“Kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring”
Ada 3 kata yang diajarkan para ibu bagi anak-anaknya sejak kecil, tetapi ternyata paling sulit diucapkan bila seseorang sudah memiliki kedudukan dan posisi yang semakin tinggi : Tolong, Terima kasih dan Maaf. Kalau ada maunya mereka lebih mudah tinggal beri perintah, tentu saja karena memiliki kekuasaan sudah pasti dilaksanakan. Tidak perlu menggunakan kata Tolong, apalagi ber-terimakasih dan minta maaf bila berbuat salah. The king can do no wrong – mana ada raja yang berbuat salah. Itu pemeo yang umum terjadi, karena dengan kekuasaan maka seolah-olah bisa menafikan segalanya.
Tetapi juga tanpa disadari, kita sendiri ketika ada suatu keperluan seperti mencari sumbangan, pinjaman dsb akan berusaha kesana kemari dan dengan tidak lupa menggunakan kata ‘tolong’. Tetapi begitu sumbangan atau pinjaman diterima langsung diam seribu bahasa terhadap yang memberi sumbangan atau pinjaman. Sikap mental semacam ini masih menjiwai banyak orang. Kalau saja kepada para penyumbang atau pemberi pinjaman disampaikan ucapan `terima kasih’ atas sumbangan atau pinjaman yang diberikan, mereka pasti akan gembira dan puas. Apalagi kalau diberi tahu hasil dari pinjaman dan pertolongan mereka dikemudian hari. Itulah sikap orang yang tahu berterima kasih – menghargai orang lain yang membantunya.
Injil hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua untuk senantiasa menghaturkan `terima kasih’ atas aneka kebaikan yang telah kita terima kepada mereka yang memberikan. Umumnya orang-orang yang miskin dan berkekurangan akan lebih cepat dan mudah berterima kasih ketika menerima sesuatu, sementara orang-orang kaya pada umumnya lebih banyak menuntut pelayanan daripada berterima kasih. Ada saja hal yang kurang sempurna dimata mereka.
Semoga kita juga tidak bosan-bosannya mengajarkan anak-anak kita menggunakan 3 kata ini, bukan untuk menjadikannya klise, tetapi mengajarkan untuk mengungkapkannya dengan ketulusan hati. Kalau kita terbiasa menggunakannya, maka kitapun tidak akan lupa dan dengan tulus pula mengucapkannya kepada Bapa kita yang tidak terlihat. Well,,,,, tidak ada yang tahu juga kan kalau kita tidak mengucapkannya? Hanya Tuhan yang tahu….. tapi sikap mental dimana kita melupakan rasa syukur pasti akan terlihat dalam tingkah laku keseharian kita tanpa kita sadari. Kalau kita meremehkannya, kitapun cenderung meremehkan orang-orang disekitar kita.
Sikap syukur kita akan kasih Tuhan akan pula tercermin dari sejauhmana kita menghargai dan menghayati Sakramen Ekaristi. Datang terlambat, bertindak sesuka hati didalam gereja seperti ber SMS, menggunakan pakaian ‘seadanya’ tanpa memperdulikan keadaan sekitar, itu hanyalah sedikit cerminan ketidakpedulian dan tipisnya rasa syukur yang ada atas rahmat Tuhan yang telah diterima. Tuhan Jesus sudah mau mengorbankan diriNya di kayu salib agar kita mendapatkan kehidupan kekal (tanpa kita minta lho!), naaah… lalu apa susahnya berdiam dan menghormatiNya satu jam saja sebagai rasa syukur atas rahmat yang diterima selama satu minggu penuh. Betul gak?
====================================================================
Bacaan Injil Luk 17:11-19
“ Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?” Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”