Bukanlah cinta sejati, bila engkau sudah membanggakan diri karena engkau rajin bekerja setiap hari, karena jati dirimu sesungguhnya bukan pada pekerjaan itu melainkan pada sikap batinmu, mengapa engkau mau bekerja?
Bukanlah cinta yang sesungguhnya, bila sebagai isteri engkau sudah rajin membuatkan teh hangat, kopi panas, untuk suamimu, namun tidak ada sepatah kata pun terucap menyapa pasanganmu, “Mas, sehat? Mau dibuatkan teh hangat?”
Bukanlah cinta yang sebenarnya, bila sebagai suami, engkau rajin mengantar isterimu ke kantor, belanja, dst, bahkan engkau pun suka diperintah. Namun engkau jarang lebih dulu menyapa isterimu, “Ma, mau diantar ke pasar?”
Bukanlah cinta sejati, bila engkau suka memberi yang terbaik pada anakmu, namun jarang sekali engkau memberikan kesempatan pada anakmu untuk berusaha membuat keputusan. Engkau memang selalu membelikan baju yang mahal, sepatu yang kuat, tas juga mewah, bahkan makananpun selalu enak, seperti di restaurant, pulang pergi sekolah juga diantar dengan mobil. Namun, tidak ada kesempatan bagi anak itu untuk mengatakan, “Mam, boleh aku naik bis kota? Papi, boleh aku naik sepeda bersama teman temanku? Papi, aku boleh pilih baju, sepatu, tas sendiri?; Mam, boleh aku nonton TV di rumah temanku? “
Bukanlah cinta sejati, bila engkau sudah merasa simpati dengan seseorang, karena kata katanya, suaranya, sikap hidup, cara berpikirnya, hobbynya itu ternyata sangat menarik dan menghibur dirimu.
Bukanlah cinta tanpa pamrih, bila engkau sudah mengampuni seseorang yang telah melukai hatimu, namun engkau balik menuntut dia, juga harus memaafkan dirimu.
Bukanlah cinta sejati, bila engkau telah berbuat baik, namun engkau hanya berharap ucapan terima kasih, sebagai tanda engkau dihargai!
Bukanlah cinta sejati bila engkau masih ingin dikatakan, “untunglah ada kamu”, meskipun engkau memang berjasa untuk hidupnya.
Bukanlah cinta yang tulus, bila engkau berbuat baik, namun engkau terpaksa karena engkau takut dinilai sebagai orang yang tidak saleh, orang yang pelit dan tidak murah hati.
Cinta yang sejati itu bukanlah pada diri kita sebagai manusia, hanya Allah, karena Allah adalah kasih. Cinta manusia selalu cinta yang kedua, karena Allah lebih dahulu mencintai kita. Karena itu walaupun cinta manusia itu lebih cenderung bersyarat, namun, kita dipanggil untuk mencintai seperti Allah mencintai. Tolok ukurnya bukan cinta manusia, melainkan tolok ukurnya cinta Allah tanpa syarat. Cinta Allah yang beresiko tinggi. Ia menganugerahkan kehendak bebas manusia untuk bertindak, namun Dialah juga yang menanggung penderitaan karena kita telah menyalahgunakan kebebasan itu untuk berbuat dosa.
Semoga Roh Kudus yang dicurahkan kita pada Pentakosta ini membuat kita mampu menggunakan kehendak bebas untuk mencintai seperti Allah mencintai. [Blasius Lasmunadi Pr]