Sekali lagi saya mendapatkan kasih karunia Tuhan dan penyertaanNya dalam hidupku. Allah Bapa begitu mengasihi kita , Ia tidak pernah terlambat untuk menolong. Ia berbicara dengan berbagai cara serta melalui orang lain, hanya kita sering lalai dan menganggapnya angin lalu. Kalau kita sepakat bahwa anak-anak masih membutuhkan pendampingan kita sampai mereka mandiri, tentunya kita juga tidak hanya memikirkan diri kita sendiri. Semoga kesaksian saya berikut ini dapat meneguhkan iman para ibu dan juga para suami untuk memperhatikan kesehatan kita masing-masing sebagai pertanggungjawaban kita padaNya dikemudian hari.
Beberapa hari terakhir ini saya diombang-ambingkan kebimbangan atas tawaran dokter kandungan untuk melakukan operasi pengangkatan myom (myomectomy) . Sebenarnya myom tersebut sudah dikenali sejak dua tahun lalu; ditandai dengan haid yang tidak berhenti setelah 10 hari. Saat di USG ternyata ditemui myom didalam uterus (rahim). Akhirnya setelah upaya menghentikan pendarahan dilakukan, dokter menyarankan untuk kontrol setiap 3 bulan. Selain itu saya juga diminta mengurangi konsumsi ayam negeri dan kedele, termasuk mengurangi konsumsi tahu, tempe, susu kedele, tauge dsb. Mengingat penyebab myoma belum diketahui, pada umumnya myoma bertambah besar karena pengaruh hormon estrogen. Oleh karenanya saya mengurangi konsumsi bahan makanan penghasil hormon estrogen.
Selama dua tahun saya tidak menemukan masalah akibat kehadiran sang myom. Kadang membesar, kadang mengecil, tetapi jadual haid tetap teratur dan tidak disertai sakit atau pendarahan. Saya juga mencoba berbagai pengobatan herbal, walaupun dampaknya tidak banyak. Sampai pada akhir tahun lalu, dokter melihat pertumbuhan yang lebih cepat dari biasanya. Mengingat masa menopause masih lama, dokter menyarankan untuk mempertimbangkan myomectomy. Saat menopause nanti, produksi estrogen pasti menurun, untuk myom dibawah ukuran 1,5 cm kemungkinan bisa menyusut. Tetapi tidak demikian halnya dengan myom yang besar, sehingga tetap harus dikeluarkan sebelum menimbulkan gangguan di kemudian hari.
Seperti biasa saya masih ‘ngeyel’, lha wong ndak pernah merasa sakit, gak usah buru-buru operasi lah. Nanti saja lain waktu direncanakan. Akhirnya pada bulan lalu, dokter menemukan ada 4 myom berukuran besar dan beberapa buah yang kecil. Ia mengingatkan sekali lagi adanya resiko infeksi dan luka bila myom tersebut dibiarkan bertambah besar. Sepulang dari dokter pikiran saya tidak bisa tenang lagi, setiap saat saya berdoa memohon ketenangan dan keberanian untuk mengambil keputusan.
Saya perlu mempersiapkan suami dan anak-anak agar mengijinkan saya dioperasi. Selain itu tugas dan jadual pekerjaan yang menjadi tanggung-jawab saya juga menjadi pertimbangan lain. Seperti biasa saya selalu membawa segala kegundahan hati ini didalam doa. Saya percaya Tuhan memberikan yang terbaik tepat pada waktunya. Tuhan tidak pernah terlambat menolong. Sayalah yang harus mempersiapkan diri untuk menjadi lebih peka dalam mengenali kapan ‘waktu’ yang tepat yang Tuhan berikan dan bagaimana cara terbaik yang Tuhan akan berikan.
Saya selalu berdoa dulu sebelum menanyakan kesiapan suami, anak-anak dan juga atasan saya sendiri. Kalau mereka semua menyatakan siap dan mendukung, berarti Tuhan telah turut serta mempersiapkan mereka. Pernah suatu saat saya sampaikan kepada si bungsu bahwa saya akan dioperasi, dia terlihat sangat sedih dan memeluk saya sambil berkata :” Bunda, seperti apa operasi myomectomy itu? Bahaya gak?” dan saya melihat matanya berkaca-kaca. Oh My God, saya tidak tega menatapnya lebih lama. Maybe not this time. Maybe some other time. ..Rupanya kali ini suami dan anak-anak sudah siap dan mendukung saya. Demikian pula saat berbicara dengan atasan saya, pada awalnya sempat ia menyarankan untuk mencoba cara lain terlebih dulu. Akhirnya ia menyatakan bahwa kesehatan saya adalah yang utama, katanya “nanti kita cari waktu terbaik buat kamu agar tidak perlu memikirkan pekerjaan beberapa waktu”.
Akhirnya dengan kesiapan mereka pada hari Jum’at sore, saya menemui dokter kandungan untuk menentukan jadual operasi. Setelah memperhatikan hari terakhir haid, maka ditentukan operasi myomectomy akan dijalankan senin pagi. Saya hanya memiliki waktu persiapan 2 hari, rasanya itu sudah cukup setelah penundaan beberapa bulan lalu. Yang penting keluarga saya siap … eh….ternyata saya yang masih deg-degan! Karena sibuk menenangkan diri saya hanya sempat memberitahukan rencana operasi ke mertua, adik-adik, beberapa sahabat dan romo paroki untuk mendoakan saya.
Agenda sabtu dan minggu ini tetap padat sesuai jadual, dari seminar FMKI KAJ siang hari masih sempat ngopsor dengan romo Budi sebelum beliau kembali ke Semarang dan sayapun mengikuti misa sore untuk bertugas sebagai prodiakon. Minggu ini saya off gowes karena dari pagi sampai siang menjadi narsum sarasehan APP di paroki Galaxy Bekasi dan disambung pertemuan FKPM Dekenat di paroki Stefanus. Akhirnya sore hari dengan diantar suami dan anak-anak saya sempatkan mampir ke paroki untuk mendapatkan sakramen minyak suci. Lho? Memang perlu? Terus terang saja, saya pribadi membutuhkan kekuatan extra menghadapi operasi ini. Ini bukan keputusan sederhana bagi saya, pengalaman saya selama ini menghadapi berbagai operasi menyadarkan saya akan kehadiran Kristus. Maka saya sengaja minta waktu romo Sudri untuk memberikan minyak suci serta pengampunan dosa sebelum cek in ke RS MMC.
Sepanjang malam saya masih bergumul dalam doa, sulit tidur karena memikirkan pilihan yang ditawarkan kepada saya: myomectomy atau hysterectomy. Kalau myomectomy yang diangkat hanya myom saja, sedangkan hysterectomy mengangkat seluruh kandungan. Setelah selesai berdoa saya tanyakan pada suami tentang pilihan tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk hysterectomy mengingat adanya kecenderungan myom masih dapat tumbuh di kemudian hari.
Saat menjelang operasi senin pagi itu, saya utarakan keputusan kami berdua kepada dokter kandungan untuk hysterectomy. Bersama dokter anestesi juga dibahas cara anestesi yang dipilih. Saya putuskan dengan epidural, mati rasa setengah badan dan memilih ‘ditidurkan’ sesaat. Suami dan si bungsu mencium pipi saya dan menunggu diluar kamar operasi sambil berdoa. Saat operasi beberapa kali saya tersadar dan sempat berdoa lalu bercanda dengan para dokter sebelum kemudian ‘ditidurkan’ lagi. Hati saya ringan sekali, karena saya pasrahkan semuanya kepada tangan Yesus yang berlubang dan tangan para dokter serta para perawat.
Akhirnya selesailah operasi hysterectomy sekitar 3 jam. Saat siuman kembali, saya mengucap syukur karena bisa kembali (lagi) diberikan extension, perpanjangan waktu untuk meneruskan tugas yang Tuhan berikan terutama mendampingi anak-anak sampai mereka mandiri. Sesampainya dikamar perawatan kami berdoa mengucap syukur atas operasi yang telah berjalan lancar. Kemudian suami saya memberikan foto myom hasil operasi tersebut. Masyaalaaah!! Besar sekali myomnya ukurannya sekitar 15x11x11 cm dengan berat sekitar 1,8 kg! Dokterpun menyatakan keheranannya pada suami saya karena selama ini saya tidak pernah merasakan sakit dan terganggu dengan myom sebesar itu. Padahal minggu sebelumnya saya sempat gowes beberapa kali dengan jarak cukup jauh… sama sekali tidak ada pendarahan!! How Great Thou Art! Sungguh Maha besar Allah!
Saya menangis mengucap syukur atas kekuatan yang Tuhan berikan. mengucap syukur atas perlindunganNya, juga atas sapaan serta peringatanNya hingga pada saat pengambilan keputusan yang saya lakukan. Tuhan tidak pernah terlambat menolong siapapun yang memohon pertolonganNya.
Saya berterimakasih kepada suami saya tercinta, you really give me strength honey! Ia menemani saya sejak masuk RS hari minggu, sampai saya diijinkan pulang. Saya tidak pernah ditinggalkan sendiri olehnya. Anak-anak juga mengantarkan dan senantiasa mendoakan saya. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua kawan, kerabat dan keluarga serta para romo yang senantiasa mendoakan saya baik menjelang operasi, saat operasi bahkan paska operasi. Termasuk mereka yang menyapa melalui FB, BB, SMS dan email yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Anda sungguh memberikan peneguhan kepada saya dalam menghadapi saat sulit seperti ini serta menumbuhkan semangat untuk cepat pulih kembali. Akhirnya pada hari rabu saya diijinkan pulang kerumah dan meneruskan pemulihan selama seminggu.
Ilmu kedokteran memang semakin canggih, banyak teman dan saudara yang heran melihat saya begitu cepat recover sehingga bisa berjalan kembali dalam waktu singkat. Tetapi hal yang paling sulit ternyata ada pada diri kita sendiri. Dokter kandungan saya mengingatkan agar berhati-hati justru di saat kita merasa sehat. Betul! Para perempuan rata-rata malas memeriksakan diri saat merasa sehat. padahal papsmear, USG dan mammo harus rutin dilakukan bila usia sudah diatas 30. Gaya hidup kita tanpa kita sadari bisa merusak tubuh kita sendiri sampai akhirnya menjadi terlambat. Mari ikut bertanggung-jawab pada tubuh yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Bukan untuk kebaikan kita saja, tetapi justru bila kita mengutamakan anak-anak yang telah dipercayakan kepada kita maka kita harus memperhatikan kesehatan kita. Lebih baik sedia ‘payung’ berjaga-jaga dengan segala sinyal-sinyal yang diberikan tubuh, sebelum kita terpaksa dibawa ke UGD kan?
April 1, 2011 at 9:03 pm
Kesaksian yg menguatkan