“Tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya”
(Kel 3:1-6.9-12; Mat 11:25-27)
“ Pada waktu itu berkatalah Yesus: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (Mat 11:25-27), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
- · “Tidak mengenal maka tidak sayang”, demikian kata sebuah pepatah. Orang yang saling mengenal berarti akan saling mengasihi atau menyayangi, namun kedalaman dan kemantapan kasih-sayangnya akan sangat tergantung dari kedalaman pengenalannya, dan kedalaman pengenalan tergantung dari keterbukaan hati dan budi orang yang bersangkutan. Jika sungguh saling terbuka dalam hati dan budi maka akan saling mengenal dan dengan demikian terjadilah kesatuan hati dan budi sebagai tanda saling mengasihi atau menyayangi. Orang yang merasa diri telah bijak dan pandai pada umumnya kurang terbuka hati dan budinya terhadap aneka kemungkinan dan kesempatan baru, sebaliknya orang yang merasa diri kecil alias kurang atau tidak bijak dan pandai akan lebih terbuka terhadap aneka kemungkinan dan kesempatan. Sabda hari ini mengajak kita semua untuk menghayati diri sebagai yang lemah, rapuh dan berdosa, yang dikasihi dan dipanggil Tuhan untuk menjadi sahabat-sahabatNya. Penghayatan hidup yang demikian inilah yang berkenan kepada Tuhan, sebagaimana disabdakan oleh Yesua bahwa “tidak ada seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya”. Kata lain dari penyataan atau pewahyuan atau penyingkapan; hanya mereka yang terbuka dan rendah hati akan siap sedia menerima penyingkapan misteri ilahi atau aneka macam nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan kehidupan. Tuhan telah menyingkapkan segala sesuatu kepada kita, entah secara langsung atau melalui ciptaan-ciptaanNya, dan dari pihak kita diharapkan kesediaan untuk menyingkapkan diri alias membuka diri sepenuhnya terhadap penyingkapan atau penyataannya.
- · “Bukankah Aku akan menyertai engkau? Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini.”(Kel 3:12), demikian firman Allah kepada Musa, peneguhan Allah kepada Musa yang terjadi dalam penampakan atau penyingkapan Diri Allah kepada Musa. Peneguhan Allah tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan Musa ‘Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun’. Keberanian secara jujur dan rendah hati mempertanyakan diri ‘siapakah aku ini’ kiranya sungguh merupakan bentuk penghayatan diri orang yang merasa diri lemah dan berdosa serta dipanggil oleh Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatanNya. Marilah kita mawas diri apakah kita sungguh dengan besar hati dan lepas bebas menghayati diri sebagai yang lemah dan rapuh, yang kemudian diharapkan terbuka terhadap panggilan Tuhan melalui aneka macam tanda-tanda zaman. Apakah kita peka akan tanda-tanda zaman? Hanya orang yang peka terhadap tanda-tanda zaman akan memiliki kesempatan atau kemungkinan untuk membebaskan diri dari aneka ketertutupan yang membawa ke pengurusan diri alias egois. Hanya yang peka akan tanda-tanda zaman yang mampu melihat celah-celah penyelamatan dan tentu saja kemudian juga diharapkan segera memanfaatkan celah-celah penyelamatan tersebut. Marilah kita tingkatkan ‘wait and see’ kita, dan tentu saja tidak berhenti dengan ‘see’/melihat, namun begitu melihat segera bertindak /act. Atau dapat dikatakan secara lain, yaitu marilah kita laksanakan dinamika : pengalaman -> refleksi -> tindakan -> pengalaman -> dst.. Dialog antara Musa dan Allah yang menanpakkan Diri hemat saya merupakan peristiwa refleksi, dan hal yang demikian itu juga dapat terjadi dalam diri kita, yaitu dalam refleksi pribadi yang benar dan mendalam. Refleksi adalah doa, maka berrefleksi yang benar bearti dalam doa, dalam suasana doa, di dalam Tuhan. Dengan kata lain bukan hanya secara intelektual melulu tetapi sampai ke rasa/’sense’. Pelatihan refelksi yang baik antara lain dapat kita lakukan dalam pemeriksaan batin dalam doa malam (doa harian), maka jika kita dapat melaksanakan pemeriksaan batin yang baik kita akan menjadi peka akan tanda-tanda zaman serta tergerak untuk semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan.
“Pujilah Tuhan hai jiwaku! Pujilah namaNya yang kudus, hai segenap hatiku! Pujilah Tuhan hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikanNya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu. Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih dan rahmat” (Mzm 103:1-4)
Ign Sumarya SJ