Fiat Voluntas Tua

PEDULI SAMPAH, PEDULI SELANGKAH (Al. Andang L Binawan, SJ)

| 3 Comments

(Ringkasan dari Diskusi “Agama-agama dan Lingkungan Hidup di Jakarta” tanggal 28 Mei 2008 bertempat di Wahid Institute, Jakarta)

Agama di ruang publik adalah salah satu bahan diskusi yang tiada habis, apalagi kalau berfokus ke masalah peran agama dalam perubahan sosial. Hanya saja, kadang perubahan sosial yang dibayangkan adalah perubahan struktural yang besar, baik itu bersifat politik maupun budaya. Dengan ini, kadang orang sedikit apatis ketika melihat realitas di Indonesia, khususnya di Jakarta. Lihat saja pertanyaan ini, misalnya: bagaimana agama bisa mendorong perubahan sosial jika dalam kenyataan mengubah perilaku orang supaya tidak ‘nyampah’ saja susah!

Pertanyaan itu memang cukup sah. Indonesia dikenal sebagai bangsa religius. Lebih dari sembilan puluh persen penduduk mengaku diri beragama. Tempat-tempat ibadah, terlebih di hari-hari peribadahan, praktis penuh. Ironisnya, jika ibadah menuntut kebersihan hati, situasi kebersihan lingkungan di Jakarta masih memprihatinkan. Lihat saja laporan perkembangan MDGs 2007 yang masih belum melihat perkembangan berarti dari kondisi sanitasi di Indonesia. Lihat juga data dari Dinas Kebersihan DKI yang mengatakan bahwa 15,3 persen sampah di Jakarta, yang sudah mencapai lebih dari 27.966m3 atau sekitar 6000 ton per hari, dibuang sembarangan, seperti di jalan-jalan, di kali, dan di taman-taman kota.

Memang, para pemimpin agama pernah menyuarakan keprihatinannya pada masalah lingkungan hidup, seperti misalnya dengan menandatangani ‘Kebun Raya Charter’ pada tahun 2002. Kemudian, dalam kesempatan Konperensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 lalu, para pemimpin agama di Indonesia pun membuat pernyataan keprihatinan. Tetapi, setidaknya ada dua catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, pernyataan itu masih terlalu umum, belum menyangkut permasalahan yang kongkret terkait dengan wilayah atau daerah masing-masing. Kedua, pernyataan itu pun belum ditindak-lanjuti secara nyata menjadi rencana aksi dan program-program. Karena itu, belum tampak banyak perubahan yang didorong oleh agama-agama.

Melihat ironi itu, beberapa kelompok yang berbasis agama, seperti Wahid Institute, Maarif Institute, Gerakan Hidup Bersih dan Sehat, Kelompok Karyawan Muda Katolik, GKI Kemang Pratama, juga Conservation International, Yayasan Biru Voice, Yayasan Lantan Bentala, beraliansi membentuk Gerakan Iman Peduli Jakarta (Gempita), dan mengadakan diskusi pada hari Rabu, 28 Mei 2008 di Wahid Institute. Diskusi menghadirkan juga Ibu Endang H. Wahyuni dari Dinas Kebersihan DKI dan ibu Sri Bebassari dari Inswa (Indonesian Solid Waste Association). Beberapa pokok gagasan dirangkum dalam tulisan ini.

Nilai Agama: ‘Benih’ Yang Kurang Tumbuh

Diskusi Gempita yang lalu memang tidak bertujuan mendiskusikan pandangan agama-agama tentang lingkungan hidup. Pandangan-pandangan itu sudah diandaikan. Artinya, masing-masing kelompok saling mengandaikan bahwa kepedulian pada lingkungan hidup memang didasari oleh nilai agama masing-masing; dan bahwa nilai-nilai itu adalah ‘sumber energi’ yang sangat besar. Karena itu, yang lebih penting adalah men-sharing-kan pengalaman mewujudkan nilai itu bagi kebagian bersama. Dengan itu diharapkan potensi-potensi agama bisa digali lebih dalam dan diaktualisasikan secara maksimal dengan rencana aksi demi perubahan sosial yang lebih nyata.

Setidaknya, Bapak Fachruddin Mangunjaya, yang menjadi salah seorang ‘pemancing’ diskusi, dengan mengutip ME. Tucker, menyebutkan bahwa setiap agama mempunyai potensi 5R, yaitu (1) reference, (2) respect, (3) restraint, (4) redistribution dan (5) responsibility. Reference mengacu pada adanya Kitab Suci masing-masing sebagai landasannya. Respect berarti kemampuan untuk menghormati dan peduli pada makhluk hidup. Restraint bermakna kemampuan mengontrol diri, atau juga asketis, dan dalam konteks lingkungan hidup berarti mengekang pemborosan. Redistribution berarti kemampuan berbagi dan beramal, dan akhirnya responsibility terkait dengan kemampuan bertanggung-jawab atas dunia dan sesama.

Selain nilai, juga diandaikan dalam diskusi ini bahwa baik-buruknya perilaku manusia adalah salah satu bidang tanggung-jawab agama yang penting. Dipahami dengan sepenuhnya bahwa perilaku adalah bagian dari kebudayaan. Artinya, kebudayaan bukan hanya kesenian, benda-benda dan bahasa, melainkan juga perilaku manusia. Karena nilai agama terkait erat dengan perilaku, sumbangan agama pada perubahan sosial juga tampak dalam perubahan perilaku masyarakat yang lebih sesuai dengan keadaban publik. Sehubungan dengan perilaku yang terkait dengan sampah, yang penting dicermati oleh agama-agama adalah gejala umum bahwa hampir semua manusia punya kecenderungan ‘membuang sampah asal tidak di halaman sendiri.’ Hal ini biasa disebut sebagai sindroma nimby atau nimby syndrome, kependekan dari Not In My Back Yard. Dari kacamata agama, kecenderungan seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai kepedulian, perhatian dan kejujuran. Karena itu, sindroma itu harus diperangi.

Jika nilai-nilainya sudah diandaikan, mengapa nilai itu tidak, atau kurang, mewujud dalam tindakan atau perilaku, seperti masih maraknya kebiasaan ‘nyampah’ masyarakat kita? Ada dua jawaban besar terhadap pertanyaan ini, yaitu yang bersifat internal dan yang bersifat eksternal. Yang bersifat internal, menurut seorang peserta lain, paradigma hidup beragama kita masih terlalu surga oriented atau malah bisa disebut egois karena lebih mementingkan keselamatan diri. Keterkaitan keselamatan diri di surga dengan keselamatan sesama dan alam di dunia belum dilihat dengan seksama.

Potensi Internal

Faktor internal lain yang mempengaruhi adalah belum dimaksimalkannya potensi-potensi struktural suatu organisasi agama, meski mungkin organisasi itu relatif cair, baik untuk menaburkan suatu nilai atau gagasan, maupun untuk menumbuhkan nilai itu tadi. Tidak jarang agama terlalu mengandaikan bahwa masing-masing umatnya bisa menumbuhkan nilai itu sendiri dan secara personal, atau tanpa bantuan struktur. Dengan kata lain, setiap agama mempunyai struktur, dan pada dasarnya hal ini adalah potensi. Struktur organisasi agama pada umumnya cukup jelas. Struktur akan berfungsi pertama-tama untuk mendistribusikan informasi. Lebih dari itu, struktur pun akan membantu setiap individu mewujudkan nilainya.

Selain nilai dan struktur, agama juga mempunyai trust yang relatif baik. Trust ini sangat terkait dengan potensi nilai tadi. Dengan pengandaian bahwa bahwa para penganut agama, atau setidaknya para pemimpinnya, melaksanakan nilai-nilai yang diajarkannya, muncul suatu trust dari orang lain. Maksudnya, pengandaian itu mendasari pengandaian lain bahwa orang-orang beragama tidak akan mencari keuntungan material atau finansial dalam berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain.

Trust ini bisa dibedakan antara trust vertikal dan trust horisontal. Trust vertikal akan lebih bersifat internal karena lebih terkait dengan relasi antara pemimpin agama dengan umat atau jemaatnya. Sementara itu trust horisontal bisa bersifat internal dalam relasi antar umat dalam satu agama, bisa pula bersifat eksternal ketika berhubungan dengan umat dari agama lain, yang masing-masing mempunyai pengandaian yang sama. Dalam hal ini, salah satu hal yang berlaku universal adalah bahwa kemunafikan itu, atau ketidaksesuaian antara hati dan tindakan, dikecam dalam semua agama. Dengan kata lain, logika promosi dalam dunia dagang tidak berlaku dalam dunia agama.

Trust horisontal menjadi penting, khususnya yang eksternal, karena akan terkait lebih jauh dalam upaya mewujudkan suatu nilai atau gagasan. Perlu diingat bahwa suatu nilai tidak bisa terwujud begitu saja. Perlu ada rekayasa bersama, yang melibatkan semua poros kehidupan sosial, yaitu poros negara (yang khususnya mempunyai wewenang membuat hukum atau aturan) dan poros pasar/bisnis (yang pada umumnya mempunyai dana untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung).

Trust vertikal itu pun pada gilirannya mendasari potensi yang kedua yaitu struktur dalam organisasi agama. Meski dalam beberapa agama struktur itu, seperti misalnya dalam agama Katolik, mempunyai pembenaran teologis, pada umumnya struktur dalam agama lebih didasari oleh trust vertikal ini.

Kedua potensi ini (struktur dan trust) menjadi penting untuk digali, dikenali dan digunakan secara optimal dalam mengkomunikasikan suatu gagasan perubahan sosial. Trust akan menarik orang untuk mau menangkap gagasan itu dan bekerjsama mewujudkannya. Dengan trust biasanya orang tidak perlu bertanya terlalu jauh tentang suatu gagasan. Pendeknya, trust akan sangat meminimalkan kecurigaan yang biasa terjadi dalam relasi antar manusia. Demikian pun, struktur organisasi keagamaan akan lebih memperlancar proses penyampaian gagasan itu dan juga bentuk gerak-bersama dalam mewujudkannya.

Konteks Eksternal

Memang, kurang mewujudnya suatu nilai agama dalam perilaku juga terkait erat dengan adanya faktor eksternal. Salah satu yang paling kentara adalah bahwa dalam kasus perilaku nyampah, peran agama jelas ada dalam konteks peran elemen kehidupan sosial yang lain. Menurut dua narasumber (Ibu Sri Bebassari dan Ibu Endang), peran agama ada pada bagian penyuluhan dan penanaman nilai. Masalah sampah menyangkut lima aspek, yaitu hukum, kelembagaan, pendanaan, peran serta masyarakat dan teknologi. Wewenang dan kemampuan agama untuk aspek hukum, kelembagaan, pendanaan dan teknologi jelas sangat kecil. Agama bisa berperan besar dalam membantu penyuluhan dengan mendasarkan pada nilai-nilai yang diusungnya maupun pada trust yang relatif masih kuat dimiliki.

Hal itu pun menjadi jelas jika mencermati bahwa dua aspek pertama, yaitu hukum dan kelembagaan, adalah kekhasan wewenang pemerintah, dan dua aspek lain, yaitu pendanaan dan teknologi, ada di dalam kewenangan pemerintah dan pengusaha. Dalam hal ini, agama adalah sebuah bagian dari masyarakat, dan karena itu partisipasinya lalu terkait dengan aspek ini.

Menurut ibu Sri Bebassari, aspek peran serta masyarakat menyangkut empat hal, yaitu (a) meningkatkan kesadaran bahwa setiap makhluk adalah produsen sampah melalui pendidikan formal dan informal, (b) harus ada desain socio engineering (top down) yang dikombinasikan dengan pemberdayaan masyarakat (bottom up), (c) keterlibatan stakeholder termasuk LSM, swasta, dan sektor informal, diupayakan sejak awal perencanaan, serta (d) mekanisme pemantauan dan pengawasan pelaksanan kebijakan oleh masyarakat, misalnya pembuatan loket pengaduan di tingkat kelurahan.

Harapan ini cukup sesuai dengan gambaran peran agama dalam masalah sampah yang dikemukakan Bapak Robert Borrong. Ia mengatakan setidaknya ada lima peran yang bisa dimainkan, yaitu (a) pembentukan karakter umat yang menghargai dan peduli pada kebersihan lingkungan, (b) pengaderan para pemimpin umat yang berkomitmen pada pemeliharaan lingkungan hidup sebagai ibadah kepada Tuhan, (c) mengembangkan pemikiran teologi agama-agama yang peduli pada hak-hak lingkungan sebagai ciptaan Tuhan, (d) menyediakan bahan pembinaan terhadap umat mengenai kaitan antara iman dan kepedulian pada lingkungan hidup sebagai bahan ajar untuk pembinaan dan pendidikan umat, dan (e) membangun kerja sama lintas iman pada semua aras organisasi keagamaan, mulau dari lapisan paling kecil di jemaah atau komunitas basis sampai kepada tingkat pemimpin-pemimpin. Agar kebersamaan agama-agama ini menjadi potensi pemberi motivasi rohani kepada umat untuk bersama memelihara lingkungan hidup.

Yang Nyata Bisa Dibuat

Setelah mencoba mencermati masalah dan menggali potensi, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh masing-masing kelompok agama maupun bersama-sama secara lintas agama. Menurut pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas Kebersihan DKI yang diwakili oleh Ibu Endang, ada beberapa harapan terhadap masyarakat, termasuk kelompok agama, antara lain

  1. Upaya Pemerintah dalam menangani masalah sampah harus mendapat dukungan dari semua pihak terutama masyarakat.
  2. Kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan harus diubah menjadi kebiasaan baik yang dimulai dari diri kita sendiri sebagai anggota masyarakat seperti menaruh sampah pada tempatnya, memilah dan mengolah sampah.
  3. Beberapa Program 3R yang sudah dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan seperti Pelaksanaan program 3R melalui kader-kader PKK, Pelaksanaan program 3R kepada anak sekolah dan LAPAS, Pelaksanaan program Pil-kab (Pilah, Kumpul, Ambil Manfaatnya, Buang Sisanya ke TPA ), Pengelolaan Sampah Skala Kawasan, Pelaksanaan program 3R pada masyarakat tingkat Kelurahan dan RW merupakan upaya yang dilakukan untuk mengajak masyarakat berperan aktif dalam pengelolaan sampah.
  4. Wujud nyata peduli lingkungan terutama bagi warga Jakarta adalah dengan berperan aktif mengelola sampah.

Sejalan dengan harapan pihak pemerintah, pihak agama juga bisa mencoba lebih mewujudkan kepedulian pada sampah itu dengan beberapa upaya. Menurut Bapak Robert Borrong, setidaknya ada sepuluh hal bisa dibuat.

  1. Pembinaan keimanan umat: ini sejalan dengan pengaruh dosa, materialisme dan egoisme: melalui khotbah, Pengajian/Pemahaman Alkitab di Rumah2 Ibadah maupun dalam komunitas basis masing-masing agama.
  2. Pembinaan khusus penyadaran mengenai pola hidup sederhana yang sejalan dengan kehidupan iman. Dalam tiap jemaah perlu dibentuk kader-kader penyuluh untuk menyadarkan warga mengenai perlunya hidup sederhana/asketisme lingkungan untuk memaknai iman dalam memelihara lingkungan.
  3. Gerakan kebersihan lingkungan tempat Ibadah, rumah warga jemaah sebagai wujud dari iman. Mottonya: “Hidup bersih adalah ibadah”. Termasuk di sini mengelola sampah secara pribadi/RT. Secara khusus mengelola sampah di lingkungan rumah ibadah.
  4. Gerakan peduli pada kebersihan lingkungan sekitar: bergotong royong membersihkan selokan dari kotoran sampah, menanam pohon di tempat kosong. Memberi contoh/teladan peduli pada kebersihan dan keasrihan lingkungan sekitar.
  5. Bekerja sama dengan semua komponen dalam masyarakat menjadi mitra pemerintah meminimalkan, mengumpulkan dan mengelolah sampah agar tidak mencemari lingkungan. Yang lebih ditekankan di sini adalah kebersamaan dan kerja sama lintas iman dalam karya.
  6. Melakukan lobby dan pembinaan terhadap perusahaan yang mencemari lingkungan. Dalam hal itu komunitas agama-agama perlu mendampingi industri dan perkantoran untuk menjalani kehidupan yang peduli pada kebersihan. Sebagai kelompok produsen sampah yang besar, industri dan perkantoran perlu didampingi secara imaniah.
  7. Turut memprakarsai pelaksanaan program 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Bisa membentuk kelompok minat sendiri atau bekerja sama dengan pemerintah, perusahaan swasta dan LSM, tentu dengan memberi motivasi iman bahwa sumber daya alam harus dihemat dan dipelihara.
  8. Bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk melakukan penyuluhan tentang hidup bersih sejalan dengan keimanan anak-anak/siswa-siswa. Sebagai salah satu produsen sampah yang cukup signifikan, lingkungan sekolah perlu mendapat pembinaan para agamawan.
  9. Membentuk kelompok minat/sentra pemilahan sampah dalam lingkungan masing-masing jemaah. Khusus untuk warga jemaah yang masih menganggur atau kelompok pemuda, siswa dan mahasiswa binaan jemaah. Sekaligus pembinaan kader-kader yang menjadi penyuluh dalam jemaah.
  10. Membentuk kelompok minat/sentra untuk mengelola sampah demi memperoleh kembali manfaat yang bisa turut mendanai kegiatan keagamaan: mis. Kelompok 3R, kelompok kompos dan kelompok minat lainnya. Semacam kelompok usaha kecil yang dibina oleh agamawan. Yang terutama dibentuk bukan skillnya tetapi karakternya.

Beberapa gagasan di atas ternyata sudah ditindak-lanjuti oleh beberapa kelompok yang berbasis agama. Yayasan Buddha Tzu-Chi, misalnya, sudah berusaha memanfaatkan sampah, terutama yang anorganik, untuk membiayai kegiatan sosialnya. Hal ini pun diikuti oleh pondok pesantren Habib Saggaf di Parung, Bogor, yang juga mengelola sampah dengan baik. Beberapa pesantren lain pun telah mencoba menerapkan pesantren yang ramah lingkungan. Di samping itu, beberapa peserta diskusi juga mensharingkan beberapa kegiatan dan program yang nyata terkait dengan lingkungan hidup, khususnya sampah, dari kelompoknya masing-masing. Gereja Kristen Indonesia Kemang Pratama, misalnya, mula tahun ini membentuk semacam seksi lingkungan hidup dalam kepengurusan gerejanya.

Akhirnya: Peduli Selangkah

Paparan di atas, karena terkait dengan agama, jelas terkait dengan nilai peduli yang menjadi salah satu nilai inti banyak agama, serta upaya mewujudkannya dalam tindakan nyata. Karena terkait dengan sampah, bisa dikatakan bahwa peduli sampah adalah peduli selangkah. Sampah adalah masalah setiap orang, setiap hari. Di Jakarta, diperkirakan setiap orang memproduksi sekitar 0,7 kg sampah. Kalau peduli yang dicita-citakan oleh agama-agama adalah peduli sesama dan dunia, yang berarti peduli beberapa atau mungkin beribu-ribu langkah, peduli sampah adalah peduli selangkah, yaitu peduli pada perkara di depan mata.

Tampak gampang, memang, tetapi mengingat kelembaman manusia dan kompleksitas masalah, perlu upaya besar untuk mewujudkannya. Jika yang tampak sederhana ini saja tidak bisa, jangan terlalu berharap agama bisa mendorong perubahan sosial yang lebih besar. Peduli selangkah pada sampah bisa pula berarti maju selangkah ke perubahan sosial yang lebih besar, setapak demi setapak. Sampah lalu bisa menjadi entry point. Terkait dengan ini pun tidak boleh dilupakan bahwa sikap dan perilaku individu terkait dengan sampah adalah cerminan budaya masyarakat, dan, tentu, juga cerminan perwujudan nilai-nilai agama. Maka jelas, peduli sampah adalah juga peduli pada nilai agama dan sekaligus peduli pada sesama dan dunia. Rencana aksi nyata setiap agama untuk peduli sampah lalu menjadi sebuah keniscayaan di tengah kota Jakarta kita!***

3 Comments

  1. syalom,kami dari yayasan anugrah dasadharma yang berdomisili di cibubur ingin berbagi rasa dengan romo dalam kprihatinan kita menanggulangi masalah sampah di negara yang kita cintai ini.kesehatan,kemiskinan,pendidikan dan keterbelakangan adalah ruang publik yang lapar untuk ditekuni.kiranya melalui salam perkenalan ini dapat menjembatani hubungan kita dalam KASIH KARUNIA TUHAN KITA YESUS KRISTUS AMIN

  2. Salutem in Cristo,
    Romo, tulisannya hari ini juga mengingatkan akan kepedulian kita terhadap lingkungan.
    Saya ingin juga berpartisipasi terhadap sampah, tentunya dari lingkungan terdekat dulu.
    Mungkin romo bersedia memberi saran2 apa yg harus saya perbuat.
    Terimakasih Romo, Tuhan Yesus memberkati.
    Gusti ayu made

  3. Mari kita belajar memberi kepada Ibu Pertiwi/ Bumi dengan cara mengumpulkan biji-bijian dan menebarkan ke seluruh tanah kosong. Biji untuk bumi akan kita wariskan untuk anak cucu itu bisa di tebar di tepi rel kereta api bila melewati hutan-hutan gundul. Tidak terlalu sulit kan. Mari kita buktikan ajaran cinta kasih yang kita terima dalam kehidupan sehari-hari dari hal yang paling sederhana.

Leave a Reply

Required fields are marked *.