“Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka”
Ibu pernah bercerita saat bapak memutuskan meninggalkan karirnya di pemerintahan, waktu itu posisi terakhirnya sebagai pembantu menteri (Dirjen-lah kalau sekarang) dan memutuskan menjadi wiraswasta sepenuhnya, keluarga besar seperti kakak adik mereka memberikan komentar yang cukup keras juga. Maksudnya mungkin baik, sudah bagus-bagus punya karir yang pasti kok malah dilepas untuk sesuatu yang tidak pasti. Lebih baik masuk dunia pendidikan karena keluarga kita kan keturunan guru dan pendidik, gak ada yang jadi pengusaha. Apalagi di jaman itu jarang sekali etnis jawa berbisnis, lha yang warga keturunan saja masih dihitung jari – kebanyakan pedagang dari etnis padang, keturunan arab dan fihak asing. Toh akhirnya mereka berdua bertahan dan terus maju menghadapi tantangan puluhan tahun. Walhasil sejalan dengan keberhasilan mereka, banyak keponakan yang dibiayai sampai menjadi sarjana.
Demikian juga saat saya memutuskan menjajal dunia politik dengan masuk ke salah satu parpol, ada kesan’berat’ untuk bisa diterima oleh keluarga besar. Mungkin maksudnya juga karena sayang dengna saya dan tidak ingin saya kecewa, beberapa orang yang boleh dikata sesepuh mengatakan: Apa kamu yakin kamu bisa bertahan disana (politik)? Politik itu kejam, politik itu kotor … bla…bla… bla bahkan keluarga kitapun tidak ada yang terjun didunia politik. Coba pikirkan baik-baik. Saya tetap melangkah dengan mengandalkan restu suami dan bapak – waktu itu ibu sudah meninggalkan kami terlebih dulu. Tapi saya yakin ibu pasti senantiasa mendoakan dari atas sana seperti kebiasaannya berdoa dengan menyebut nama kami satu persatu setiap hari dari pagi sampai malam, baik dalam doa pribadinya maupun dalam persekutuan doa dan doa lingkungan.
Kita hidup didalam tradisi timur dimana banyak sekali pertimbangan keluarga plus keluarga besar termasuk ipar bisa menjadi ikut penentu arah dalam pengambilan keputusan. Coba lihat saja kalau ada pasangan menikah tanpa dirayakan dengan mengundang keluarga, reaksinya bisa wuaaaah.. kebanyakan sih negatif. Dibilang ‘kecelakaan’ karena malu untuk dirayakan, atau dikatakan ‘nikah siri’ dan dimadu. Bahkan dalam persiapan pesta pernikahan apalagi secara adat, tiba-tiba semua ingin bicara dan semua ingin didengar dan dituruti. Waaah… bisa sutris karena banyaknya pendapat dan pertimbangan.
Menghadapi hal demikian, patokan yang paling aman dan pasti paling benar adalah ikuti suara dan pendapat pasangan dan juga dengar pendapat orang tua. Pasanganlah yang paling tahu kekuatan dan kelemahan kita, sedangkan orangtua juga berharap yang terbaik bagi kita dan senantiasa mendoakan anak-anaknya. Maka kalau kita memiliki pasangan dan orangtua yang senantiasa menjaga hidup doanya, pendapat mereka tentu sudah dibawa dalam doa terlebih dulu.
Seorang nabi lebih peka akan suara Tuhan yang berbicara kepadanya dengan berbagai cara. Ia harus berani bertindak berdasarkan pesan Tuhan, termasuk apa yang ada didalam Kitab Suci. Ia harus berani berkata dan melakukan seperti yang tertulis dalam Sabda Tuhan. Hanya dengan cara demikian maka karyanya bisa diterima masyarakat karena membawa manfaat bagi banyak orang, walau terkadang agak ‘melenceng’ dari pendapat kaum keluarganya. Andai saja kaum keluarganya mengerti maksud Tuhan, tentu mereka juga tidak akan menghalangi karya Tuhan melalui kita.
Apa yang dialami Yesus, orang Galilea, bisa dipahami sebagai ‘nyeleneh’ dari pakem keluarga. Orang Galilea umumnya memiliki usaha karena tanahnya subur, sehingga banyak orang tinggal dan bekerja disana. Kesuksesan dalam usaha membuat mereka kurang mendalami Kitab Suci dan berbagai hal yang berbau rohani. Maka keluarga besar Yesus agak sulit dan keberatan menerima kelakuan Yesus yang tidak memilih menjadi “tukang kayu”, tidak menjadi meubeller atau pengusaha furniture seperti keluarga Yusuf pada umumnya. Merekapun mempertanyakan darimana Yesus belajar tentang Kitab Suci dan bisa menyembuhkan orang sakit. Padahal sudah pasti Bunda Maria dan Santo Josef sungguh mendukung pelayanan anaknya karena mereka sendiri mengalami pengalaman pribadi dengan Allah pada saat menerima pewahyuan kelahiran Kristus.Maka tidak heran kalau tidak ada mujizat disekitar kaum keluarganya, karena mereka sendiri sudah tidak percaya, sudah menutup kemungkinan Allah untuk bekerja melalui mereka. Hal ini membuat Yesus kecewa tetapi tidak serta merta menjawab keinginan kaum keluarganya dan kembali ke profesi bisnis keluarganya, Ia tetap melanjutkan tugas perutusan Allah sampai selesai… sampai diatas kayu salib. Sudah selesai !
Semoga kita senantiasa terbuka atas karya Allah dan juga bersedia menanggapinya dalam berbagai karya dalam kehidupan keseharian kita sampai tugas perutusan ini selesai dan kita boleh pulang dan beristirahat. Semoga kita teguh beriman menanggapi panggilan Tuhan dengan tidak mencari ‘kehormatan dan kemuliaan’ manusia, tetapi berani bertindak demi kehormatan dan kemuliaan nama Tuhan. Kalaupun menuntut kita harus keluar dari ‘pakem’ yang umum dilakukan, mari kita senantiasa membawanya dalam doa bersama pasangan dan orang tua kita. Karena berkat dukungan doa mereka jugalah kita bisa mampu bertahan menjalankan dan membawa suara kenabian sepanjang kehidupan kita.
===============================================================================================
Bacaan Injil Mrk 6:1-6
“Kemudian Yesus berangkat dari situ dan tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia. Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.” Ia tidak dapat mengadakan satu mujizat pun di sana, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka. Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka.Lalu Yesus berjalan keliling dari desa ke desa sambil mengajar.”