SETELAH tertimpa berbagai bencana, bangsa ini sedang dalam proses pemulihan. Bencana alam beruntun: banjir bandang di Wasior Papua Barat; gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai Sumatra Barat, dan letusan Gunung Merapi yang berdampak pada wilayah Kabupaten Sleman DIY, serta Kabupaten Boyolali, Magelang, dan Klaten Jawa Tengah.
Bencana alam menyisakan keluarga-keluarga korban selamat yang masih harus berjuang untuk pemulihan pascabencana, terutama anak-anak, kaum perempuan dan lansia (lanjut usia). Bencana alam juga memorakporandakan roda perekonomian. Ribuan keluarga korban bencana mengalami kehancuran, baik secara ekonomis maupun psikologis.
Mereka kehilangan pekerjaan sehari-hari. Harus mengolah tanah mulai dari titik nol lagi. Belum lagi, membereskan rumah tempat mereka tinggal sebagai keluarga, sekembali mereka dari barak-barak pengungsian. Bencana ini melengkapi ‘’bencana’’ sosial, ekonomi, dan politik yang tak kunjung teratasi secara baik, bijak, dan adil. Masalah yang terus menjadi duri dalam daging untuk republik ini adalah masalah hukum. Hukum selalu dipengaruhi oleh mereka yang berduit.
Adagium, hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas, masih berlaku. Artinya, bagi mereka yang memiliki kekuasaan, elite politik, pejabat, hukum terasa tumpul dan tak mampu menyentuh mereka. Sebaliknya, bagi rakyat (miskin), hukum menjadi sangat tajam. Dengan mudah mereka diputuskan bersalah lalu dipenjarakan.
Masalah lain yang masih menjadi perhatian publik adalah tekad memberantas korupsi yang penanganannya tertatih-tatih dan terkesan tebang pilih. Bahkan, lembaga ekstrayudisial KPKi, yang mestinya memiliki daya buat memberantas korupsi, dari waktu ke waktu terus digembosi. Memang, sudah terpilih pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, namun kesempatan karyanya seakan hanya sekadar bagian dari politik pencitraan. Satu tahun memimpin lembaga yang mestinya berdaya untuk membersihkan negeri ini dari praktik korupsi yang telah kronis, apa yang bisa dilakukannya?
Masalah ini kian parah saat disandingkan dengan mafia pajak yang berujung pada kebohongan terhadap rakyat. Katanya, orang bijak membayar pajak. Namun, pajak yang mestinya berdampak bagi kesejahteraan rakyat, ditilep mafia-mafia yang tak bernurani. Wajah keadilan di negeri ini pun kian bopeng minus kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.
***
DALAM situasi seperti itulah, perayaan Natal 2010 terjadi. Masih mungkinkah, pesan damai Natal bagi manusia dan semesta diwujudkan di tengah berbagai keterpurukan yang menimpa republik ini? Bagaimanakah membuat perayaan Natal, kenangan akan kelahiran Yesus Kristus, tetap signifikan dan relevan bagi masyarakat dan semesta?
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI, Gereja Katolik) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI, Gereja Kristen Protestan) dalam Pesan Natal Bersama 2010 memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu.
Peristiwa Natal mestinya membangkitkan harapan dalam hidup kita untuk tetap mengupayakan kesejahteraan semua orang. Kita juga diajak untuk menjadi terang yang membawa pengharapan, dan terus bersama-sama mencari serta menemukan cara-cara yang efektif dan manusiawi untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama.
Implikasi pesan damai Natal bagi manusia dan semesta, kita wajib ikut serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, bahkan melalui usaha-usaha kecil tetapi konkret seperti menjalin hubungan baik dengan sesama anggota masyarakat demi kesejahteraan bersama. Dengannya, kita mewujudkan damai sejahtera bagi sesama.
Kita juga diajak menjaga dan memelihara serta melestarikan lingkungan alam ciptaan. Banyak cara konkret bisa dibuat, antara lain dengan menanam pohon dan mengelola pertanian selaras alam, dengan tidak membuang sampah secara sembarangan; menggunakan air dan listrik seperlunya, memakai alat-alat rumahtangga yang ramah lingkungan. Dengan begitu, kita menjadi pembawa damai bagi semesta.
Dalam situasi bencana seperti sekarang ini kita harus melibatkan diri secara proaktif dalam pelbagai gerakan solidaritas dan kepedulian sosial bagi para korban, baik yang diprakarsai gereja, masyarakat, maupun pemerintah. Selamat Natal 2010.
— Aloys Budi Purnomo, rohaniwan, budayawan interreligius, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang – sumber : suara merdeka
Pingback: Hadi Supeno: Pengakuan Ariel Bisa Berdampak Sosial | Indonesia Search Engine