan revolusi sosial. Dalam tanggung-jawab inilah, Gereja selayaknya membuat gerakan yang pertama-tama didasarkan pada bidang kemampuannya dan yang kedua didasarkan pada pengandaian kemanusiaan yang tepat.
Karena pada dasarnya habitus bukanlah sekedar kesadaran, melainkan perilaku nyata, supaya makin kongkret dan terfokus, sejak tahun 2006 Keuskupan Agung Jakarta memilih –salah satunya- gerakan pembentukan habitus menaruh dan memilah sampah.[2] Gerakan ini mempunyai tujuan ganda: eksternal dan internal. Yang eksternal tentu saja terkait dengan peran nyata Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi dunia, atau sebagai garam masyarakat. Dalam hal ini, Gereja mempunyai modal institusional yang cukup, yaitu struktur dan leadership atau kepemimpinan. Perlu dicatat bahwa pembentukan habitus membutuhkan beberapa syarat penting, yaitu struktur, yang dikongkretkan dalam kepemimpinan dan pelaku-pelakunya. Struktur ini terutama berfungsi untuk membantu dan dalam arti tertentu ’memaksa’ setiap individu. Meski Gereja tidak bisa seratus persen memaksa (yang biasanya diikuti dengan sanksi nyata, karena dalam hal ini yang bisa memaksa hanyalah negara dengan hukum dan aparat pelaksananya), Gereja tetap bisa berfungsi untuk mengingatkan dan menyadarkan umatnya. Dengan struktur itu pula sebenarnya Gereja didorong tidak hanya ’menabur benih,’ melainkan juga sekaligus ’menggemburkan tanah’ agar benih yang ditabur dapat tumbuh dengan baik.
Gerakan ini tidak bertujuan sekedar untuk menghasilkan masyarakat yang peduli sampah. Secara internal gerakan ini pun bertujuan untuk lebih sehatnya (dari kacamata iman) umat basis di paroki. Gerakan habitus ibarat ’mainan’ bagi umat basis ini. Karena sampah adalah perkara sehari-hari dan setiap orang mempunyai sampah, tanpa pandang usia, gender, jabatan, suku dan agama, diharapkan gerakan pembentukan habitus menaruh dan memilah sampah bisa menjadi ’mainan’ bersama, bukan hanya untuk mempererat persekutuan, melainkan juga penghayatan iman.
Tentu juga, terkait dengan pengandaian bahwa pembentukan habitus mengandaikan struktur, gerakan pembentukan habitus yang dibuat itu pada gilirannya juga mendorong perbaikan struktur Gereja. Memang, secara struktural, dibanding dengan organisasi agama yang lain, struktur hirarkhi Gereja Katolik relatif lebih baik. Meski begitu, mengingat perkembangan jaman, perbaikan struktur internal akan sangat diperlukan, supaya potensi struktural yang dimiliki Gereja bisa dimaksimalkan. Kalau toh bukan struktur organisasinya, yang juga bisa dioptimalkan adalah kinerja struktur itu, baik dalam konteks keuskupan maupun paroki.
Yang juga bisa erat dikaitkan dengan gerakan ini adalah kaderisasi. Seperti telah dikatakan di atas, gerakan pembentukan habitus baru mensyaratkan kepemimpinan dan pelaku. Jika gerakan ini bisa melibatkan orang-muda, dan kemudian terprogram dengan baik, dengan sendirinya kaderisasi akan berjalan. Artinya, dalam berbagai kegiatan untuk menjalankan program itulah kaum muda ditempa.
Habitus, Manusia dan Masyarakat
Habitus adalah kebiasaan masing-masing orang dalam hidupnya bermasyarakat. Karena itu, habitus bukanlah kebiasaan masing-masing orang demi tujuan pribadinya saja. Habitus dibentuk dan dilakukan demi kepentingan bersama. Tentang habitus ini pun penting dicatat bahwa habitus bukanlah bersifat instinktual, yang berarti dilakukan orang sebagai manusia karena dorongan naluriahnya. Habitus itu harus dibentuk dengan suatu rekayasa. Dengan pengandaian ini, dapatlah dikatakan bahwa gerakan pembentukan habitus pun bisa bertujuan ganda: baik sosial maupun persona. Yang sosial jelas. Dalam kaitan dengan habitus menaruh dan memilah sampah, tujuan sosialnya adalah kebersihan, keindahan, kesehatan, dan dalam arti tertentu ketertiban masyarakat juga, terlebih masyarakat yang berciri modern. Pun, dalam skala waktu yang lebih jauh, habitus menaruh dan memilah sampah juga demi keselamatan generasi mendatang. Hal ini tidak perlu diuraikan panjang lebar, karena cukup jelas.
Untuk ini, struktur masyarakat, yang antara lain tampak dalam struktur dan aparat negara, punya modal sangat besar untuk pembentukan habitus. Seperti telah disebutkan di atas, karena habitus tidak bersifat naluriah, manusia harus dibantu untuk membentuknya. Dalam arti tertentu, mula-mula harus dipaksa, baik secara positif maupun negatif. Paksaan positif adalah ’iming-iming’ hadiah untuk mereka yang melaksanakan. Sementara itu, paksaan yang negatif bisa dilakukan dengan hukum dengan sanksi yang jelas dan tegas. Dalam hal ini, negara punya wewenang dan juga aparat penegaknya.
Perlunya pemaksaan itu juga terkait dengan tiga ciri kelemahan naluriah manusia, yaitu pelupa, malas atau tidak mau repot, dan egois atau hanya memperhatikan kepentingan atau keselamatannya sendiri saja. Tentu saja masing-masing orang mempunyai gradasinya sendiri-sendiri, meski secara umum bisa dikatakan begitu. Terkait dengan kelemahan naluriah ketiga itulah hukum akan memaksa orang bisa memperhatikan orang lain atau masyarakat. Dalam habitus hukum telah terinternalisasi sedemikian rupa sehingga dapat mengarahkan perilaku yang bersifat spontan. Meminjam kata-kata Santo Paulus, dengan mengacu pada kata-kata nabi Yeremia, dalam konteks ini hukum telah tertanam dalam hati dan tertulis dalam akal budi (bdk. Ibrani 10: 16, Yer. 31: 33)
Dalam kaitan dengan tiga kelemahan naluriah itu pula gerakan pembentukan habitus lalu punya dimensi personal, yaitu pendewasaan pribadi. Artinya, habitus akan membuat orang lebih dewasa. Seperti halnya habitus bersekolah membuat orang berpendidikan, gerakan pembentukan habitus menaruh dan memilah sampah mendorong orang untuk lebih dewasa dengan kepeduliannya, mengatasi keadaan naluriah kemanusiaannya. Pun, karena habitus terkait dengan disiplin, habitus menaruh dan memilah sampah bisa melatih disiplin yang lebih jauh demi kebaikan masing-masing orang. Bisa dikatakan bahwa disiplin seorang pribadi terhadap sampah menjadi cermin dari sikapnya terhadap kehidupan.
Usulan Langkah Nyata
Secara ringkas, paparan di atas mau mengatakan bahwa pada dasarnya, dengan modal iman (beserta harapan dan cinta) dan struktur yang dimilikinya, Gereja bisa berbuat sesuatu untuk masyarakat, melalui program atau gerakan yang tampak sederhana, yaitu –khususnya di Keuskupan Agung Jakarta- gerakan pembentukan habitus menaruh dan memilah sampah. Ternyata pula, jika dilakukan dengan serius dan bersama, gerakan tadi pun bisa ’menyehatkan’ Gereja. Dengan kata lain, gerakan pembentukan habitus, khususnya menaruh dan memilah sampah yang telah dijalankan, adalah ibarat pedang bermata dua, sekali ayun dua tujuan dapat dicapai, baik untuk masyarakat maupun untuk Gereja sendiri.
Perlu dicatat lebih dahulu bahwa sebenarnya masalah sampah hanyalah salah satu dari berbagai masalah lingkungan hidup di perkotaan. Selain sampah, ada masalah polusi udara, kelangkaan air bersih, kerusakan tanah, dan juga pemborosan energi. Dengan pertimbangan bahwa masalah sampah adalah masalah yang relatif lebih ’mudah’ ditindak-lanjuti oleh Gereja, terlebih karena setiap orang mempunyai sampah (sekitar 0,7 kg per hari) dan karena itu sampah tak kenal usia, tak kenal gender, tak kenal latar-belakang sosial dan agama, untuk menghadapi permasalahan lingkungan itu kita (Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta) akan mulai dari sampah. Sampah dijadikan entry point atau pintu masuk untuk menyikapi dan menanggapi masalah lingkungan hidup umumnya, serta masalah sosial yang lebih luas.
Dalam cakrawala itulah, banyak hal bisa dibuat dalam rangka mewujudkan sebuah paroki atau komunitas yang ramah lingkungan. Secara garis besar, ada tiga jenis kegiatan, yaitu (a) kampanye atau penyadaran, (b) membuat aturan pendukung, (3) aksi nyata, baik di lingkungan gereja paroki maupun di lingkungan-lingkungan. Jenis kegiatan pertama terkait dengan sifat pelupa manusia, yang butuh diingatkan dan diajak mengubah pola pikir. Yang kedua terkait dengan sifat egois manusia. Supaya bisa peduli, tidak sedikit orang harus dipaksa lebih dahulu. Aturan adalah salah satu upaya memaksa. Kemudian, yang ketiga, dikaitkan dengan sifat malas yang umum dimiliki orang. Karena itu, aksi nyata-nya diupayakan membantu orang setapak demi setapak mengatasi kemalasan atau keeengganan untuk repot. Dengan kata lain, program-program itu didasarkan pada sebuah pengandaian kemanusiaan yang jelas, dan dibuat supaya berkesinambungan dan efektif. Hanya membuat aksi kampanye, misalnya, tanpa menyediakan sarana-prasarana pendukung, habitus akan sulit terbentuk, karena melupakan kelemahan dasar manusia yang lain.
a. Kampanye
Untuk kegiatan kampanye, cara yang paling sederhana adalah membuat pengumuman lisan terus-menerus seusai perayaan ekaristi supaya umat tidak membuang sampah atau meninggalkan sampah sembarangan. Cara itu bisa diikuti dengan, sesekali, homili imam yang memimpin perayaan ekaristi. Di luar itu, pemasangan pengumuman, stiker dan poster di sekeliling kompleks gereja paroki/stasi pasti akan membantu. Syukur-syukur tampilan pengumuman dan bunyi kalimatnya menarik, supaya mudah diingat dan menyentuh. Sebagai contoh, ketika kampanye antre dilakukan, ada stiker dengan bunyi yang menarik dan gampang diingat, ”Bebek aja bisa ngantré!” dengan gambar tiga ekor bebek. Model kampanye itu bisa ditiru juga dalam konteks pembentukan habitus menaruh dan memilah sampah. Yang juga sangat mungkin dilakukan adalah sesekali dibuat artikel tentang masalah sampah dan lingkungan hidup dalam warta mingguan dan/atau majalah paroki. Tentu akan lebih baik jika ada rubrik khusus tentang lingkungan hidup disitu.
Selain itu, kampanye juga bisa dilakukan dengan ’nèbèng’ kegiatan yang dilakukan dalam kompleks paroki, misalnya, ada acara seminar, pertemuan mudika, rekoleksi bina iman remaja, bahkan juga kursus persiapan perkawinan, dan syukur-syukur dalam setiap acara yang melibatkan jumlah besar umat seperti hari ulang-tahun paroki. Perlu diingat juga bahwa kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang selalu rawan sampah. Kampanye peduli sampah tidak harus dengan keterangan panjang lebar. Cukup dengan himbauan 1-2 menit melalui MC atau pembawa acara, atau bahkan juga panitia. Jika orang diingatkan terus-menerus, niscaya juga akan berubah.
Cara ini bisa dilengkapi dengan membuat acara atau kegiatan khusus untuk kampanye, misalnya memanfaatkan hari-hari yang terkait dengan lingkungan hidup, misalnya pada tanggal 22 April yang secara internasional ditetapkan sebagai hari bumi dan 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup, dengan membuat pameran, seminar, atau juga acara yang bersifat zero waste event. Memang, meski tampak lebih bersifat simbolis dan seremonial, hal-hal ini penting untuk mengingatkan orang. Bentuknya bisa macam-macam, mulai dari lomba mewarnai untuk anak-anak, fun bike untuk mudika sampai jalan sehat untuk keluarga, tentu dengan tema lingkungan itu.
Jika cara-cara di atas hanya berfungsi mengingatkan, memang perlu juga ditambah cara yang lebih dalam untuk mengubah pola pikir. Dalam hal ini, seminar atau sarasehan khusus tentang sampah dan/atau lingkungan hidup bukan satu-satunya cara. Penjelasan dari kaca-mata iman, dengan mengambil sedikit porsi, bisa dilakukan dalam sekolah minggu bagi anak-anak, atau juga dalam bina iman remaja, juga dalam rekoleksi mudika. Karena juga menyangkut disiplin keluarga, seksi kerasulan keluarga di paroki bisa ikut mengkampanyekan dalam kegiatannya. Dengan kata lain, issue tentang sampah/ lingkungan hidup justru bisa menjadi issue yang menyatukan antar seksi di paroki, meski bukan satu-satunya kegiatan. Artinya, ada satu issue yang diusung bersama dan menjadi kaitan kerja-sama antar seksi, sementara setiap seksi tetap mempunyai kegiatan rutin.
b. Aturan Pendukung
Karena kebanyakan orang pada dasarnya tidak mudah berubah (terkait dengan kelemahan naluriah ketiga: egois atau tidak peduli orang lain), perubahan tidak bisa disandarkan hanya pada kesadaran saja. Perlulah ada unsur ’pemaksaan’ terhadap manusia. Pemaksaan ini bisa berupa pemaksaan fisik, seperti misalnya membuat pagar di pemisah jalan agar orang mau menyebarang melalui jembatan penyeberangan.Bisa juga dengan membatasi uang/budget, karena uang pada dasarnya adalah potensi kebebasan. Selain itu, pemaksaan juga bisa berupa aturan atau hukum, dengan sanksi yang jelas dan tegas. Dalam hal ini, tidak gampang bagi lembaga Gereja membuat pemaksaan fisik dalam konteks lingkungan hidup, apalagi hukum. Yang masih mungkin adalah membuat aturan yang sanksinya tidak berat, misalnya, membuat aturan tentang kebersihan bagi para pemakai ruang/gedung/aula paroki. Maksudnya, dalam perjanjian peminjaman ruang/aula, diingatkan bahwa ruang/aula harus ditinggalkan dalam keadaan bersih. Jika tidak, meski sudah ada petugas kebersihan, mereka akan mendapat surat peringatan, dan setelah ketiga kali, mereka mendapat sanksi larangan meminjam/memakai dalam kurun waktu tertentu.
Karena aturan itu bertolak dari pengandaian bahwa kebanyakan manusia itu pada dasarnya hanya mementingkan dirinya, sehingga harus ’dipaksa’ agar memperhatikan orang lain, iming-iming hadiah pun bisa masuk dalam kategori ’pemaksaan.’ Jika dalam aturan orang terpaksa karena takut sanksi atau hukuman, dalam mengejar hadiah orang ’terpaksa’ sedikit menderita dan menunda kesenangan karena mau mendapatkan hadiah (yang biasanya diandaikan sebagai bentuk kesenangan yang lebih besar). Dalam lingkup paroki, berbagai jenis perlombaan juga bisa dilakukan, entah untuk para karyawan gereja, untuk anak-anak, atau juga mudika. Supaya tidak hanya bersifat seremonial, kegiatan lomba ini harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu dan berkelanjutan, dan fokus yang dilombakan terkait dengan aksi kepedulian pada lingkungan hidup.
c. Kegiatan Nyata
Contoh-contoh kegiatan kampanye, dan didukung aturan, masih bisa diperpanjang lagi, tetapi tentu saja kampanye yang tidak diikuti dengan kegiatan pendukung hanya ibarat menabur benih tanpa mengolah tanah. Untuk itu, program yang lebih bersifat fisik dan sekaligus pembenahan struktur di paroki juga perlu dilakukan. Kegiatan yang bersifat fisik antara lain menyediakan lebih banyak tempat sampah, syukur-syukur terpilah.[3] Terkait dengan hal ini, bisa dipikirkan suatu bentuk tempat sampah itu artistik (tidak harus mahal) supaya sekaligus menambah keindahan kompleks gereja. Bisa juga dicari bentuk yang menarik supaya anak-anak juga tertarik menaruh sampah disitu. Tempat sampah berbentuk kodok, misalnya, tentu akan lebih membuat seorang anak balita tertarik daripada tempat sampah biasa.
Masih dalam penyediaan sarana tempat sampah yang terpilah, akan sangat bagus bila di kompleks gereja dibuat tempat untuk menaruh baterey bekas, yang seharusnya memang disendirikan karena termasuk sampah beracun (sampah yang mengandung B3: bahan berbahaya dan beracun), tetapi pemerintah atau masyarakat belum memfasilitasinya. Gereja Katolik bisa menjadi lembaga yang memulainya. Diandaikan, dengan jumlah baterey bekas yang lebih banyak, lembaga penampungnya bisa dihubungi dengan lebih gampang.
Kelanjutan dari sampah yang sudah terpilah tentu perlu dipikirkan. Karena struktur pengelolaan sampah publik (dari pemerintah) belum berjalan dengan baik, ada baiknya dipikirkan pula tersedianya sarana pengelolaan sampah anorganik (kertas, plastik, botol, dan sebagainya) dan pengolahan sampah organik. Yang anorganik dikelola secara sederhana agar bisa dijual atau diberikan ke pemulung dalam keadaan bersih. Kemudian, baik bila ada komposter untuk pengolahan sampah organik menjadi kompos. Pengelolaan sederhana ini sudah bisa dikatakan mengubah sampah menjadi berkah. Pemulung yang diberi barang-barang bekas anorganik dalam keadaan relatif bersih tentu lebih senang. Demikian pula, kompos yang dihasilkan bisa untuk memupuk tanaman-tanaman di kompleks gereja. Pemupukan secara organik ini pun akan banyak mengembalikan struktur tanah supaya bisa lebih menyerap air. Dengan ini pun lalu ada sumbangan untuk mengatasi problem air.
Problem air memang tidak hanya selesai dengan pemupukan organik, maka perlu upaya lain. Sehubungan dengan ini, di lingkup paroki bisa dilakukan juga pembuatan resapan air, entah yang kecil dengan cara biopori ataupun yang besar (dengan semacam bak di dalam tanah), didukung dengan pengaturan ’pembuangan’ air yang benar. Terkait dengan hal ini, sebaiknya paroki juga tidak membuat conblock penuh di tempat parkir atau halaman gereja. Selain hanya membuat panas, conblock penuh akan menghalangi air masuk dalam tanah. Karena itu, sebaiknya halaman dan tempat parkir, dengan perhitungan tetap padat/keras dan relatif bersih, cukup dengan conblock yang berlubang di tengahnya. Jika sudah terlanjur, sebenarnya tetap perlu dipikirkan agar mengubah dan memodifikasinya supaya bisa lebih ramah lingkungan.
Lebih jauh lagi, dalam kaitan dengan masalah polusi, upaya penghijauan di sekitar kompleks gereja paroki/stasi juga perlu dilakukan. Dalam hal ini, pohon-pohon yang ditanam, meski memang mungkin mengurangi lahan parkir, sangat diperlukan untuk mengurangi polusi, selain memberi keteduhan. Karena itu, yang ditanam sebaiknya pohon keras dan rindang (syukur-syukur pohon buah, supaya sekaligus memberi hasil lebih), bukan hanya pohon hias dalam pot. Yang terakhir ini kurang memberi keteduhan.
Memang, kompleks gereja (dan kapel) paroki/stasi (dan juga kompleks sekolah-sekolah Katolik) adalah target pertama dari program Gerakan Hidup Bersih dan Sehat Keuskupan Agung Jakarta. Meski begitu, karena juga bertujuan eksternal (atau ’misioner’), kegiatan yang terkait dengan masyarakat luas bisa juga sekaligus dilakukan, terutama kalau ada dana dan tenaganya. Yang bisa dilakukan misalnya adalah membuat daerah dampingan sebagai proyek percontohan (pilot project). Daerah dampingan sebagai proyek percontohan ini dilakukan juga agar umat Katolik setempat terlibat lebih aktif. Di daerah dampingan ini, ketiga jenis program bisa juga dijalankan, yaitu sampah, resapan air, dan penghijauan.
Beberapa Catatan
Beberapa jenis kegiatan yang diutarakan di atas sebenarnya barulah gagasan-gagasan dasar, yang pelaksanaannya butuh penjabaran yang lebih kongkret dan sekaligus pengembangannya. Hal-hal itu ditulis untuk memberi inspirasi khususnya bagi seksi lingkungan hidup paroki jika belum mempunyai gambaran dan gagasan tentang pekerjaannya, karena sebagai seksi sungguh baru mulai. Dalam hal ini perlulah dicatat bahwa keberadaan seksi lingkungan hidup punya peran penting agar cita-cita membangun paroki yang ramah lingkungan bisa terwujud. Tanpa seseorang yang menjadi seksi, tidak ada pelaksananya, meski mungkin saja pastor paroki dan dewan parokinya sudah mencita-citakan hal ini. Selain catatan pertama ini, sehubungan dengan usulan-usulan kegiatan tadi, masih ada beberapa catatan lain
Kedua, muara dari seluruh gagasan kegiatan itu adalah pembentukan sebuah atau beberapa buah habitus peduli lingkungan. Habitus menaruh dan memilah (syukur-syukur mengolah) sampah adalah salah satunya. Karena pembentukan habitus butuh proses yang tidak pendek dan butuh konsistensi, hendaknya sebuah kegiatan tidak hanya berhenti pada kegiatan hari itu saja, sehingga hanya berhenti pada aspek seremoni dan simbol. Tindakan yang berkelanjutan dan erat terkait dengan kegiatan yang sudah dilakukan perlu dirancang sebaik mungkin.
Sehubungan dengan hal ini, dalam cakrawala Gereja, ukuran sukses dari sebuah kegiatan bukanlah pertama-tama hasil akhirnya. Yang lebih penting adalah prosesnya. Dalam hal ini, salah satu ukuran sukses sebuah proses adalah kuntatitas (dan syukur-syukur juga kualitas) dari umat yang terlibat. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip pastoral ’gembala yang baik,’ yang ingin merangkul sebanyak mungkin umat/orang dan kelompok. Karena itu, seksi lingkungan hidup tidak boleh menjalankannya sendiri. Kegiatan yang dirancang bukan hanya pada level paroki, tetapi juga yang bisa berdampak ke lingkungan.
Masih dalam kerangka tujuan pembentukan habitus, perlu diperhatikan catatan ketiga, yaitu pentingnya fokus dan prioritas. Selain terkait dengan konsistensi dan keberlanjutan, fokus dan prioritas yang jelas, dan dilaksanakan terus-menerus, di satu sisi akan memberi daya kampanye yang besar dan di sisi lain akan ’memaksa’ orang untuk mengetahui dan kemudian mengikutinya. Hal ini tidak berarti bahwa kegiatan di luar fokus tidak boleh dijalankan. Yang dimaksud adalah bahwa kegiatan atau program yang difokuskan secara kuantitatif bisa dijalankan lebih sering dan juga merambah ke penyediaan sarana yang lebih maju, sementara kegiatan dengan fokus lain bisa bersifat sekunder. Misalnya, kalau usulan pembentukan habitus menaruh dan memilah sampah diterima untuk dijadikan fokus, kegiatan dan program tentang hal ini harus sering dilakukan dan ditindaklanjuti lebih serius, sementara itu mungkin saja kampanye tentang sumur resapan juga dilakukan, meski mungkin tidak sesering dan seintensif yang pertama. Pun, dananya juga tidak atau belum diprioritaskan.
Keempat, supaya bisa berkelanjutan, program dan kegiatan itu harus bertolak dari kemampuan paroki, termasuk kemampuan pelaksananya (misal seksi lingkungan hidup). Yang pertama-tama dimaksud dengan kemampuan paroki adalah kemampuan finansial. Program yang dibuat melebihi kemampuan finansial paroki hampir pasti akan berhenti di tengah jalan. Demikian pun, masih termasuk dalam kategori kemampuan paroki adalah kemampuan psikis. Supaya sebuah program bisa dijalankan terus-menerus dan tidak membosankan, perlulah dicari kegiatan-kegiatan yang di satu sisi menyenangkan dan di sisi lain berguna. Kegiatan yang berguna bisa dicari dengan melihat konteks kebutuhan kebanyakan umat di paroki itu. Kemudian, kemampuan pejabat seksi lingkungan hidup atau pelaksananya dalam menyediakan waktu patut pula dijadikan pertimbangan. Dapatlah dipahami bahwa seorang pekerja purna waktu (full timer) pasti berbeda dengan seorang pekerja paruh atau penggal waktu (part timer), apalagi kalau hanya bisa sesekali datang. Pertimbangan-pertimbangan ini lebih terkait erat dalam menentukan entry point atau pintu masuk yang memang realistis untuk konteks tempat dan waktu tertentu.
Kelima, yang dituntut dari seorang seksi lingkungan hidup atau pelaksana dari program peduli lingkungan hidup di paroki, adalah kreativitas, kemampuan kerja-sama dan kesabaran. Ketiga hal itu penting karena tema lingkungan hidup adalah tema yang relatif baru di lingkungan Gereja. Tradisi masih sangat awal, dan kalau toh ada masih belum terstrukturkan. Karena itu, adalah tugas seorang seksi lingkungan hidup untuk mencari berbagai kemungkinan agar kepedulian terbentuk, dengan lingkungan gereja/kapel paroki/stasi yang ramah lingkungan sebagai salah satu tolok-ukurnya. Demikianpun, kemampuan kerja-sama juga mengandaikan kemampuan melakukan lobby dengan pihak atau kelompok atau seksi lain supaya bisa menggotong tema ini bersama. Kesabaran menjadi salah satu kuncinya, karena menabur benih habitus –seperti sudah dikatakan di atas- adalah ibarat menanam pohon keras, yang membutuhkan waktu lama untuk berbuah.
Pada akhirnya, perlu sekali lagi diingat bahwa masalah lingkungan hidup semakin menjadi masalah yang mendesak. Gereja Katolik perlu menanggapinya secara lebih serius, bukan hanya dengan pernyataan, tetapi juga dengan perbuatan, apalagi kalau setia berpegang kata-kata sakti dari Santo Yakobus bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (bdk. Yak. 2: 17). Tindakan Gereja bisa bersikap struktural, dan bisa juga individual, tetapi tentu lebih baik jika keduanya punya fokus yang sama dalam pembentukan habitus. Dalam hal ini, paroki, sebagai kenampakan kongkret dari Gereja Katolik, bisa menjadi tempat persemaian yang baik bagi tumbuhnya habitus. Untuk itu, selain kesabaran, optmisme harus tetap dipertahankan. Hanya dengan optimis kita bisa berharap bahwa benih habitus yang ditabur di paroki, jika kita pelihara dan ’tanahnya’ kita olah dengan biak, niscaya, seperti kata Yesus, akan tumbuh di tanah yang baik, sehingga akan ada yang berbuah seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang tiga puluh kali lipat (bdk. Mt. 13: 8). Dengan itu pulalah, suatu paroki akan sungguh nyata mewujudkan cita-cita sebagai sakramen, atau tanda cinta Tuhan, bagi dunia sekitarnya, seperti juga pernah dicita-citakan oleh nabi Yehezkiel tentang Bait Suci yang menjadi sumber air kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya (bdk. Yeh. 47: 1-12)!
SEKSI LINGKUNGAN HIDUP PAROKI:
BEBERAPA KEGIATAN YANG MUNGKIN BISA DILAKUKAN
- kampanye masalah lingkungan hidup: polusi, kelangkaan air bersih, sampah
- mengisi rubrik media paroki
- membuat hari Minggu tertentu, sekitar 5 Juni (hari lingkungan hidup sedunia) untuk kampanye (atau 21 November hari pohon, 22 April hari bumi)
- memanfaatkan setiap kegiatan ‘besar’ paroki untuk kampanye
- aksi simbolis pada masa advent/pra-paskah: kumpulkan ‘sampah’ di paroki
- pohon natal atau gua natal dengan bahan bekas
- menjadikan lingkungan paroki yang ramah lingkungan
- menyediakan tempat-tempat sampah terpilah di tempat-tempat yang strategis, syukur-syukur menarik
- terus-menerus membuat pengumuman/mengingatkan orang agar seusai misa tidak meninggalkan sampah di gereja, dan menaruhnya di tempat yang telah disediakan
- mengingatkan semua kelompok yang membuat kegiatan di paroki untuk memperhatikan kebersihan/sampah à zero waste event
- kalau mungkin menyediakan komposter atau membuat tempat pembuatan kompos di kompleks gereja (kerjasama dengan SSP)
- melatih semua petugas/karyawan gereja
- memperhatikan kebersihan kamar-mandi/WC paroki
- membuat resapan air di lingkungan gereja/pastoran, misal dengan biopori
- mengusahakan agar tempat parkir tidak di-conblock total, tetapi dg lubang supaya air bisa merembes masuk tanah
- kampanye pergi ke gereja naik sepeda (mengurangi polusi)
- kampanye hemat listrik dan air di rumah/lingkungan gereja/sekolah katolik
- bekerjasama dengan mudika membuat kegiatan dg tema lingkungan hidup
- menghijaukan kompleks gereja
- membuat pilot project dampingan di salah satu lingkungan/RT-RW
[1] Di Keuskupan Agung Jakarta, slogan atau motto yang dipakai adalah “Taruh Sampah, Jadikan Berkah!” Kata ‘taruh’ dipergunakan untuk mengingatkan orang supaya tidak membuang sembarangan. Lebih dari itu, pada dasarnya sampah masih punya nilai, sehingga sebagian bisa dipergunakan kembali (reuse) atau didaur-ulang (recycle). Dengan itulah sampah tetap bisa menjadi berkah, baik untuk diri sendiri, untuk orang lain, maupun untuk masyarakat yang lebih luas. Untuk itu, sampah perlu ditaruh dan dipilah.
[2] Lihat tulisan saya “Membentuk Habitus Bersih dan Sehat Melalui Perhatian terhadap Sampah,” dalam A. Widyahadi Seputra dkk. (eds.), Berbuat demi Kesejahteraan Bersama, Jakarta: Sekretariat Komisi PSE/APP, LDD-KAJ dan Komisi PSE-KWI, 2007, hlm. 58-69.
[3] Untuk masyarakat tingkat ‘pemula’ pemilahan sampah organik (yang kurang lebih langsung dari alam dan akan relatif mudah kembali ke alam) dengan yang anorganik (sisa hasil produksi teknologi manusia, sukar langsung kembali ke alam) sudah cukup. Ada juga yang memilah dengan pembedaan ‘basah’ dan ‘kering,’ tetapi pemilahan ini agak mempersulit proses daur ulang. Pada masyarakat yang lebih maju, pemilahan sudah lebih dari dua.