“Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!”
Wajar kalau setiap manusia dengan sifat egonya selalu memikirkan apa yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Anak bungsu saya kalau diajak pergi selalu menjawab dengan balik bertanya “Aku ngapain disana? Males ah, nanti gak ada temannya.” Kalau ada ‘hadiah’nya baru dia mau ikut. Namanya juga anak-anak…. tapi jangan salah, kitapun masih melakukannya. Apa gunanya saya ikut ini dan itu? Apa untungnya buat saya kalau jadi ketua panitya, apalagi disuruh mikir dananya, menghadapi pengurus yang bawel dan banyak maunya, dan berbagai litani lainnya. Gak heran kalau sudah ‘kerja’ yang gak ada untungnya buat ‘saya’ pasti tidak ada ‘volunteer’. Urusan kerja sosial dan pelayanan yang menuntut komitmen adalah prioritas yang kesekian. Lain kalau ada hubungannya dengan ‘perut’ masing-masing, ada gunanya bagi perbaikan status dan kepangkatan maka pada umumnya semua ingin menjadi yang didepan.
Demikian pula halnya pertanyaan Petrus kepada Yesus, setelah membahas sulitnya orang kaya masuk Surga karena terikat dengan ‘kebendaannya’, rasul Petruspun gelisah. Ia tentu khawatir dengan masa depannya. Didalam ajaran Taurat, kekayaan adalah tanda rahmat dari Tuhan (Bdk Ulangan 28: Berkat dan Kutuk), semakin taat aturan mengikuti Yahwe maka semakin banyak kekayaannya baik berupa harta dan keturunan. Ternyata Yesus membongkar paradigma ‘harta’ sebagai berkat Ilahi. Ia menegaskan pentingnya lebih terikat dengan Allah daripada terikat dengan harta duniawi. Mengutamakan relasi dengan Allah justru membawa kenikmatan tidak terhingga dibandingkan kenikmatan duniawi. Mat 6:33 Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.
Kita tidak perlu menunggu hari akhir untuk merasakan kenikmatan surgawi. Dengan lebih banyak memberi, tanpa menuntut apa yang menjadi hak kita, kita akan merasakan kenikmatan surgawi. Susah dijelaskan sulit diceritakan rasanya kenikmatan yang didapat bila kita memberi, susah pula dimengerti oleh mereka yang masih terikat dengan duniawi. Kalau sudah dilaksanakan, keterikatan surgawi tidak dapat dinilai dengan uang. Uang itu penting, tetapi alangkah indahnya bisa merasakan kenikmatan surgawi saat masih ada didunia. Bisa dibayangkan apa yang dirasakan orang muda katolik yang justru dimasa mudanya lebih banyak memberi bagi orang lain. Seperti yang dituturkan mas Lilik di sebuah emailnya tentang kisah beberapa orang muda berhati mulia.
Mas Koco, anak muda lulusan UGM yang dengan sadar diri rela memilih menjadi seorang petani organik di desanya di Samigaluh. Mbak Tika, anak muda yang saat ini masih kuliah semester 4 di UNY dan sudah mendirikan sanggar tari mandiri di desanya di Semin, Gunungkidul. Mbak Ami yang juga masih kuliah boga semester 6 di UNY dan diam-diam sudah mendampingi beberapa industri makanan kecil. Mbak Novi dan teman-teman yang merintis perpustakaan anak di Kuasi Paroki klepu, Ponorogo. Mbak Avia yang merintis sanggar baca anak di Ende. Almarhumah Dewi aktivis pendampingan yang upacara pemakamanannya di kota malang sempat memacetkan kota karena dihadiri ribuan pelayat mulai dari Bapa Uskup hingga anak jalanan. banyak orang muda Katolik yang terlibat menjadi relawan di Merapi , terkhusus mereka yang terlibat di komunitas Blerante yang sejak tahun 2006 memantau Gunung merapi selama 24 jam tanpa henti.
Semuanya adalah orang muda Katolik, yang dengan keterbatasannya berjuang semampunya untuk memberikan yang terbaik bagi sesamanya dan bagi lingkungan sekitarnya, menjadi hebat dengan semampu mereka. Mereka jenius pula, dengan cara yang berbeda semampu-mampu mereka. Setidaknya mereka jenius di hati saya.
Betul sekali, menjadi tua itu sudah pasti, tetapi menjadi dewasa adalah sebuah keputusan yang harus dibuat setiap hari. Orang yang selalu bertanya What’s in it for me, selalu memikirkan apa untungnya buat saya, adalah profil kanak-kanak rohani. Tetapi mereka yang sudah berani bertanya “apa gunanya yang saya lakukan ini bagi MEREKA?”, “apakah yang saya lakukan membuat hidup mereka menjadi lebih baik?” adalah pertanyaan yang menunjukkan kedewasaan rohani. Mereka ini telah memilih mengikat dirinya dengan Kristus daripada dengan keduniawiaannya.
Para rohaniwan serta para biarawan/ti adalah contoh teladan kita bagaimana mereka menyerahkan semua, mengembalikan apa yang menjadi hak mereka sebagai manusia termasuk ikatan keluarga dan harta warisannya kepada Allah. Sebagai gantinya mereka mendapatkan keluarga yang jauh lebih besar yang memperhatikan kebutuhan mereka. Mereka mendapatkan harta benda yang tidak ternilai: persahabatan. Para orang kudus juga menjadi teladan kita. Mereka yang sudah dibaptis tentu memiliki nama baptis dengan harapan bahwa nantinya mereka bisa mengikuti teladan para orang kudus ini. Demikian halnya para orang tua seharusnya menjadi teladan yang berada didepan mata anak-anak mereka untuk dapat tumbuh dewasa dalam iman.
Semoga kita semakin dewasa dalam iman hari demi hari sehingga apa yang kita lakukan selalu memberi manfaat bagi orang lain, yang lebih menderita dan lebih susah kehidupannya.
==============================================================================================
Bacaan Injil Mrk 10:28-31
“Berkatalah Petrus kepada Yesus: “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!” Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal. Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu.”