“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.”
Menjadi orang bijaksana harusnya menjadi cita-cita semua orang. Bijaksana dalam menentukan pilihan hidup, bijaksana dalam mengambil keputusan dan juga dalam bertindak dan mengemukakan pendapat. Bisa saja orang bercita-cita untuk menjadi sukses menurut ukuran dunia tapi ia sebenarnya tidak hidup dengan bijaksana, Ukuran kebijaksanaan pun berbeda-beda tergantung pengalaman masing-masing orang. Bijaksana menurut Warren Buffet berbeda dibandingkan bijaksananya Al Gore atau Albert Einstein. Tapi rasanya kalau yang menyebut kan standard ‘bijaksana’ adalah seorang Kristus yang telah rela mati bagi banyak orang agar bisa mendapatkan ‘kehidupan’; rasanya layak dan seharusnya kita perhatikan dan gunakan sebagai standard kebijaksanaan.
Di akhir kotbahNya yang fenomenal di atas bukit, Yesus mengingatkan kualifikasi orang-orang yang bijaksana yang akan masuk dan mendapatkan bagian dalam Kerajaan Surga. Bukan mereka yang sering berdoa dan memanggil namaNya. Bukan juga mereka yang punya berbagai karunia Roh Kudus yang memiliki 6th sense dalam bernubuat, mengusir setan, membuat berbagai mujizat. Orang-orang yang seharusnya masuk kategori ’sukses’ ini justru dinilai gak penting lagi karena Dia melihat jauh kedalam hati landasan apa yang digunakan dalam melakukan segala hal di atas tadi sehingga justru mereka disebut “pembuat kejahatan”.
Ternyata keberhasilan lahiriah, sukses besar tidak ada artinya bila tidak disertai dengan kesetiaan hati untuk terus menerus mau melaksanakan kehendak Allah. Setia saat segalanya indah sehat dan baik-baik saja memang mudah. Tapi untuk tetap setia terus menerus pada tugas perutusan Allah disaat sulit bukanlah mudah. Saat godaan untuk tidak menjadi setia begitu menggoda, saat seperti inilah kita ditantang untuk tetap mewujudkan tindakan-tindakan tanda cinta kita pada Tuhan. Maka dikatakan sama sulitnya dengan membuat fundasi rumah di batu wadas. Tukang galipun bisa minta tambahan bayaran extra untuk proyek sulit begitu.
Maka beranikah kita melandaskan pekerjaan-pekerjaan sederhana dari yang sekedar berdoa sampai pekerjaan-pekerjaan besar yang fenomenal di atas dalam kehidupan kita berdasarkan landasan cinta dan ketaatan kepada Tuhan? Persis seperti pesan Mother Theresa ” Kita tidak dipanggil untuk sukses, tapi kita dipanggil untuk setia”. Jangan sampai kita jatuh dan masuk golongan “rumah pasir” yang disebutkan Yesus “Enyahlah, kamu pembuat kejahatan!”
====================================================================
Bacaan :Mat 7:21-29
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya. ” Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka”