“Aku mau, jadilah engkau tahir.”
Menjadi orang tersisihkan itu sungguh tidak enak. Tidak ada yang menyapa, tidak ada yang bisa dipercaya. Merasa kesepian ditengah keramaian – itulah tanda-tanda orang ‘kusta’ yang sebenarnya. Trend bunuh diri di mall dan apartemen akhir-akhir ini merupakan akumulasi dari rasa tersisihkan dan rasa kesepian ditengah orang banyak. Mengapa bisa begitu? Hal ini bisa saja terjadi karena orang-orang yang berada disekelilingnya sudah tidak peduli satu sama lain. Tinggal bersama secara fisik, tetapi tidak saling menyapa memperhatikan. Mereka yang tinggal di apartemen mungkin memiliki banyak cerita serupa. Bisa dihitung berapa kali dalam sebulan mereka bertemu muka dengan tetangga kiri dan kanannya. Begitu keluar lift, masuk ke apartemennya – tutup pintu dan tertutuplah sudah dunianya diantara tembok-tembok apartemen. Masing-masing hanya fokus pada dirinya sendiri; tanda semakin tingginya egoisme masyarakat – tidak heran kalau berujung pada berbagai kasus bunuh diri.
Persis seperti yang dialami ibu dan adik Benhur yang terkena kusta dalam film jadul “Benhur” – film favorit ibu sejak masa mudanya dan selalu membuatnya terharu setiap kali diputar ulang… duuuh…Orang kusta dikatakan orang terkutuk di dalam Perjanjian Lama. Keberadaan orang kusta akan membuat orang orang lain disekitarnya menjadi najis dan tidak layak berdoa karenanya. Sampai sekarang masih ada yang beranggapan bahwa sakit kusta adalah kutukan Tuhan karena dosanya. Karena luka-luka akibat virus kusta menimbulkan bau yang luar biasa, dan waktu itu belum ada obatnya sehingga orangpun menyingkirkan para penderita kusta. jauh dari pemukiman orang banyak. Mereka tidak boleh pergi datang berbelanja kepasar, tidak bisa jalan-jalan kemana-mana semaunya karena pasti dilempari batu oleh orang banyak agar mereka pergi menjauh. Oang kusta biasanya tinggal berkelompok demi keamanan mereka, dan bila akan melewati kerumunan orang mereka harus membawa bunyi-bunyian sebagai tanda bahwa ada orang kusta mau lewat sehingga orang lain akan menyingkir. Bila orang-orang tidak mengijinkan mereka untuk lewat, maka mereka akan dilempari batu.
Yesus tahu sekali bagaimana menderitanya orang kusta, tidak bisa belanja bahan makanan sehingga tidak mudah mendapatkan makanan. Lha ke pasar saja dilarang, mau bertani apa yang akan ditanam lha gak punya apa-apa. Mengemispun belum tentu ada yang memberi sedekah. Apalagi mendapatkan pekerjaan agar memiliki uang pembeli makanan. Mereka hanya berharap adanya kiriman makanan dari kerabatnya (kalau masih ingat) atau kemurahan hati orang-orang yang melemparkan sisa makanannya dari jauh. Maka keinginan para penderita kusta ini cuma satu: ingin mati ! Sendirian ditengah keramaian karena memang keberadaan mereka tidak diinginkan.
Itu jaman dulu, bagaimana dengan saat ini? Mendengar penuturan pengalaman hidup para ODHA, Orang Dengan HIV Aids. mengalami hal serupa seperti para penderita kusta di jaman Yesus. Bahkan mereka ditolak oleh keluarganya sendiri, dikeluarkan dari pekerjaannya, Ditolak untuk berobat bahkan ke dokter gigipun belum tentu mudah, tidak dibukakan pintu oleh tim medis saat membutuhkan pertolongan apalagi kalau akan melahirkan. Maka tidak heran kalau pada umumnya mereka sering berupaya mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Padahal menurut seorang dokter aktivis Aids, banyak sekali yang dapat kita lakukan untuk menolong ODHA menghadapi kehidupannya. Para ODHA banyak yang menerima virus bukan karena kesalahannya seperti para isteri yang mendapatkan dari suaminya. Korban transfusi darah serta bayi-baryi yang dilahirkan ODHA. Justru mereka yang dikucilkan dari masyarakat adalah penderita yang paling cepat menurun kondisinya, karena secara psikis sel-sel tubuhnya saling membunuh akibat ia sudah tidak memiliki semangat hidup. Tetapi bila ODHA diterima oleh lingkungan, mereka dapat menikmati hidup dengan layak walau perlu memahami beberapa aturan.
Mother Theresa mengatakan “Orang yang paling miskin didunia adalah orang yang tidak dikasihi”. Inilah orang kusta sebenarnya. Tanpa kita sadari kita bisa menciptakan orang-orang “kusta” disekitar kita, orang-orang yang tersisihkan karena kita idak menghargai kehadirannya, tidak dibutuhkan dan direken tidak ada. Tidak ada yang menyapa “selamat pagi, apa kabar?”. Tidak ada yang bertanya “bagaimana keluargamu?”. Tidak ada yang perduli dan bersedia mendengarkan kisah pengalamannya, apalagi memperhatikan kebutuhannya. Mungkin kita lupa kapan terakhir kali tersenyum kepadanya.
Orang-orang yang tersisihkan ini cuma butuh satu hal yaitu kasih dan Yesus memberikannya.Yesus memiliki kuasa menyembuhkan, padahal sebagai orang Yahudi bisa saja Ia menolak untuk menyembuhkan para penderita kusta karena masuk kelompok ‘tidak layak’ dilayani. Tapi Yesus mau menyembuhkan mereka yang dijauhi oleh orang-orang Yahudi. Karena mereka mendapat kasih Tuhan, maka penderita kusta itu kembali memiliki semangat hidup dan menjadi sembuh serta dapat kembali ketengah keluarga dan komunitasnya.
Inilah saatnya kita memeriksa diri, apakah tanpa disadari karena kesibukan kita menyisihkan orang-orang disekitar kita. Hubungan personal sudah tidak penting, karena yang ada hanyalah hubungan bisnis, hubungan politis dan pragmatis – hanya kalau ada maunya saja. Nothing more Nothing less. Padahal setiap perjumpaan dengan tiap pribadi pasti tidak ada yang kebetulan. siapa tahu ada maksud Tuhan bagi kita. atau bagi mereka yang kita jumpai . Bisakah kita bertanya setiap bertemu seseorang: kira-kira apa yang Tuhan mau aku lakukan baginya? Gunakan kesempatan ‘emas’ ini untuk mencari tahu dengan menangkap ‘sinyal’ dari suatu perjumpaan – kita tidak pernah tahu kapan perjumpaan berikutnya.
Disisi lain, kita sendiri juga sebenarnya najis dan tidak layak bertemu Tuhan; dosa kita telah membuat kita berbau busuk dan bisa menular ke orang-orang lain. Tapi karena kasih Tuhan, kita ditahirkanNya sehingga kita dapat seterusnya kembali kepada komunitas orang-orang beriman. Rasanya gak fair, kalau kita sebagai orang ‘kusta berdosa’ telah disembuhkan Tuhan, ternyata meng’kusta’kan orang lain dengan tidak perduli orang-orang disekitar kita.
Maka marilah kita yang sudah ‘ditahirkan’ mengikuti dan mentaati perintahNya agar nama Tuhan dimuliakan. Setelah ditahirkan kita kembali menghadap imam, kembali beribadah – baru setelah mendapat lampu ‘hijau’ dipersilahkan bersaksi ke komunitasnya. Disinilah kita belajar rendah hati dan senantiasa bersyukur atas kesembuhan pengampunan yang diterima. Tetapi kalau kita sudah ‘ditahirkan’ – sudah disembuhkan tetapi keburu sesumbar mengaku diberkati dan ‘dipilih’ Tuhan lalu sesumbar kemana-mana, kita justru jmenjauh dari karya pemulihan Tuhan karena kita akan lebih menonjolkan diri kita daripada memuliakan Tuhan Sang Penyembuh. Kita akan sesumbar berkata “Tuhan lebih mengasihi saya, nih buktinya saya sembuh kan? Karena saya sudah lakukan ini dan itu dsb.” waaah… kalau jadinya begitu ya mungkin lebih baik tidak disembuhkan saja ya?
===============================================================================================
Bacaan Injil Luk 5:12-16
“Pada suatu kali Yesus berada dalam sebuah kota. Di situ ada seorang yang penuh kusta. Ketika ia melihat Yesus, tersungkurlah ia dan memohon: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu, dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya. Yesus melarang orang itu memberitahukannya kepada siapa pun juga dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan seperti yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.” Tetapi kabar tentang Yesus makin jauh tersiar dan datanglah orang banyak berbondong-bondong kepada-Nya untuk mendengar Dia dan untuk disembuhkan dari penyakit mereka.Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa”