“tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan“
Saat chating via FB dengan Romo Slamet alm. yang sedang berkarya di Kebumen beberapa tahun lalu, ia pernah menceritakan betapa sibuknya ia melayani umat yang jumlahnya ribuan dan tersebar sampai pelosok desa karena batas parokinya mencakup beberapa desa. Lalu bagaimana ia menentukan skala prioritas, apalagi dalam kultur masyarakat Jawa dimana kehadiran romo paroki sangat penting pada pertemuan jemaat. Beliau memang banyak sekali menerima undangan-undangan dari umat, minta misa ini dan itu, undangan pesta mengenai berbagai hal sampai upacara selamatan. Untuk yang tidak membutuhkan keputusan penting darinya, biasanya ia berbagi tugas dengan romo rekan lainnya. Tapi kalau ada peristiwa kematian, pasti dia sempatkan hadir dan memimpin Misa Requiem. Karena menurutnya justru disitulah ia bisa mendengar dan merasakan kedukaan yang dalam dari umatnya. Kehadirannya yang cuma sesaat diharapkan bisa sedikit meringankan kesedihan mereka.
Menurutnya berbagi kegembiraan bisa dilakukan kapan saja, tidak harus dilakukan pada hari H, masih bisa bertemu lagi dilain kesempatan. Tetapi berbagi dalam duka yang terdalam justru sangat diperlukan saat-saat berdukacita seperti itu. Maka sebagai romo paroki ia selalu mengutamakan dan menyempatkan datang, baik ke rumah duka ataupun ke rumah sakit. Kalaupun sedang berada di luar kota, ia akan menggunakan kesempatan pertama saat kembali keparokinya untuk mengunjungi keluarga yang berdukacita.
Saya belajar dari alm. romo Slamet bahwa berbagi kesedihan itu juga tidak mudah. Memang sulit merasakan betapa besar kehilangan seorang ibu, bila kita belum pernah merasakannya sendiri. Kita hanya bisa menduga-duga seberapa besar rasa kehilangan itu saat melayat. Disisi lain ia mengatakan bahwa rasa kehilangan yang amat dalam dan belum tersembuhkan juga bisa menjauhkan kita dari kepedulian terhadap sekeliling kita.
Hal ini memang saya alami sendiri dimana sekitar 3 bulan setelah ibu meninggal, saya menghindari kesempatan melayat dan menhadiri peristiwa kedukaan. Sulit bagi saya untuk menghibur orang lain sementara saya sendiri masih memiliki rasa kehilangan yang dalam akan berpulangnya ibu. Tetapi setelah saya mohon ampun pada Tuhan, saya minta diberikan kemampuan untuk bisa merasakan kepedulian yang sama yang Yesus rasakan saat melihat seseorang yang sedang berduka. Saya belajar melihat bagaimana indahnya kasih Tuhan yang ditunjukkan lewat orang-orang disekitar saya saat saya masih diliputi dukacita yang dalam. Betul , kita memang tidak pernah ditinggalkan sendiri olehNya. Mujizat terjadi lewat orang-orang disekitar kita yang menunjukkan kasihNya sampai saya bisa bisa bangkit dan meninggalkan kedukaan saya dengan penuh rasa syukur. Saya bersyukur untuk segala hal yang diberikan Tuhan lewat setiap momen kebersamaan dengan ibu. Tugas ibu sudah selesai, sementara tugas perutusan yang dipercayakan Tuhan bagi saya masih harus dipenuhi. Live must go on.
Injil hari ini mengingatkan pada kita bahwa mujizat terjadi karena Yesus tergerak hatinya melihat seorang janda yang kehilangan anak tunggalnya. Dalam tradisi umat Yahudi seorang janda adalah warga negara kelas duanya kelas dua, sudah perempuan janda pula. Sudah pasti tidak kebagian harta warisan. Apalagi anak tunggalnya sebagai satu-satunya kekayaan yang dimiliki dan dicintainyapun meninggal. Judulnya seperti lagu “Sebatang kara di dunia” bagi janda ini. Yesus merasakan kehilangan yang mendalam, Ia bisa memahami betaoa beratnya hidup si janda ini hancur tiada harapan.
Yesus menunjukkan belas kasihannya dengan memberikan perhatian dan kepeduliannya dengan orang lain yang sedang dirundung kesulitan dan kesusahan. Alangkah langkanya kepedulian seperti ini di jaman yang semuanya serba instan. Maka mujizat baru bisa terjadi sebagai tanda kehadiran Allah dalam kepedulian antara manusia satu dengan yang lainnya. Penghiburan dan pengharapan bisa timbul sebagai akibat timbulnya kepedulian tersebut. Panggilan sebagai nabi yang kita terima sebagai rahmat pembaptisan, baru bisa bekerja kalau kita sungguh memiliki kepedulian dan mau mengambil tindakan yang menumbuhkan harapan bagi orang lain yang sedang kemalangan. Dibutuhkan kesabaran dan kepekaan untuk bisa menemani mereka yang sedang dirundung malang. Kalaupun kita sedang dirundung duka, percayalah Tuhan tetap bersama kita menghapuskan airmata dukacita dengan pengharapan surgawi. Semoga dengan pimpinan Roh Kudus, kita semakin peka dan peduli dengan saudara-saudara disekitar kita yang dirundungduka dan bersedia menemaninya bangkit menghadapi tantangan kehidupan dengan penuh harapan.
====================================================================================================
Bacaan Luk 7:11-17
“Kemudian Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Nain. Murid-murid- Nya pergi bersama-sama dengan Dia, dan juga orang banyak menyertai-Nya berbondong-bondong. Setelah Ia dekat pintu gerbang kota, ada orang mati diusung ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda, dan banyak orang dari kota itu menyertai janda itu. Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: “Jangan menangis!” Sambil menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para pengusung berhenti, Ia berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!” Maka bangunlah orang itu dan duduk dan mulai berkata-kata, dan Yesus menyerahkannya kepada ibunya. Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata: “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,” dan “Allah telah melawat umat-Nya.” Maka tersiarlah kabar tentang Yesus di seluruh Yudea dan di seluruh daerah sekitarnya”
September 18, 2011 at 5:25 pm
Dear Ibu Ratna,
Terima kasih atas renungan ibu yang memberi pencerahan guna
mengingatkan saya agar melayat kepada keluarga yang berduka.
Saya salut kepada teladan dan prinsip Romo Slamet yang memprioritaskan
kunjungan kepada keluarga yang mengalami kematian seorang kekasihnya.
Waktu istri saya meninggal karena tabrakan mobil tahun 2003, melalui
ketua lingkungan saya memohon kehadiran pastor paroki atau
pembantunya. Namun, datang telepon dari ketua lingkungan, pastor
sibuk, tidak bisa datang karena ada misa Jumat Pertama. Ya, sikap
pastor seperti ini mengecewekan sekali. Kemudian, kepada semua
temanku, para pastor di mana-mana saya kabari dan mereka membuat misa
khusus untuk istri saya. Juga para suster kenalanku di mana-mana saya
hubungi dan mereka dengan tekun melakukan doa khusus di biara
masing-masing. Akhirnya, istri saya didoakan para anggota lingkungan
sebelum diberangkatkan dari Jakarta untuk dimakamkan di Kediri.
Barusan pada tanggal 1 September 2011 adik saya meninggal di Kupang.
Pada tanggal 28 Agustus saya sempat mengunjunginya di rumah sakit dan
berdoa bersamanya. Berita ini langsung saya siarkan kepada teman-teman
misionaris SVD di 42 negara dan para pastor, suster, dan semua sahabat
dan kenalan saya di mana pun. Banyak pastor membuat misa khusus untuk
adik saya dan ada yang bersama dengan umat. Banyak suster berdoa
khusus secara pribadi dan dalam komunitas. Ini sebuah penghiburan luar
biasa dan saya yakin kami semua berdoa untuk adik tapi juga bersama
dengan adik yang telah berbahagia di surga karena iman dan amal
imannya. Semua ucapan belasungkawa dan renungan yang masuk melalui
milis, email, sms, dan telepon saya catat dan dibacakan di rumah duka
menjelang misa penguburan. Ini menjadi penghiburan luar biasa bagi
kami semua keluarga yang ditinggalkan.
Sekali lagi, terima kasih kepada ibu untuk renungan yang bagus. Dalam
kesibukan memburu uang dan ambisi, renungan ibu ibarat setetes air
pemuas dahaga di musim kemarau hidup rohani.
Salam dalam kasih,
S Belen