Yesus Kristus hidup bersama masyarakat yang tertindas oleh kekuatan politik kolonial Romawi dan kekuasaan agama Yahudi yang penuh intrik berujung mengorbankan rakyat. Namun, bagi Yesus, politik bukan untuk meraih kekuasaan, apalagi menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya tetapi politik bela rasa. Hati-Nya selalu tergerak oleh belas kasih melihat rakyat yang tertindas, menderita dan dibelenggu oleh kolonial, adat dan hukum agama. Ia tidak bisa tinggal diam menyaksikan penderitaan masyarakat papa miskin akibat ulah para pejabat agama dan penguasa politik. Walau harus berujung pada penolakan, pengkhianatan dan penyaliban, Ia tidak mundur selangkah pun berjuang atas nama komitmen bela rasa. Ia mati demi membela rakyat tanpa bermaksud mengambil keuntungan pribadi dalam perjuangannya.
Bela rasa Bela rasa dalam bahasa Inggris disebut compassion. Dalam kata ini termuat unsur menderita demi dan kerahiman. Ada dua macam compassion yakni yang bersifat aktif dan yang bersifat pasif. Secara aktif, compassion berarti mengupayakan segala sesuatu dan apa pun yang bisa dibuat untuk mengurangi beban penderitaan sesama kita dengan memberikan bantuan yang efektif dan kompeten. Secara konkret, dalam arti ini, seseorang tergerak hatinya oleh belas kasihan, lalu rela ikhlas memberi makanan, minuman, pakaian, obat-obatan dan segala sesuatu yang diperlukan untuk meringankan penderitaan orang lain. Selanjutnya, ada compassion yang sifatnya tidak aktif atau pasif, yakni memberikan pertolongan terhadap penderitaan sesama yang tak bisa dihilangkan oleh hal-hal yang kita berikan, apalagi yang bersifat fisik material. Bela rasa dalam arti ini bisa kita wujudkan manakala kita bersatu hati dengan seorang kawan yang baru saja kehilangan anggota keluarganya, entah karena meninggal dunia atau hilang. Apapun bantuan material kita tidak akan secara langsung meringankan beban penderitaannya. Namun, kehadiran kita secara tidak langsung meringankan beban derita itu.
Dalam arti ini, kita semua—apa pun iman dan agama kita—dipanggil untuk menghayati compassion ini: hadir pada orang lain yang sedang menderita dan tinggal dalam relasi hati ke hati, bahkan kendati dipisahkan oleh ruang dan waktu, jarak dan tempat. Dari hati kita yang terdalam, begitu mendengar gempa dan tsunami menimpa Jepang, kita berdoa dan berkata: Aku bersamamu. Aku memahami. Aku ikut menderita. Aku mencintaimu dengan kasih Allah sendiri. Kita melakukannya, bukan dengan kata-kata cemas yang mau menghilangkan penderitaan yang nyata dan tak terhilangkan. Terhadap para korban ledakan bom bunuh diri di masjid Mapolresta Cirebon, meski aku tak hadir di situ, aku menyerukan bahwa aku bersama para korban!Aku berdoa, bukan dengan meminta mukjizat terus agar terorisme ini berhenti—sebab rasanya mustahil mengharapkannya. Aku turut hadir secara tak berdaya bersama korban, bersama para petugas yang tak kenal lelah mencoba memberantas terorisme.
Inilah bela rasa dalam arti pasif: hadir dengan hanya memahami penderitaan. Itulah yang memberi hiburan yang mendalam. Politik bela rasa Yesus Kristus tak hanya berhenti pada bela rasa pasif, melainkan aktif, hingga Ia sendiri harus menanggung segala akibat dari pilihan-Nya, yakni menanggung sengsara dan wafat di kayu salib! Kematian di kayu salib menjadi puncak bela rasa yang tiada tara bagi umat manusia sepanjang masa.
Damai sejahtera Permenungan akan salib Yesus Kristus kian penting di tengah masyarakat dunia yang dewasa ini mendambakan damai sejahtera. Bersama para tokoh lintas agama yang menyerukan antipembohongan publik kita berdoa: Lindungilah perjalanan kami dari politik pencitraan ke politik bela rasa, dari ”penampilan baik” kepada kebenaran, dari kekuasaan kepada kelemahan. Juga dari keserakahan kepada kemurnian, dari pemberontakan kepada kerelaan mengabdi, dari kebohongan kepada kejujuran, dari ketakutan kepada kepercayaan.
Paus Benediktus VI menegaskan bahwa di tengah arus damba akan damai sejahtera, kita sedang menghadapi tiga ancaman besar terhadap perdamaian saat ini, yakni terorisme, nihilisme dan fundamentalisme. Kebenaran damai ditolak oleh terorisme yang menciptakan keadaan takut yang tidak aman di mana-mana. Terorisme merupakan buah dari nihilisme yang tragis dan ngeri. Nihilisme adalah visi bahwa tidak ada apa pun dalam kenyataan yang berharga dan berarti, termasuk manusia. Mendiang Yohanes Paulus II menulis, “Yang membunuh dengan tindakan teror adalah orang yang putus asa terhadap manusia, hidup, masa depan. Segala-galanya pantas dibenci dan dihancurkan.” Terorisme, nihilisme dan fundamentalisme melawan kebenaran. Nihilisme menolak bahwa ada kebenaran sedangkan terorisme dan fundamentalisme mau memaksakan pandangannya akan kebenaran pada orang lain.
Dalam arus situasi sosial-keagamaan seperti ini, mengedepankan politik bela rasa bukan lagi alternatif, melainkan sebuah keharusan. Para wakil rakyat menghayati politik bela rasa bila mereka menghentikan rencana membangun gedung DPR yang harganya sangat mahal, sementara masih banyak rakyat tak punya tempat tinggal! Para penegak keadilan menghukum para koruptor yang telah menilap uang negara dan para mafia pajak yang menilap uang rakyat dihukum seberat-beratnya, itulah politik bela rasa yang konkret aktual saat ini. Beranikah para elite politik dan penguasa kita, mengambil pilihan mengedepankan politik bela rasa, apa pun risiko yang harus ditanggungnya? Saat itu dilakukan, rakyat dibela dan Allah pun dipermuliakan! Selamat Paskah!
- Oleh : Aloys Budi Purnomo Rohaniwan, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
sumber:http://edisicetak.solopos.com/berita.asp?kodehalaman=h04&id=109489