Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus,
Untuk seorang perempuan yang sedang hamil muda, tidak mudah menghadapi morning sickness. Tidak heran kalau di usia kehamilan muda dilarang melakukan pekerjaan berat, sering mual dan mudah lelah. Keguguran sering terjadi pada trimester pertama karena memang kondisi janin masih amat sangat rapuh. Tapi hal ini tidak menghalangi seorang perempuan muda yang juga sedang hamil muda. Maria mengambil keputusan melakukan perjalanan jauh, meninggalkan zona nyaman nya menempuh perjalanan berat mendaki gunung untuk mengunjungi sepupunya, Elisabet. Ia punya pilihan untuk tinggal dirumah walaupun telah mendapat kabar dari malaikat. Tapi Maria memilih berbagi kebahagiaan dengan Elisabet yang sudah berusia lanjut dan hamil tua. Kehamilan Elisabet adalah kehamilan yang amat dinantikan karena dalam tradisi Yahudi, perempuan tidak memiliki anak dianggap pembawa sial, tidak memberikan keturunan sebagai penerus ahli waris. Tentu Elisabet sangat bersuka cita karenanya, ia tidak lagi menjadi cemohan orang. Tapi dengan siapa ia mau berbagi sukacita? Tidak ada surat kabar dan belum ada budaya mengirim surat saat itu untuk memberitakan kabar kehamilannya.
Maria memutuskan memilih perjalanan jauh demi memberikan diri untuk berbagi kebahagiaan elisabet. Alasan lain adalah untuk membantu elisabet yang sudah tua dengan mengurus pekerjaan rumah tangganya. Tentu sulit bagi perempuan yang sedang hamil besar untuk mengurus segala sesuatunya sendiri. Maria yang biasa berbagi dengan orang lain, ringan tangan membantu seperti saat perkawinan di Kana, ia mengambil resiko tinggi dengan menempuh perjalanan kunjungan ini. Perjalanan berat lewat darat, mungkin juga dengan naik keledai yang sama yang ia naiki ke Bethlehem, membawa resiko jugabagi bayi yang dikandungnya. Tapi Maria percaya bahwa kabar baik tentang Elisabet dari Malaikat Gabriel, tentunya petunjuk Tuhan yang perlu ditindaklanjuti. Ia percaya perjalanannya ini pun tidak akan mendatangkan celaka tapi justru membawa kebahagiaan.
Ternyata apa yang ia yakini terjadi. Elisabet begitu suka cita mendengar salam Maria, tentu bukan kebetulan Maria datang mengunjunginya. Kedatangan Maria membuat bayi dirahimnyapun melonjak. Maka sukacita yang dibawa Maria yang penuh dengan Roh Kudus juga diterima Elisabet saat itu juga. Elisabet menerima Roh Kudus dan saat itu juga mengerti bahwa Maria mengandung Sang Juru Selamat. Kehadiran Maria sebagai pembawa kabar sukacita bahwa Sang Juru Selamat akan hadir ditengah mereka, sungguh membahagiakan Elisabet. Maria tidak hanya menyediakan diri nya untuk berbagi dengan sukacita Elisabet,tapi ia juga membantu Elisabet tanpa memperdulikan dirinya sendiri yang sedang hamil muda. Biasanya justru yang hamil muda ingin dilayani senantiasa, tapi tidak untuk Maria.
Kisah ini menyadarkan kita akan makna kehadiran kita ditengah masyarakat. Kalau betul kita telah menerima Roh Kudus melalui Sakramen Pembaptisan, apakah perjalanan hidup kita dalam mengunjungi orang-orang lain juga membawa sukacita bagi mereka? Apakah kita memilih tinggal dalam zona nyaman daripada bertemu dengan orang-orang yang ingin berbagi dan membutuhkan pertolongan? Lalu untuk apa artinya kita hidup dengan pimpinan Roh Kudus kalau kita tidak mau berbagi dengan orang lain? Bagaimana kabar sukacita bisadibagikan kalau tidak ada yang melangkah keluar zona nyaman dan memberitakannya?
Semoga kita bisa meneladani Bunda Maria yang bahkan tidak memperdulikan keadaannya sendiri karena percaya bahwa tindakannya melangkah mengunjungi Elisabet adalah tindakanyang benar. Maria tahu ia tidak salah melangkah karena Roh Penghibur menunjukkan karyaNya melalui Magnificat Maria.
Perjalanan sebagai pembawa Kabar Baik tidak lah selalu mudah, terutama karena kita akan selalu meninggalkan zona nyaman. Tapi percayalah selalu ada penghiburan bagi para pembawa Kabar Baik, karena Roh Kudus ada bersama kita. Maria diangkat untuk menerima kemuliaan surgawi karena ia telah berani melangkah menanggapi rencana keselamatan Allah. Dengan penyertaan doa Bunda Maria kita akan mampu terus melangkah sebagai pembawa Kabar Baik.
===============================================================================================
Bacaan Injil, Luk 1:39-56
Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.” Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.
Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia. Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa; Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.” Dan Maria tinggal kira-kira tiga bulan lamanya bersama dengan Elisabet, lalu pulang kembali ke rumahnya.
Renungan
Hari ini, pesta Santa Perawan Maria mengunjungi Elisabet.
Maria mengunjungi Elisabet, saudaranya, untuk berbagi kebahagiaan dan rahmat Tuhan.
Ia menempuh perjalanan jauh melalui pegunungan, yang tentunya sangat melelahkan.
Tiga bulan lamanya Maria tinggal di rumah Elisabet.
Maria mengandung bayi Yesus dan Elisabet mengandung bayi Yohanes.
Saling mengunjungi di antara sanak saudara adalah hal penting untuk menjalin relasi yang akrab, berbagi suka dan duka.
Saling mengunjungi dalam arti bertemu-muka langsung, bukan karena ada pesta perkawinan, kematian, atau karena berjumpa dengan tidak sengaja di suatu tempat.
Bertemu sanak saudara yang memang dengan sengaja berkunjung ke rumahnya akan memberikan banyak kesempatan untuk berdialog, untuk menjalin relasi yang akrab.
Bertatap muka langsung berbeda dengan perjumpaan yang memanfaatkan teknologi seperti telepon, email, atau chatting.
Teknologi belum mampu meneruskan body language yang sangat berperan dalam berdialog, sekalipun teknologi itu adalah video conference.
Oleh karenanya, istilah “copy darat” menjadi begitu populer dalam perjumpaan di dunia maya, karena memang ada yang tidak didapat ketika berjumpa lewat dunia maya.
Pertemuan di dunia maya malahan lebih sering menimbulkan perdebatan yang terkadang kebablasan.
Elisabet begitu berbahagia mendapat kunjungan Maria, anak yang masih di dalam rahimnya pun melonjak kegirangan.
Ia berseru, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?”.
Elisabet dan Zakharia, suaminya, adalah orang benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.
Tetapi tetap saja Elisabet melontarkan keheranannya, “Siapakah aku ini?”.
Pernahkah kita mencoba untuk menjawab pertanyaan ini: Siapakah aku ini?
Mampukah kita menjabarkan jati diri kita sendiri?
Seberapa baik kita mengenal diri kita sendiri?
Jangan-jangan kita perlu berkenalan dengan diri kita sendiri karena ternyata kita tidak mengenalnya.
Sesungguhnya kitalah yang paling mengenal diri sendiri.
Tidak ada orang lain yang lebih mengenal diri sendiri.
Bisa jadi orang lain mengenal kita berbeda dengan jati diri kita yang sesungguhnya.
Bisa jadi orang lain hanya mengenal sebagian dari jati diri kita, tidak mengenal secara utuh.
Saya pernah mengenal seseorang yang menurut saya adalah orang yang penuh kasih, ternyata ia adalah seorang yang “kejam” terhadap istri dan anak-anaknya.
Ia pandai menggunakan “kedok” untuk menutupi jati diri yang sesungguhnya.
Elisabet menanyakan “siapakah aku ini” bukan karena ia tidak mengenal jati dirinya, melainkan ungkapan atas penghargaan yang diterimanya. Ia merasa tidak pantas menerima penghormatan berupa kunjungan dari wanita yang mengandung bayi Tuhan itu.
Yesus juga bertanya kepada murid-murid-Nya, “Menurut orang-orang , siapakah Aku ini?”.
Ia juga bertanya siapakah Dia menurut murid-murid-Nya.
Yesus sangat mengetahui siapa diri-Nya itu.
Pertanyaan itu diajukan agar orang-orang menjadi “aware” tentang siapa Dia, menjadi percaya bahwa Yesus-lah Mesias yang dinanti-nantikan itu.
Lalu kita sendiri, untuk apa kita mempertanyakan tentang siapa diri kita?