Tema sidang hari ini adalah ”Mengenali Wajah Yesus di dalam keberagaman budaya”. Acara sidang hari ini diawali dengan ‘keynote speech’ dari Mgr Ign Suharyo, yg memberi pengantar tentang narasi sebagai sebuah metode.
Pewartaan dengan metode narasi lebih mengena daripada hanya menyampaikan rumusan. Paus Paulus VI dlm Imbauan Apostolik ttg Pewartaan Injil dlm Zaman Modern mengatakan: ”Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena para pengajar tadi merupakan saksi2” (No 41). Itulah sebabnya banyak orang senang dengan buku yg berisi tuturan kisah2 pengalaman pribadi yg menyentuh hati atau kisah2 jenaka yg mjd saluran utk mewariskan keutamaan2 atau nilai2 yg luhur dan mulia.
SAGKI 2o1o ini menggunakan metode narasi yaitu penuturan kisah2 pengalaman hidup yg dibaca dalam terang iman.
Mgr Suharyo menyampaikan bagaimana Injil dikisahkan dengan metode naratif. Pada awalnya, Injil itu bukan kisah melainkan berupa rumusan iman, contohnya dalam 1Kor 15:3-4: ”Kristus telah mati karena dosa2 kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan… Ia telah dibangkitkan…”.
Lama kelamaan, rumusan dalam 1Kor 15:3-4 ini menjadi kisah. Mengapa kisah? Karena kisah itu lebih menarik daripada rumusan. Contohnya saja adalah rumusan iman bahwa Yesus wafat. Peristiwa ini kemudian dikisahkan dengan panjang dan menarik karena sungguh2 dialami, ada pengalaman kasih yg besar.
Kisah atau narasi yg menarik minat pembaca ini mempunyai ciri2nya yakni: menyampaikan maksud tertentu dan dinamis. Kisah itu menyampaikan pesan2 tertentu dan bisa jadi peristiwa yg sama bisa dikatakan lain. Peristiwa yg sama bisa bertujuan lain. Contohnya adalah kisah mengenai anak yg hilang sebenarnya bertujuan utk menjelaskan siapakah Allah. Allah adalah maharahim maka judulnya sesuai tujuannya adalah Bapa yg baik dan pengampun.
Ada pula kisah yg bermaksud utk memberi peneguhan, misalnya kisah tentang penabur. Ini diceritakan ketika murid2 mulai berkecil hati dan butuh peneguhan. Saat itu murid2 mulai berkecil hati krn banyak org mengancam hidup Yesus, maka Yesus berusaha meneguhkan para murid bahwa biji yg mati akan menghasilkan buah. Ciri kisah berikutnya adalah dinamis. Kisah itu bisa ditafsirkan secara tidak tetap sesuai dengan perkembangan jaman.
Itulah penjelasan tentang metode narasi yg mendapat contohnya dalam teks Kitab Suci.
Mgr Suharyo menghimbau agar kita pun melanjutkan Kisah Para Rasul yg berhenti sampai bab 28. Maka hendaklah ada Kisah bab 29 dst, artinya: kita mesti menulis kisah2 Injil dan ini harus berdaya guna. Kalau Yesus dulu dikisahkan lahir di kandang, sekarang ia harus lahir dalam hidup seseorang pada zaman ini. Untuk itu peserta diminta ber narasi, yaitu narasi mengenai pengalaman berbuat baik (dalam rangka evangelisasi dan misi), bukan sekedar cerita tentang ini itu tanpa mengandung unsur kontemplasi dan aksi nyata. Untuk itu, ”melahirkan Yesus kembali” di jaman ini adalah salah satunya dengan berbuat baik. Dan perbuatan baik ini bisa dilakukan melalui relasi dengan kebudayaan, agama-kepercayaan lain dan realitas kemiskinan.
Mgr Suharyo menambahkan, bahwa kisah yg baik selalu dimulai dengan pengalaman perjumpaan dengan Jesus yang menimbulkan resolusi. Hasil resolusi ditindak lanjuti menjadi revolusi. Berkat perjumpaan dengan Allah, kemudian ada niat untuk berubah dan membarui diri terus-menerus.
Setelah penyampaian pengantar tersebut, peserta sidang mendengarkan narasi tertunjuk dari keuskupan Sintang (Hendrika), Pangkalpinang (Maria Florida Bunga Makin) dan Bogor (Adi Kurdi). Kemudian peserta masuk dalam kelompok. Tiap2 peserta menyampaikan narasinya dalam kelompok sesuai dengan tema hari ini yaitu ”mengenali wajah Yesus di dalam keberagaman budaya”
Saat ini, peserta sedang mengikuti sidang pleno, mempresentasikan hasil sharing kelompok.
Tema narasi besok adalah ”Mengenali wajah Yesus dalam dialog dengan agama dan kepercayaan lain”.
Dari Wisma Kinasih Bogor,
Salam,
Handi s, pr