Satu peristiwa yang bersejarah dan sungguh patut kita syukuri di mana Tuhan berkarya bagi persatuan Gereja, telah terjadi di bulan Oktober 2011 ini. Gereja St. Luke, sebuah paroki Episkopal kecil di kota Bladensburg, Maryland, USA, menjadi gereja Episkopal pertama di Amerika (gereja Episkopal adalah gereja Anglikan yang didirikan di Amerika Serikat), yang bergabung menjadi Gereja Katolik di bawah peraturan Vatikan yang baru, yaitu peraturan yang dimaksudkan untuk merangkul saudara-saudara Kristen non- Katolik yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik.
Peraturan itu adalah dibentuknya sebuah struktur yang disebut dengan Ordinariat Anglikan. Ordinariat adalah suatu badan yang memfasilitasi kemungkinan pengorganisasian komunitas Anglikan yang ingin bergabung dengan Gereja Katolik. Ordinariat dibentuk sesuai dengan ketentuan Konstitusi Apostolik dari Paus Benediktus XVI yang dibuat pada 4 November 2009, yang berjudul Anglicanorum coetibus, yang ringkasannya sudah pernah dimuat di Katolisitas, di sini, silakan klik , atau selengkapnya di link Vatikan, silakan klik
Ordinariat yang dirancang itu membuka jalan kepada penyatuan gereja, sebuah sarana yang mengakui dan memahami kepercayaan akan dasar iman yang sama sambil tetap menghormati warisan liturgis yang dijalankan oleh gereja Anglikan.
Pendeta Mark Lewis, pemimpin jemaat St. Luke sejak tahun 2006, pada hari Minggu 9 Oktober 2011 itu, menanggalkan pakaian kebesarannya sebagai seorang imam Anglikan yang telah dijalaninya seluruh hidupnya, dan menggantinya dengan setelan jas dan dasi seorang awam. Ia duduk bersama umat gereja St. Luke di dalam Crypt Church di Basilika National Shine of the Immaculate Conception, Washington.
Kardinal Donald W. Wuerl, Uskup Agung Keuskupan Agung Washington, yang memimpin Misa penyatuan gereja St. Luke ke dalam Gereja Katolik di hari Minggu itu menyebut momen yang historis ini sebagai “suatu momen penyatuan yang penuh sukacita.” Kardinal mengatakan bahwa Keuskupan Agung Washington menghargai keterbukaan komunitas gereja St Luke terhadap bimbingan Roh Kudus di dalam perjalanan iman mereka.
Kardinal Wuerl telah terus mendukung proses transisi gereja ini yang telah dilakukan secara intensif sejak bulan Juni tahun ini, sebagaimana juga Uskup Episkopal, John Bryson Chane dari Washington.“Saya sungguh merasa bersyukur secara mendalam kepada Kardinal dan kepada Uskup Chane atas dukungan mereka sepanjang proses permenungan untuk bergabung ini,” kata Pdt Lewis. “Kami juga mengharapkan untuk melanjutkan liturgi kami dalam tradisi Anglikan, sementara pada saat yang bersamaan menjadi satu kesatuan yang penuh dengan Tahta Suci Santo Petrus.”
Uskup Chane mengatakan bahwa proses transisi telah dicapai ‘di dalam semangat kepekaan pastoral dan saling menghormati.’ “Umat Kristiani berpindah dari satu gereja ke gereja lain dalam frekuensi yang jauh lebih tinggi daripada di masa lalu, kadang sebagai individu, kadang dalam kelompok. Saya gembira telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual umat dan iman gereja St. Luke dalam suatu jalan yang menghormati tradisi dan kebijakan kedua belah pihak gereja”, Uskup Chane mengatakannya dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Keuskupan Agung Washington.Hal-hal berkaitan dengan moral dan teologi telah memecah kesatuan komunitas Anglikan khususnya mengenai otoritas Injil, pentahbisan kaum homseksual dan wanita sebagai imam dan uskup, serta hal-hal yang berkaitan dengan moralitas seksual.
Pendeta Lewis, dalam sebuah suratnya kepada rekan-rekannya yang dimuat dalam website paroki, menjelaskan bahwa keputusannya untuk bergabung dengan Ordinariat bukan karena semata-mata keinginan untuk meninggalkan Anglikanisme, tetapi lebih karena kerinduannya untuk memasuki persatuan yang penuh dengan Tahta Suci Vatikan.
“Debat dalam tubuh gereja Episkopal dan komunitas Anglikan mengarah kepada lemahnya otoritas apostolik Anglikan dalam mempertahankan iman, menjaga persatuan, dan menyelesaikan aneka persoalan,” kata Pendeta Lewis lebih lanjut. Ia dan istrinya, Vickey, telah selalu berdoa dan mempelajari semua permasalahan ini dan mengatakan bahwa “hati kami semakin bergerak mendekat kepada Roma.”
Patrick Delaney, seorang pemimpin awam paroki tersebut yang berasal dari Mitchellville, juga menyebut permasalahan seputar otoritas gereja. “Di dalam gereja Episkopal, uskup-uskup di suatu tempat mengatakan satu hal dan di tempat lain mengatakan hal yang lain,” katanya kepada Washington Post. “ Itulah simpul permasalahannya. Setiap uskup mempunyai kerajaannya sendiri-sendiri.” Umat telah lama merindukan suatu otoritas religius tunggal yang jelas. Dia dan umat lainnya di St Luke mengatakan bahwa mereka sangat antusias untuk mendukung penyatuan kembali gereja Anglikan ke dalam Gereja Katolik, di mana Anglikanisme memisahkan diri di tahun 1500-an. “Saya merasa semua ini mengagumkan,” kata Delaney. “Rasanya seperti memperbaiki sejarah yang telah berumur 500 tahun,” ia berharap semakin banyak usaha untuk menjembatani perpecahan yang terjadi dalam Gereja yang telah diawali dengan Reformasi Protestan di abad ke-16. Lebih lanjut ia mengatakan, “Saya merasa seperti terbang di awan,” katanya. Bagaimana perbedaan menjadi seorang Katolik? “Saya tidak tahu apakah ada suatu perasaan yang dapat dinyatakan dengan jelas,” katanya, “selain dari rasa sukacita dan perasaan bersemangat serta tanggung jawab yang serius dari semua ini. Tetapi saya tahu bahwa saya telah menjadi orang yang berbeda sekarang.”
Pdt. Lewis mengatakan bahwa parokinya telah lama menjalankan berbagai praktek iman Katolik, namun kini ia telah memesan patung Bunda Maria yang lebih besar. Mereka merencanakan memberikan lebih banyak pengajaran mengenai berdoa Rosario dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa, karena cukup banyak umat St. Luke yang masih perlu dibantu untuk membiasakan diri dengan hal-hal tersebut.
Pendeta Lewis memohon dukungan dan doa saat dia dan umat St. Luke berupaya untuk mempertahankan warisan Anglikan dengan kesatuan dalam Personal Ordinariate dari Gereja Katolik Roma.
Kurang lebih seratus umat dari paroki gereja St Luke, Maryland – paroki yang telah berumur 58 tahun – mendapat pengesahan untuk masuk menjadi anggota Gereja Katolik. Satu per satu, tua dan muda, orang kulit putih maupun kulit hitam, diberkati oleh Kardinal Wuerl, di dalam Misa yang dipenuhi oleh tepuk tangan sukacita.
Osita Okafor, seorang pria imigran Nigeria yang berusia 56 tahun, mendapati dirinya berada di barisan paling depan di hadapan Kardinal Wuerl untuk upacara pemberkatan. Reaksinya? “Oh, Tuhanku, pastilah aku sangat diberkati.” Seperti juga kebanyakan umat gereja St. Luke, Okafor adalah imigran dari Afrika, yaitu Nigeria. Juga banyak umat yang berasal dari Karibia.
Lewis, sang pendeta, diberkati terakhir sebagai suatu makna simbolis. “Seorang gembala yang baik harus memastikan bahwa semua kawanannya sudah selamat melewati pintu,” ujar Lewis.
Kemudian, sebagaimana dilakukan umat Katolik pada hari Minggu, mereka menyatakan di hadapan seluruh umat bahwa mereka “percaya dan mengakui bahwa segala sesuatu yang diimani, diajarkan, dan dinyatakan oleh Gereja Katolik adalah hikmat yang dinyatakan oleh Allah”.
“Selama ini kami telah menempatkan diri kami lebih dekat dengan teologi Katolik daripada teologi Protestan”, kata Lewis. “Jika Anda bukan seorang pelajar dari sebuah pendidikan teologi, Anda akan melihat bahwa sebenarnya tidak ada yang benar-benar berubah. Kejadian yang sebenarnya terjadi di dalam batin. Menjadi seorang Katolik Roma adalah sebuah perkembangan alamiah dari iman kami.”
Suatu perubahan yang cukup tampak terjadi di bulan Juni, yaitu penambahan kata-kata “untuk Benediktus, Paus kami,” di dalam doa-doa gereja St. Luke.
Umat paroki St. Luke ini akan kembali ke Bladensburg untuk merayakan Misa mereka sendiri hari Minggu depan; di mana Misa itu akan dipersembahkan oleh Mgr. Keith Newton, seorang imam Katolik yang dulu adalah seorang uskup Anglikan, yang kini mengepalai Personal Ordinariate dari Inggris dan Wales – ordinariat pertama yang didirikan setelah diterbitkannya konstitusi apostolik oleh Paus Benediktus XVI.
Lewis – yang Kardinal Wuerl memanggilnya “Pendeta Mark Lewis” di awal Misa pemberkatan itu, dan kemudian menjadi hanya “Mark Lewis” di akhir Misa, sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang imam Katolik. Namun bahkan dengan proses yang dipercepat, proses itu akan memakan waktu berbulan-bulan sebelum ia dapat ditahbiskan. Atas ijin Paus memang pendeta Anglikan seperti Pdt. Lewis yang menikah dan yang sudah menjadi pendeta Anglikan sebelum penggabungan, dapat ditahbiskan menjadi imam Katolik. Namun selanjutnya, para seminarian (calon imam) berikutnya dari tradisi Anglikan ini akan mengikuti tradisi Katolik, yaitu hidup selibat sebagai imam (tidak menikah) bagi Kerajaan Allah.
Kardinal Wuerl akan mengumumkan dalam pertemuan para uskup seberapa besar minat yang telah ia temukan terhadap dibentuknya Ordinariat Amerika. Para otoritas berpikir bahwa minat itu sudah cukup tinggi untuk mereka membuat sebuah Ordinariat Amerika untuk para Anglikan yang akan berpindah ke Katolik, demikian Washington Post melaporkan.
Sampai sebuah Ordinariat resmi dibentuk untuk Amerika, umat St. Luke akan berada di bawah pengelolaan Keuskupan Agung Washington.
Pastor R. Scott Hurd, seorang Anglikan yang telah berpindah menjadi Katolik dan adalah asisten Kardinal Wuerl untuk melayani paroki-paroki Anglikan yang ingin bergabung dengan Gereja Katolik, akan memimpin St. Luke sampai Lewis siap. Ia juga mengkoordinasi pelaksanaan kelas-kelas pengajaran bagi komunitas St. Luke untuk menerangkan berbagai terminologi dasar dari iman Katolik.Papan nama di depan gereja St. Luke yang semula bertuliskan “Paroki Anglikan St. Luke” telah dihapus dan sementara dibiarkan kosong, menantikan nama baru untuknya.
Mari kita bersyukur memanjatkan pujian kepada Allah Bapa di Surga atas peristiwa ini. Semoga semangat persatuan, perdamaian, dan persaudaraan sejati terus berkumandang di seluruh bumi dan menyatukan anak-anak-Nya dalam kesatuan kasih-Nya yang kekal, di dalam Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Dan mudah-mudahan kita sendiri sebagai umat Katolik makin bersemangat untuk mendalami dan mencintai iman kita kepada Tuhan dalam Gereja-Nya yang kudus, serta terus berjuang mempraktekkan iman dan kasih itu secara nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sumber:
Catholic News Agency, klik di link ini
Washington Post, klik di link ini