Kandang Natal 2011 yang ada di depan Wisma Keuskupan ini dibuat dengan ‘imajinasi’ bahwa jika Yesus lahir tahun ini di Jakarta, kemungkinan akan memilih sebuah gubuk reyot di Bantar Gebang. Tentu, ini bukan sembarang imajinasi. Ada dua pengandaian:
Pertama, menilik tema tahun ini, yaitu “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan, telah melihat terang yang besar” tidak terlalu sulitlah mengaitkan ‘kegelapan’ dengan situasi bumi ini. Memang, kegelapan yang dimaksud adalah kegelapan nurani, yang mengakibatkan kerusakan masyarakat dan dunia. Dalam hal ini, kerusakan bumi adalah salah satu tanda dari kegelapan bangsa itu.
Bumi sudah rusak. Karena kegelapan nurani manusia, perintah Tuhan kepada manusia untuk ‘menguasai’ alam ditafsirkan berlebihan, karena lupa untuk menjaga dan memeliharanya. Hutan yang rusak, sungai yang kotor, bumi yang makin panas, dan lubang ozon bolong mengancam manusia sendiri, adalah contoh dari tanda-tanda ‘kegelapan’ itu. Untuk kota Jakarta, kerusakan lingkungan tampak dalam polusi udara, polusi air dan polusi tanah. Dalam hal ini sampah menjadi sebab penting. Sampah yang bertebaran dimana-mana dan kurang terkelola adalah cermin dari keserakahan dan kemalasan manusia, dan itu berarti juga kegelapan nurani.
Itulah tanda kegelapan masa kini, dan kegelapan adalah dosa, tetapi bukan hanya bermakna pelanggaran hukum Tuhan, melainkan melupakan cinta Tuhan. Ketidakpedulian pada lingkungan, termasuk membuang sampah sembarangan adalah dosa ekologis. Karena itulah, sangat bisa dimengerti kalau kedatangan Yesus kecil pun membawa terang untuk memperbaiki sikap manusia juga terhadap alam ini. Dengan kata lain, Yesus pun mengajak untuk melakukan pertobatan ekologis, melalui kepedulian kecil yang kita lakukan terhadap alam pula. Yesus datang bukan hanya untuk kebaikan umat manusia, melainkan juga alam seluruhnya, yang nota-bene adalah ciptaan Bapa-Nya. Dulu, semua diciptakan ‘baik adanya,’ tetapi, sekarang ini dunia sudah tidak seindah warna aslinya. Kita diajak untuk kembali menciptakan kebaikan alam itu.
Kedua, ketika Yesus dulu lahir di kandang sederhana di tengah para gembala, orang tidak habis mengerti, karena sungguh tidak menduga. Orang telah terpukau oleh gambaran dan harapannya sendiri, sampai lupa bahwa Tuhan sungguh Mahabesar dan tak bisa didikte. Kelahiran Yesus di Betlehem sungguh mendobrak cara berpikir manusia jaman itu tentang Tuhan. Tuhan ternyata bukan Tuhan yang jauh, besar tak tersapa, dan garang, melainkan Tuhan yang sangat dekat, dan mudah disapa, serta sangat lembut pada manusia.
Karena itu, ‘kelahiran Yesus di Bantar Gebang’ (baca: di tengah bumi yang nyaris tenggelam oleh sampah) ini mau mengingatkan kembali bahwa kelahiran di kandang Betlehem bukan sekedar’eksotisme’ Tuhan semata. Dengan kandang natal ini mau diingatkan sekali lagi bahwa Tuhan sungguh menyapa manusia, dan sering dengan sapaan tak terduga. Paun, Tuhan menyapa juga mereka yang tidak pernah atau jarang kita sapa, termasuk para pemulung beserta sampah-nya! Semua adalah ciptaan Tuhan yang sungguh berharga, baik adanya, dan bahkan manusia itu sungguh amat baik. Semua dicintai Tuhan, dan kita pun dipanggil menyapa dan mencintai mereka!
Nah, selamat Natal, selamat merenungkan sapaan Tuhan. Tuhan sungguh mencintai Anda, maka mari kita tebarkan juga cinta ini pada sesama dan dunia sekitar kita, termasuk hewan, tanaman, udara, air, tanah, dan, juga sampah! Mereka layak mendapatkan limpahan rahmat penebusan melalui tangan-tangan kita!
Al. Andang Binawan SJ, Vikep KAJ