“Janganlah takut kepada mereka yang membunuh badan!”
Dengan kecanggihan teknologi informasi saat ini, rasanya kasus pembunuhan yang paling sadis dan sulit dibuktikan secara adil adalah pembunuhan karakter. Dengan mudahnya seseorang mendapatkan info tentang orang lain lalu menyebarkannya via milis, SMS atau BBM, masih lagi lewat FB dan twitter. Walhasil ‘merek’ yang disandang orang tertentu begitu cepatnya menyebar tanpa pernah bisa dibentung. Dikoreksi? gimana caranya dan harus mulai dari mana?
Hal yang demikian tentu tidak membuat kita bisa siap untuk membela diri karenanya. Demikianlah yang dialami anak bungsuku. Diusianya yang masih belasan tahun ia mulai menggunakan Facebook seperti juga teman-temannya. Mereka saling me-ngetag dan merequest friend satu sama lain. Sehingga apa yang dilakukan seseorang dapat diketahui yang lainnya. Hal ini tidak menjadi masalah sampai mulai munculnya pendapat-pendapat yang bernada negatif.
Saya menilai wajar-wajar saja kalau foto kami sekeluarga berliburan, saya tag ke anak-anak via facebook. Hanya ingin menjadikannya sebagai album keluarga dimasa muda mereka. Siapa tahu nanti cucu-cucunya bisa merasakan betapa meriahnya liburan bersama keluarga. Hampir semua foto-foto saya bersama mereka ada di facebook.
Sampai pada suatu hari, ia berkata pada saya. Bunda, tolong jangan tag saya lagi di facebook, I quit already. What???!!! Why?? Sempat kaget juga mendengarnya, karena saya sering lihat dia chatting di FB dengan teman-temannya. Mereka saling nge-tag foto-foto mereka juga. Tapi rupanya peer pressure begitu kuatnya, sehingga komentar-komentar negatif justru sering diterimanya. Tidak dari Fb tapi justru disampaikan di kelas saat istirahat di sekolah. Beberapa kali ia menjadi bulan-bulanan gara-gara kami baru selesai liburan. Sebenarnya biasa saja menurut saya, teman-temannya menggoda dengan mengatakan … cieee… yang baru habis liburannn. Tetapi mungkin juga bisa lebih dari apa yang dikisahkannya kepada saya. Kata-kata teman-temannya membuatnya tidak nyaman.
Akhirnya ia memutuskan untuk menutup account FB nya. Saya menghargai keputusannya, mungkin juga sayabisa mengambil pelajaran untuk tidak memaksakan anak ikut-ikutan main Facebook, tanpa menyadari dampak sampingan pada perkembangan kepribadiannya.Disisi lain saya juga belajar untuk melihat sisi lain dari kejadian ini.
Untuk kita yang secara umur sudah dewasa, tentu bisa memilah dan memilih mana hal yang bisa ditanggapi dan tidak perlu ditanggapi. Tidak perlu semua komentar orang lain menjadi ‘concern’ dan menghantui pikiran kita. Di satu sisi kita bisa melihatnya sebagai masukan untuk membuat perbaikan dan peningkatan diri. Disisi lain kita juga melihat apakah pernyataan tersebut relevan dan patut ditanggapi. Tidak mudah menyenangkan dan memuaskan hati setiap orang. Tapi apakah itu yang menjadi tujuan hidup kita? ingin terlihat baik dihadapan manusia?
Injil hari ini mengingatkan kita untuk menentukan skala prioritas dalam hidup. Siapa yang kita ikuti dan teladani dalam hidup. Baik dengan perkataan dan perbuatan. Jangan jadi hipokrit, munafik. Jangan jadi simpatisan katolik terus menerus tanpa berani mengambil keputusan untuk menjadi murid Kristus dengan dibaptis. Hanya karena mendengarkan pertimbangan orang lain yang menilainya belum pantas menjadi Katolik. Oh come on! Menjadi pengikut Kristus adalah proses pertobatan berkesinambungan, pendewasaan iman berkelanjutan…. dari hari kehari, dari masa ke masa. Bukan tergantung dari apa kata orang.
Maka menjadi murid Kristus kita harus berani menyatakan diri. Dengan teguh siap mempertahankan iman yang diyakini benar. Siap dengan memilih perkataan dan tindakan yang benar. Tidak perlu takut dengan ancaman pembunuhan badan apalagi pembunuhan karakter. Orang lain sebenarnya bisa melihat buah perbuatan kita. Apakah kita bisa dipercaya, apakah kita memiliki komitmen dan keteguhan serta prinsip yang kuat. Kalau memang kita belum dinilai siap, tidak heran kalau banyak yang memilih mundur, atau paling tidak hanya berani mengaku sebagai katolik KTP. Mengaku katolik hanya pada saat menyerahkan KTP, tetapi dalam keseharian belum menunjukkan keteladanan Kristus dalam dirinya. Semoga kita semakin hari semakin bertumuh dalam pengenalan akan Kristus, dan semakin bertumbuh dalam kasih serta pengharapan.
======================================================================================================
Bacaan Injil Matius (10:24-33)
Pada waktu itu Yesus bersabda kepada keduabelas murid-Nya, “Seorang murid tidak melebihi gurunya, dan seorang hamba tidak melebihi tuannya. Cukuplah bagi seorang murid, jika ia menjadi sama seperti gurunya, dan bagi seorang hamba, jika ia menjadi sama seperti tuannya. Jika tuan rumah disebut Beelzebul, apalagi seisi rumahnya. Jadi janganlah kalian takut kepada mereka yang memusuhimu, karena tiada sesuatu pun yang tertutup yang takkan dibuka, dan tiada sesuatu pun yang tersembunyi, yang takkan diketahui. Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah dalam terang. Dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah dari atas atap rumah. Dan janganlah kalian takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa. Tetapi takutilah Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. Bukankah burung pipit dijual seduit dua ekor? Namun tak seekor pun akan jatuh tanpa kehendak Bapamu. Dan kalian, rambut kepalamu pun semuanya telah terhitung. Sebab itu janganlah kalian takut, karena kalian lebih berharga daripada banyak burung pipit. Barangsiapa mengakui Aku di depan manusia, dia akan Kuakui juga di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, dia akan Kusangkal di hadapan Bapa-Ku yang di surga.”