“Hal Kerajaan Allah itu seumpama orang yang menaburkan benih di tanah”
Saat reuni ternyata teman-teman kasak kusuk cari tahu tentang sekolah terbaik untuk anak-anaknya. Mereka saling tanya bagaimana pendidikan dan suasana di kampus ini dan itu, termasuk juga yang di luar negri. Umumnya mereka tanya apa lulusannya bisa mudah dapat pekerjaan dsb. Anehnya rata-rata tidak merekomendasikan almamaternya sendiri dengan berbagai alasan. Kualitasnya sudah tidak seperti dulu lagi, gak yakin apa anaknya juga cocok dsb. Orang tua yang peduli pendidikan pasti selalu berusaha mencari tempat yang cespleng, yang tokcer. Pokoknya yang mampu memberikan solusi pendidikan terbaik, bisa cepat selesai, sesuai kantong dan sesuai harapan. Pengertian “Terbaik” akhirnya menjadi relatif dan bisa subyektif karena kita sendiri sering sulit menjabarkannya.
Saya sempat berbicara dengan beberapa frater untuk mencari tahu apa penyebab mereka mengambil keputusan untuk menjadi imam. Pada umumnya mereka semua melihat keteladanan dari para pastor dan frater saat mereka menjadi putra altar. Inilah yang perlu dicari dan digali dari berbagai institusi pendidikan katolik. Pergantian pengurus pendidikan tidak serta merta disertai dengan pemahaman akan nilai-nilai luhur yang tetap dipelihara dan ditularkan pada anak didiknya. Sehingga image sekolah/universitas katolik itu beralih menjadi terkesan mahal sementara mutunya tidak sebaik dulu. Sebenarnya masih banyak orang yang berharap bisa mendapatkan yang terbaik di sekolah/universitas katolik. Tapi kalau tidak berhasil mengupayakan penerapan dalam memelihara nilai-nilai yang menjadi ciri khas semangat pelayanan tadi, lalu apa bedanya dengan sekolah/universitas lainnya? Harusnya yang membedakan adalah terpelihara nya nilai-nilai spiritualitas para pendirinya, persis seperti tempat pendidikan novisiat yang tetap memelihara nilai-nilai spiritualitasnya selama puluhan tahun.
Kalau saja nilai-nilai spiritualitas kristiani dipelihara seperti biji sesawi, ditumbuh kembangkan senantiasa dan dipelihara serta dihidupi para pembina dan pengurusnya, tentunya akan menghasilkan siswa didikan yang juga ikut memelihara nilai-nilai luhur tersebut. Kemanapun merea berkarya bahkan sampai tua, nilai-nilai tersebut tetap mereka pertahankan.
Maka kalau saat ini banyak orang-tua katolik kurang percaya pada sekolah/universitas katolik lagi, rasanya kita harus memeriksa diri kembali. Apa yang kita kejar sebenarnya? Hanya sekedar gengsi karena bisa memasukkan anak ke sekolah mahal? Apakah kita sendiri menyadari nilai-nilai apa yang kita tanamkan pada anak-anak kita agar mereka meneruskannya? Kalau kita sendiri adalah hasil didikan sekolah katolik, seharusnya kita juga menerapkan nilai-nilai tersebut di rumah didalam keluarga. Disisi lain, sebagai pengelola yayasan pendidikan/kesehatan bahkan ormas yang membawa nama katolik, kita juga harus sering mengambil waktu untuk melakukan evaluasi apakah nilai-nilai luhur para pendiri masih tetap dipelihara? Gampang ngetesnya kok. Tengok saja kiprah para alumni dan kadernya apakah bisa memelihara nilai-nilai tersebut sampai sekian lama. Kalau sudah begini, pasti semua orang percaya dan tidak kecewa karena telah menemukan yang dicari yang sekaliber ‘suhu’nya.
Marilah kita senantiasa setia untuk semakin serupa dengan Kristus. There is no easy way, menjadi benih yang baik memang harus mati dan tumbuh bagi orang lain . Siap menyangkal diri dan pikul salib sambil terus memelihara nilai-nilai yang ditinggalkanNya.
===============================================================================================
Bacaan Injil Mrk 4:26-34
“Lalu kata Yesus: “Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah, lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu. Bumi dengan sendirinya mengeluarkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya, kemudian butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu. Apabila buah itu sudah cukup masak, orang itu segera menyabit, sebab musim menuai sudah tiba.” Kata-Nya lagi: “Dengan apa hendak kita membandingkan Kerajaan Allah itu, atau dengan perumpamaan manakah hendaknya kita menggambarkannya? Hal Kerajaan itu seumpama biji sesawi yang ditaburkan di tanah. Memang biji itu yang paling kecil dari pada segala jenis benih yang ada di bumi. Tetapi apabila ia ditaburkan, ia tumbuh dan menjadi lebih besar dari pada segala sayuran yang lain dan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya.” Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka, dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri”