“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”
Pada suatu siang ibu dari Samuel, siswa SMA Kanisius – Jakarta, datang kepada saya sebagai Ketua Yayasan dan sekaligus Rektor Kolese Kanisius. Kiranya anda tahu siapa itu Samuel; ia adalah artis, penyanyi, yang sudah terkenal sejak masih kanak-kanak. Pada siang itu ibu dari Samuel mengeluh pada saya sambil berceritera, isinya antara lain Samuel kurang rajin dalam belajar di rumah, dan senangnya mendengarkan musik, dan ketika ia mendengarkan lagu yang dinyanyikan tidak baik, entah melalui radio, TV dll…, maka ia langsung protes. Ia mengeluh dan kawatir anaknya, Samuel, gagal dalam belajar. Mendengarkan keluh kesah dan ceritera tersebut saya bertanya:”Bagaimana hasil belajarnya atau nilai raport?”. “Baik Romo, semuanya di atas angka 7/tujuh”, jawabnya. “Berarti bagus sekali. Ketika di dalam kelas ia sungguh mendengarkan apa yang diajarkan oleh para guru . Hemat saya ketika ia sungguh mendengarkan apa yang diajarkan para guru di kelas, maka ia pasti sukses. Mendengarkan itu penting sekali dalam hidup, perkembangan dan pertumbuhan kita”, tanggapan dan penjelasan saya. Hemat saya Samuel sungguh memiliki keutamaan mendengarkan yang unggul, sehingga ia menjadi artis kecil yang sukses dan belajarnya pun juga sukses. Sabda Yesus hari ini perihal ‘penabur’ kiranya mengingatkan dan mengajak kita untuk mawas diri perihal keutamaan ‘mendengarkan’.
“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (Mat 13:9)
Indera pendengaran hemat saya merupakan indera yang pertama kali berfungsi dalam diri kita masing-masing. Ketika kita masih berada di dalam rahim atau kandungan ibu, kita sudah dapat mendengarkan aneka macam suara dilingkungan hidup kita. Apa yang kita dengarkan sejak masih dalam rahim ibu dan masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kwalitas, perkembangan dan pertumbuhan kepribadian kita. Dalam Warta Gembira hari ini sebagai pendengar kita diumpamakan bagaikan ‘tanah’ dan ada penabur yang menaburkan benih. Ada tiga jenis ‘tanah’, yaitu tanah berbatu-batu, tanah yang ditumbuhi duri dan tanah subur. Maka baiklah saya mengajak anda sekalian untuk mawas diri: tanah macam apakah saya ini?. Secara sederhana saya sampaikan bantuan untuk mawas diri sebagai berikut:
1). Tanah berbatu-batu. Tanah berbatu melambangkan orang yang otak/pikiran dan hati yang keras. Berkenaan dengan hal ini pernah ada rumor ketika sedang ramai-ramainya perang dingin antara negara kapitalis Amerika Serikat dan negara komunis Uni Soviet. Amerika memiliki senjata canggih, sedangkan Uni Soviet memiliki kepala negara yang keras. Ada rumor “senjata canggih ditembakkan ke kepala presiden Uni Soviet mental/mbalik, karena kepalanya keras. Dan memang presiden Uni Soviet memiliki otak dan hati yang keras sekali”. Orang yang berotak/berpikiran dan berhati keras pada umumnya memang egois, dan merasa dirinya paling hebat serta tak mungkin dipengaruhi oleh siapapun. Apakah kita termasuk orang egois, yang tak mempan aneka macam ajaran, nasihat dan saran: mendengar ajaran, nasihat dan saran masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan alias tak berkesan dan berbekas sedikitpun ajaran, nasihat dan saran tersebut?
2). Tanah yang diumbuhi duri. Tanah yang ditumbuhi duri menggambarkan orang yang mudah terombang-ambing oleh aneka berita, nasihat, saran dan ajaran. Ia dapat menerimanya serta berusaha untuk menghayati atau menanggapi secara positif aneka berita, nasihat, ajaran dan saran, namun tidak mendalam, karena begitu ada godaan aneka bentuk kenikmatan duniawi semuanya itu kemudian ditinggalkan. Orang yang demikian pada umumnya hidup dan bertindak dengan pedoman ‘like or dislike’ / suka atau tidak suka, dengan kata lain hidup dan bertindak hanya mengikuti apa yang disukai dan dapat dinikmati secara phisik melulu alias yang bersangkutan bersikap mental materialistis. Apakah kita termasuk orang yang egois dan materialistic?
3). Tanah subur. Tanah subur menggambarkan orang yang rendah hati serta terbuka terhadap aneka kesempatan dan kemungkinan, terbuka terhadap aneka macam nasihat, ajaran dan saran. Ia bagaikan seorang perempuan yang dalam keadaan subur menerima benih sperma dari seorang laki-laki langsung berbuah artinya hamil. Ia memiliki nafsu besar untuk segera ditaburi benih alias dikasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tubuh alias kekuatan. Dengan kata lain tanah subur melambangkan juga orang yang siap sedia untuk dikasihi, dibentuk, dibina dan dituntun. Dikasihi pada masa kini memang sulit, dan orang maunya mengasihi saja, sulit menerima dan maunya memberi terus menerus. Apakah kita termasuk orang yang mudah dikasihi, dibina, dibentuk atau dituntun?
“Aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan dinyatakan” (Rm 8:18)
Peringatan atau kesaksian Paulus kepada umat di Roma di atas ini kiranya baik menjadi bahan refleksi, pegangan atau acuan kita sebagai orang beriman. Beriman berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan dan sesamanya, maka pasti harus siap sedia untuk menderita, apalagi beriman kepada Yesus harus meneladan penderitaanNya dan wafatNya di kayu salib. Apa yang dikatakan oleh Paulus ini kiranya senada dengan peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”, dalam tugas panggilan atau pekerjaan kita sehai-hari berarti bekerja keras lebih dahulu baru gajian kemudian, belajar keras dahulu baru istirahat kemudian. Maka jika harus bekerja atau belajar keras disertai dengan aneka macam penderitaan hendaknya tidak sedih, mengeluh atau menggerutu, melainkan tetap ceria dan bergembira, karena “penderitaan zaman sekarang ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan dinyatakan”.
Pedoman atau acuan cara hidup dan cara bertindak diatas hendaknya sedini mungkin dididikkan atau dibiasakan pada anak-anak dengan teladan konkret dari para orangtua. Dengan kata lain hendaknya jangan memanjakan anak-anak, melainkan pada waktunya sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kepribadian dan kedewasaannya kepada anak-anak diperkenalkan aneka macam kerja keras yang disertai penderitaan yang telah dialami oleh orangtua. Di sini saya teringat akan ajakan para pendiri bangsa, yaitu ‘marilah kita wariskan nilai-nilai perjuangan 1945’. Yang diwariskan kepada anak-anak atau generasi penerus adalah nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan hidup bukan harta benda atau uang.
Di dalam dunia pendidikan peringatan atau ajakan Paulus di atas kiranya dapat kita wujudkan dengan lebih mengutamakan agar para peserta didik tumbuh berkembang sebagai pribadi baik, cerdas beriman dan berbudi pekerti luhur daripada nilai-nilai mata pelajaran. Mendidik peserta didik agar tumbuh berkembang menjadi pribadi baik, cerdas beriman dan berbudi pekerti luhur memang lebih berat dan lebih sulit daripada membuat anak-anak pandai dalam hal pelajaran atau ilmu pengetahuan.
Selanjutnya marilah kita renungkan peringatan nabi Yesaya ini :”Seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak akan kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, dan membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada para penabur dan roti kepada yang mau makan, demikianlah firmanKu yang keluar dari mulutKu, ia tidak akan kembali kepadaKu dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki dan ia akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (Yes 55:10-11). Firman Tuhan dalam kehidupan kita adalah nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan hidup, maka marilah kita dididikkan kepada anak-anak kita sehingga nilai atau keutamaan tersebut dicecap dalam-dalam oleh mereka serta menjiwai cara hidup dan cara bertindaknya, yang kemudian pada gilirannya menghasilkan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan baru.
“Engkau memahkotai tahun dengan kebaikanMu, jejakMu mengeluarkan lemak, tanah-tanah padang gurun menitik, bukit-bukit berikatpinggangkan sorai-sorai, padang rumput berpakaikan kawanan kambing domba, lembah-lembah berselimutkan gandum, semuanya bersorak-sorai dan bernnyanyi” (Mzm 65:11-13)
Ign Sumarya SJ 10 Juli 2011