Romo Tan, pastor yang dikenal peduli petani telah wafat kemarin di Jogya dan telah dimakamkan hari ini di Girisonta. Diantara lebih dari 500 pelayat yang datang dari Jakarta, Tangerang, Semarang, Jogya bahkan mereka yang mendoakan dari Timor Leste, saya merasakan begitu kuat kedekatan romo Tan dengan umatnya. Semangat dan pengabdiannya bagi mereka yang lemah, papa dan tersingkir ditunjukkannya kepada para penderita kusta, pengungsi timtim dan terakhir karyanya bagi petani sungguh mewarnai karya pelayanannya. Romo Tan telah selesai menunaikan tugas panggilanNya, tugas kitalah meneruskan karya romo Tan dimanapun kita berada. Selamat jalan Romo Tan, doakan kami juga setia menanggapi panggilanNya. Berikut saya bagikan sharing dari 3 imam Jesuit dari sebuah milis.
Dari Romo Andre Soegijopranoto SJ, mantan rekan kerja mengurus pengungsi Timor Timur:
Nama Tan Soe Ie pertama kali saya dengar saat saya ada di novisiat, saat menjalankan eksperimen RS di RS Sitanala Tangerang. Saya pertama heran bahwa banyak orang kusta yang menyebut nama beliau. Lama kelamaan saya mulai paham bahwa Rm Tan pernah bertugas di Tangerang dan beliau banyak membantu orang-orang Kusta di sekitar Sitanala (dan kapel Marfati) dengan memberikan pekerjaan memelihara babi. Rm Tan juga konon kabarnya pastor pertama yang datang ke komunitas “cina benteng” di Tangerang dan “mempertobatkan” banyak orang cina di sana sehingga sekarang banyak dari mereka yang telah menjadi Katolik. Cerita heroik Rm Tan yang saya dengar di RS Sitanala sangat menggugah saya sebagai seorang novis. Meskipun belum pernah bertemu, tetapi saya punya kesan yang sangat baik akan beliau.
Barangkali saya kemudian bertemu beberapa kali dalam berbagai kesempatan selama saya di Filsafat dan Teologi. Tetapi pertemuan yang mendalam terjadi saat di Teologi saya ditugasi Provinsial untuk bekerja mengurus para pengungsi Timor Leste di Timor Barat. Kembali nama Tan Soe Ie bergema di telinga saya. Banyak pengungsi yang saya jumpai bercerita tentang Romo Tan yang menyelamatkan nyawa mereka dari ancaman pembunuhan militer / milisi. Saat saya berkunjung ke Timor Leste pertama kali (yaitu saat pemakaman Rm. Dewanto dan romo-romo lain yang dibunuh), saya bertemu dan ngobrol banyak dengan Romo Tan.
Selama kerusuhan bulan Agustus-September 1999 ternyata Romo Tan memang menyembunyikan hampir 1000 an orang Timles yang lari dari kota Dili ke Dare (sekitar 60 km dari Dili), di kompleks Puslawita di mana Romo Tan bekerja. Beliau bercerita bahwa orang-orang jalan naik gunung dari Dili ke Dare karena nyawa mereka terancam, kemudian mereka minta perlindungan ke Romo Tan. Puslawita itu kompleks lembah yang maha luas: ada sungai, ada hutan di kompleks itu. Jadi, puslawita tentu saja sangat strategis sebagai sanctuary karena militer tidak akan dengan mudah melihat para pengungsi dari jalan raya di atas nya. Adanya pengungsi sejumlah 1000 an itu tentu saja mengusik kewajiban moril Rm Tan untuk memberi makan mereka.
Setiap pagi Romo Tan dengan jubah putih mengendarai truk ke Dili dan mencari beras. Sebagian beras diperoleh dari para militer teman-teman Romo Tan. Di sinilah kontroversi terjadi. Romo Tan di kalangan SJ dituduh sebagai orang yang dekat dengan militer, tetapi Romo Tan di kalangan para pengungsi diangkat menjadi pahlawan dan penyelamat mereka. Romo Tan mengatakan kepada saya, bahwa kedekatan nya dengan militer adalah demi memberi makan para pengungsi. Saat itu, saat di mana kota Dili hancur dibakar militer, hanya militer yang punya persediaan banyak beras. Semua Romo pribumi Timor Leste lari pontang panting: ada yang lari ke Timor Barat, ada yang lari ke gunung bergabung dengan gerilyawan Fretelin. Saya membuktikan bagaimana para pengungsi menganggap Romo Tan sebagai pahlawan mereka. Suatu ketika Romo Tan menginap di kantor JRS di Kupang. Sore hari, saat saya turun dari mobil dengan beberapa pengungsi yang baru saya ambil dari kamp pengungsi dan akan pulang ke Dili, tiba-tiba satu bapak berlari dan menangis tersedu-sedu dan mendekap erat Romo Tan. Begitu lama dia menangis, lalu di sela-sela isakannya, dia bercerita “Kalau tidak ada Padre (maksudnya Romo Tan), saya pasti sudah mati! Padre lah yang menyelamatkan nyawa saya dan seluruh keluarga saya”. Yang mengagumkan, Romo Tan sama sekali tidak tampak menikmati penghormatan ini. Beliau malah sibuk menyapa para pengungsi yang lain yang juga mengenal beliau. Saya merasakan ke-Yesuit-an Romo Tan justru dari hal yang praktis.
Di Kupang sebenarnya Romo Tan punya satu saudara dan banyak teman eks Timor Leste. Tetapi setiap kali datang ke Kupang, Romo Tan selalu menginap di kantor JRS yang saat itu begitu semrawut dan kotor karena urusan para pengungsi. Beliau mengatakan, “saya menginap di sini saja, di tempat karya SJ”. Dari segi penguasaan bahasa Tetum, di antara SJ Indonesia, Romo Tan lah yang paling baik penguasaan bahasa Tetumnya. Beberapa tahun kemudian, saat Romo Tan sudah pindah dan tinggal di Ponggol, saya sempat mengunjungi beliau saat ada rapat JRS Indonesia di Kaliurang. Bersama beberapa rekan JRS eks Timor Barat yang mengenal beliau, kami datang ke pastoran nya yang asri dan kami mengobrol lama dengan disuguhi ketela rebus. Beliau bercerita soal pertanian, para petani, dan tentu saja pupuk cacing nya. Selamat jalan Romo Tan. Para malaikat dan Santo Fransiskus Xaverius tersenyum menyambutmu di surga. Doakanlah kami yang masih berziarah di dunia ini.
Dari Rm Aria Dewanto SJ, romo muda asli dari paroki St Maria Tangerang:
TERIMA KASIH ROMO TAN! Tahun 1980. Usiaku waktu itu 7 tahun. Inilah awal perjumpaan saya dengan Romo Tan Soe Ie. Seorang Jesuit!. Waktu itu, saya bersama ibu pergi ke Kapel Stasi di Curug Tangerang. Untuk sampai ke Curug dari desa kami yang nun jauh, kami butuh waktu lebih kurang 3 jam. Gambarannya demikian: bangun tidur sekitar pukul 4 pagi. Pukul 5 kami mulai berjalan ke tempat ojek. Cukup sekitar 20 menit. Lalu naik ojek ke tempat colt omprengan sekitar 45 menit. Menunggu lebih kurang 30 menit. Lalu colt omprengan mulai membawa kami ke Curug sekitar 1,5 jam. Bagi saya, ini perjalanan mengasyikan. Mengingat nanti bisa bertemu Romo Tan. Cita-cita saya menjadi Imam muncul dalam periode ini. Saya ingin menjadi seperti Romo Tan.
Begitulah Ari cilik alias si Iwan berangan-angan. Peristiwa lain yang mengejutkan adalah ketika Romo Tan tiba-tiba mengunjungi rumah kami, yang kampung sekali. Udik begitulah. Bersama seorang sopir beliau datang. Apa yang beliau lakukan? Langsung ambil cangkul dan mulai ke kebun kami. Menggarap tanah. Sedangkan ibu memasak. Saya mondar-mandir ambil minuman atau makanan kecil dari rumah ke kebun untuk Romo Tan. Setelah puas bertani, Romo Tan tentu saja makan dengan lahap masakan ibu. Saya jadi ikut menikmati. Jarang-jarang toh ibuku buat menu special. Lalu Romo Tan beritahu bahwa beliau mau merayakan natal di rumah kami pada tahun ini. Beliau mau ajak beberapa suster JMJ. Oh ya, keluarga kami adalah satu-satunya keluarga Katolik di kelurahan Dangdang, Kec. Serpong. Dan janji Romo Tan itu ditetapi. Tanggal 28 Desember 1982 Romo Tan dan beberapa suster JMJ merayakan natal di rumah kami. Acara natal menjadi meriah karena kami mengundang para tetangga yang semuanya muslim. Ibu menghias pohon cemara di halaman rumah menjadi pohon natal. Bapak yang bekerja di Jakarta juga hadir. Kami berdoa, menyanyi. Sedangkan para tetangga yang lain asyik duduk dengan tenang. Para ibu yang lain sibuk memasak dan menghidangkan makanan dan minuman.
Peristiwa berlanjut. Bapakku yang waktu itu jadi sopir bus PPD di Jakarta diterima Romo Tan jadi sopir pastoran Tangerang. Arah keluarga kami pun berubah. Bapak dan ibuku yang sekian tahun terpisah karena keadaan ekonomi dapat berkumpul kembali di rumah dinas pastoran Tangerang. Aku dapat bersekolah di sekolah katolik Strada Tangerang. Kakak-kakakku yang dititipkan di asrama: Vincentius Kramat, Sindanglaya Cipanas dapat berkumpul kembali. Singkatnya, ada perubahan besar dalam keluargaku. Aku sendiri selain sekolah mulai asyik jadi “anak pastoran” alias jad misdinar; kadang bantu bapak cuci mobil pastoran dan pergi ke Selapajang beri makan babi. Tapi tugas utamaku adalah bantu ibu berjualan di kantin sekolah. Untuk seluruh situasi ini, Romo Tan berjasa amat sangat besar! Dengan kesabaran membimbing dan mencari jalan bagi perubahan keluarga kami. Romo Tan memberikan kail yang sungguh berarti bagi keluarga kami. Dan bagiku, Romo Tan adalah pribadi yang Tuhan pakai untuk menaburkan benih panggilanku sebagai Imam Jesuit. Masih banyak kisah … dan tak terhitung jasa beliau bagiku dan keluargaku.
Jumat minggu lalu tanggal 20 Februari, saya ditemani fr. Agam menjenguk Romo Tan. Sayang sekali, beliau tak bisa diajak bicara karena terlalu lelah. Kunjunganku hanya mau menyampaikan rasa TERIMA KASIH dan SALAM CINTA yang besar dari bapak dan ibuku, aku dan kakak-kakaku yang tidak bisa menjenguk beliau namun tetap mengingat beliau dalam doa-doa kami. SELAMAT JALAN ROMO TAN YANG KAMI CINTAI! SELAMAT BERBAHAGIA DALAM KESATUAN DENGAN SANG GEMBALA AGUNG. DOA KAMI MENYERTAI.
Dari Rm Wibowo SJ, eks anak didik di Seminari Mertoyudan: Saya berencana untuk mengunjungi Romo Tan pada hari Jum’at yang akan datang, ternyata dia ingin lebih cepat pergi menghadap Sahabatnya yang diikutinya dari dekat. Bagi mereka yang masuk Mertoyudan pada tahun 1965 hingga 1970, pasti kepergiannya mengejutkan. Sebagai imam muda, Rm. Tan pada waktu itu membawa kesegaran baru. Ia berjalan dengan langkah tegap, cepat, dengan tatapan wajah yang penuh percaya diri. Lain dari yang lain, itulah kesan kami. Para seminaris diwajibkan bangun pagi. Begitu bangun pagi, mereka harus lari ke lapangan. Ya, lari! Di sana dari MP sampai MU, semua harus bersenam pagi. Rm. Tan tidak suka dengan mereka yang lambat-lambat. Dia mau seminaris itu menjadi siswa yang penuh semangat dan enerjik sejak pagi. Sekali seminggu para seminaris diwajibkan untuk berenang di kolam renang Blabak. Secara bergilir dari kelas 1 sampai kelas 7, selesai makan siang, semua berjalan kaki (!) menuju Blabak, sepanjang 4 km. Ya, berjalan kaki, di tengah terik matahari.
Pada akhir semester ada kontes antar kelas, mana yang warganya seratus persen bisa berenang. Setiap hari Minggu pagi para seminaris diwajibkan untuk berlatih pencak silat, di bawah asuhan Bp. Munandir. Kami semua berlatih untuk menendang, memukul, menohok, melompat, dst. Rm. Tan ingin bahwa para seminaris menjadi laki-laki dan jantan. “Jangan menjadi squaw!” itulah kata-katanya yang selalu diucapkan. Rm. Tan sendiri memberi contoh mengolah dirinya dengan alat-alat olah raga, dan tidak malu untuk memakai kaus singlet (para pater pada waktu masih banyak yang memakai jubah!) Kalau ada seminaris yang nekad, ia tidak ragu-ragu menantang berkelahi! Rm. Tan punya visi tersendiri tentang calon imam dan imam. Ia tidak senang dengan musik klasik, yang pada waktu itu menjadi kegiatan penting di seminari. Menurut pendapatnya, musik klasik tidak ada gunanya bagi orang banyak. “Lebih baik bekerja,” katanya. Rm. Tan memulai kegiatan-kegiatan bekerja, yang belum pernah ada sebelumnya.
Dia memulai pertukangan (Don Bosco), juga pertanian. Dia mengajak para seminaris untuk bisa memakai tangannya membuat barang-barang dan juga menghasilkan makanan. Rm. Tan adalah orang yang praktis tapi sekaligus juga visioner. Dia tidak setuju dengan pemberian hadiah kepada mereka yang unggul di bidang studi. Maka pernah dicoba pada tahun 1970, tidak ada hadiah “cum laude” untuk siswa berprestasi di bidang studi. Hadiah diberikan kepada siswa yang hidupnya memberi tauladan kepada teman-teman mereka. Di angkatan saya hadiah ini diberikan kepada siswa yang kemudian menjadi Uskup Palangkaraya!
Rm. Tan melangkah lebih jauh. Dia tidak setuju bahwa majalah seminari diberi nama “AQUILA” yang menurut pendapatnya tidak berakar kepada kebudayaan Indonesia. Maka nama itu diganti dengan BAMBU, karena bambu dapat diapakai untuk segala macam kebutuhan hidup manusia. Rm. Tan kiranya ingin bahwa para seminaris maju dalam keutamaan-keutamaan yang tidak tradisional. Sebagai pengajar agama, Rm. Tan tidak mau mengajar dengan topik-topik konvensional dan dengan cara yang konvensional. Ia membahas segala sesuatu yang sedang aktual, tidak ketinggalan hal-hal yang sedang hangat. Maklum, Rm. Tan adalah Prefek Umum.
Suasana pembaruan sungguh dibawakan oleh Rm. Tan, para seminaris diajak untuk berubah. Ini sangat sesuai dengan suasana perubahan yang pada waktu itu berhembus kuat akibat Konsili Vatikan II. Jelas Rm. Tan tidak suka dengan gambaran seminaris atau imam yang tradisional dan dia menjadi pelopor dengan menampilkan diri sebagai “imam alternatif.” Rektor Seminari pada waktu itu, Rm. Carri, SJ lalu Rm. Van der Putten, SJ nampak mendukung semua yang dijalankan oleh Rm. Tan.
Beberapa dekade kemudian, ketika angkatan kami mengadakan reuni 40 tahun masuk Mertoyudan (2005), Rm. Tan diundang dan nampak betapa dia dicintai oleh kami semua. Ia masih mengingat nama kami masing-masing, bahkan ingat kenakalan kami. Setelah 40 tahun Rm. Tan tetap bersemangat seperti dulu, itulah kesan kami. Gerakan tubuhnya, pancaran matanya, kata-katanya. Saya masih sempat ke Ponggol dan semangat yang berapi-api masih terpancar dari dirinya sekalipun sudah berusia 80 tahun. Rm. Tan, selamat jalan, terima kasih atas segala inspirasi dan teladan.
February 27, 2009 at 10:27 am
Beliau Romo yang selalu total dalam setiap karya yang diembankan kepadanya. Tulus, total dan sederhana. Selamat jalan Romo Tan.
February 28, 2009 at 4:58 pm
Ada satu hal yang sungguh terkesan bagi saya mengenai pribadi Romo Tan Soe Ie, selain berjiwa sosial beliau juga sangat perduli kepada umat-umatnya yang “nota bene” bagi Romo Tan “Umat” adalah utusan Allah. Beliau berkepribadian tegas dan sederhana. Ada kebiasaan beliau untuk menyalakan lilin bila ada tamu nya yang dari luar kota hendak kembali ke kotanya sebagai lambang penyertaan Doa Beliau dalam perjalanan kebali ke tempat tamu tersebut tinggal dan beliau baru mematikan lilin tersebut bila si tamu tersebut telah selamat tiba dirumahnya.