Orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu
Saat kami kecil, bapak dan ibu sering sekali menjamu bilamana ada kawan lama, guru, para romo atau sahabat mereka saat bertamu ke jakarta. Pasti kalau tidak makan besar di rumah dengan menu istimewa, anak-anak ikut diajak pergi makan-makan di restoran atau di hotel. Kita sih senang-senang aja, bahkan mengharap ‘tamu-tamu’ tersebut datang lagi supaya kita kebagian ‘enaknya’. Ibu selalu minta saya bertugas membungkus ‘kado-kado’ untuk mereka bawa pulang. Maklum anak paling besar. Tidak heran selalu ada stok kado bejibun di lemarinya. Kami diceritakan bagaimana para tamu agung ini, mengambil bagian dalam kehidupan bapak-ibu di masa lampau.
Kata Bapak, pengeluaran kita untuk ‘makan besar’ itu tidak sebanding dengan rasa syukur atas kebaikan mereka. Bapak selalu mengingatkan agar kita tidak lupa pada siapapun yang memberikan kebaikan kepada kita, karena melalui merekalah Yesus memberikan pertolonganNya bagi kita. Bapak ibu memang ringan tangan memberi bantuan pada yang membutuhkan, tanpa mengharapkan balasan. Jadi tidak heran kalau kedatangan para tamu ‘dewa penolong’ mereka, seperti ada ‘hutangbudi’ tak terbayar….ya ngajak nginep di rumah, ngajak makan di hotel, nganter kemana-mana, ngasih kado plus sangu lagi. No comment lah!
Rasa syukur juga lah yang mendasari tindakan kakak-beradik Lazarus saat Yesus datang lagi ke Betania. Mereka mempersiapkan perjamuan khusus. Lazarus jadi tuan rumah mendampingi sang tamu agung. Marta turun tangan sendiri melayani Yesus, tidak diserahkan pada pelayan-pelayannya. Bahkan minyak narwasttu yang sangat mahal sudah disediakan. 300 dinar mungkin senilai dengan upah kerja setahun, karena upah kerja sehari adalah 1 dinar. Jadi kalau di Jakarta upah sehari Rp 50 ribu, maka nilainya minyak wangi nya saja sekitar 15 juta !
Bisa dibayangkan meriahnya seperti apa perjamuan istimewa ini. Mereka tidak mau mencuci kaki Yesus dengan air biasa, seperti tradisi ritual Yahudi menjelang perjamuan makan. Mereka gantikan air dengan minyak wangi yang mahal harganya. Juga bukan hamba pelayan yang mencuci kaki tamunya. Justru tuan rumah yang turun tangan merendahkan diri mencuci kaki sang tamu agung. Tidak di lap dengan kain biasa, tapi dengan rambut sang tuan rumah. Ini adalah kehormatan luar biasa bagi sang tamu, dimana tuan rumah merendahkan diri setingkat ‘pelayan’ bagi sang tamu agung. First class service!
Rasa syukur akan kasih Yesus pada keluarga Lazarus karena ia bangkit dari kematian, tidak dapat digantikan dengan uang. Bahkan mereka tidak menyadari bahwa perhelatan ‘syukuran’ itu secara tidak langsung bersifat profetis; menyiratkan pesta perpisahan dengan Yesus. Itu adalah perjumpaan terakhir mereka dengan Yesus. Tidak disadari bahwa itulah kesempatan terakhir mereka menyatakan syukurnya. Bahkan pencucian kaki dengan minyak wangi itu justru menjadi pengurapan sebelum kematian Yesus. Bisa terbayang harumnya minyak narwastu 15 juta, pasti bertahan berhari-hari. Apalagi orang Yahudi tidak mengenal tradisi mandi setiap hari seperti orang Indonesia. Saya membayangkan tiga hari setelah kejadian di Betania; saat Yesus berpeluh keringat bercampur darah sambil memanggul salib, dan terjatuh berkali-kali, Ia masih mencium semerbak harumnya minyak narwastu itu. Minyak itu masih tersisa menempel sampai wafat Nya di kayu salib. Jenazah Yesus tidak sempat lagi diberi dan diurapi rempah2 waktu dikuburkan, karena sudah menjelang detik-detik mendekati hari Sabat. Keluarga ini telah ‘mempersiapkan ‘ penguburan yang layak bagi Yesus. Harumnya rasa syukur mereka mengantar Yesus di akhir hayatNya.
Reaksi Yudas pun terlihat aslinya menghadapi perlakuan istimewa keluarga Lazarus. Dasar mata duitan, ada saja alasannya untuk menyatakan pembenaran atas keberatannya menghambur-hamburkan uang. Yudas tidak bisa melihat dan merasakan rasa syukur keluarga itu padahal baru beberapa hari sebelumnya mereka mengantar Yesus membangkitkan Lazarus dari kematiannya. Mata hatinya telah tertutup walau Yesus ada bersamanya, karena hatinya sudah mati akan rasa syukur. Hanya uang yang menjadi ‘tuan’nya, ia pun rela menjual Tuannya dengan 30 keping perak. Yudas pun tidak menghargai kehadiran Yesus dalam hidupnya. Ternyata 30 keping perak itu tidak digunakan Yudas untuk orang miskin juga.
Kita bisa bermain peran seperti Maria dan keluarga Lazarus, terkesan ‘mengobral’ segalanya untuk Yesus sebagai wujud syukur. Berkorban tenaga, dana, waktu untuk menyenangkan hati Yesus; untuk mencari apa yang bisa dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada Bapa. Sebagai ungkapan syukur dari orang-orang yang telah dibebaskan dari kematian, yang hidup kembali menerima rahmat Tuhan.
Atau kita kadang terjebak bersikap seperti Yudas, kadang nyinyir juga melihat orang yang ‘boros’ untuk pelayanan Sabda Tuhan dan beralasan kenapa gak dipakai untuk orang miskin saja. Padahal kalau kita punya Rp 15 juta, juga belum tentu diberikan bagi orang miskin. Punya waktu extra, talenta luar biasa, juga tidak digunakan untuk memuliakan Tuhan. Tidak ada waktu untuk pertemuan lingkungan, atau mengunjungi mereka yang sakit dan yang kesulitan tetapi selalu ada waktu untuk nonton dan dinner or clubbing.
Maka Yesus berkata, orang miskin selalu ada pada kita; tapi kita pun tidak selalu tergerak menolong mereka, karena hati kita tertutup akan belas kasihan. Sudah mati rasa. Hati Yesus tidak melekat pada hati nurani kita, sehingga kita sulit melihat rasa syukur, sulit tergerak untuk menolong orang lain. Sulit melihat rahmat Tuhan yang ada disekitar kita.
Uang memang netral, baik 1 juta maupun 15 juta, bisa digunakan untuk berfoya-foya, ditabung untuk diri sendiri, diberikan untuk pekerjaan pewartaan Sabda atau menolong orang miskin. Uang nya netral, tangan yang pegang uang yang tidak bisa netral. Bisa panas, bisa dingin. Kalau hati Yesus melekat pada kita, maka kita tahu untuk apa resources yang telah dipercayakan kepada kita. Segala yang kita miliki baik waktu, tenaga, talenta dan dana bahkan keluarga kita hanyalah kasih karunia Tuhan.
Lazarus yang mati dan telah hidup kembali, dapat menikmati rahmat Tuhan kembali. Ia memberikan seluruh miliknya, perhatian, pelayanan, bahkan seluruh anggota keluarganya terlibat untuk memuliakan Tuhan. Lazarus terlibat dalam persiapan penguburan Yesus, sementara murid-murid lain belum menyadarinya. Bagaimana dengan kita, yang seharusnya mati karena dosa, telah mendapatkan belas kasihan Tuhan untuk hidup kembali dalam rahmatNya?
================================================================
Bacaan (Yoh 12:1-11)
“Enam hari sebelum Paskah Yesus datang ke Betania, tempat tinggal Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari antara orang mati. Di situ diadakan perjamuan untuk Dia dan Marta melayani, sedang salah seorang yang turut makan dengan Yesus adalah Lazarus. Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu. Tetapi Yudas Iskariot, seorang dari murid-murid Yesus, yang akan segera menyerahkan Dia, berkata: “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya. Maka kata Yesus: “Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu.” Sejumlah besar orang Yahudi mendengar, bahwa Yesus ada di sana dan mereka datang bukan hanya karena Yesus, melainkan juga untuk melihat Lazarus, yang telah dibangkitkan- Nya dari antara orang mati. Lalu imam-imam kepala bermupakat untuk membunuh Lazarus juga, sebab karena dia banyak orang Yahudi meninggalkan mereka dan percaya kepada Yesus.”