I. Gereja Katolik kurang melakukan evangelisasi?
Kardinal Avery Dulles, SJ pernah mengatakan, “Tanyakan kepada umat Kristen apakah mereka mempunyai prioritas yang tinggi dalam menyebarkan iman mereka: 75% dari umat Protestan konservatif mengatakan ya, dan 57% dari konggregasi Amerika keturunan Afrika mengatakan ya, sedangkan yang mengatakan ya pada paroki- paroki Gereja Katolik hanya 6%. Tanyakan jika mereka mensponsori aktivitas evangelisasi setempat: 39% dari jemaat Protestan konservatif mengatakan ya, 16% jemaat Amerika keturunan Afrika mengatakan ya, dan hanya 3% dari paroki-paroki Katolik mendukungnya.” Mother Angelica, pendiri EWTN (Eternal Word Television Network) – stasiun televisi Katolik terbesar di dunia pernah mengatakan “Berikan kepada saya 10 orang Katolik yang mempunyai semangat yang sama seperti umat saksi-saksi Yehuwa, maka saya akan dapat merubah dunia“.
Itu adalah dua komentar dari orang-orang yang mempunyai andil dalam menyebarkan iman Katolik. Keduanya ingin mengatakan bahwa seluruh umat Katolik harus mempunyai semangat dalam menyebarkan iman Katolik. Namun, patut disayangkan bahwa ada sebagian dari elemen dalam Gereja Katolik, baik di tingkat anak-anak muda, keluarga, maupun di tingkat paroki, tidak terlalu menaruh perhatian besar pada karya-karya misi dan evangelisasi, walaupun tugas pewartaan adalah perintah Kristus sendiri. Jangankan memikirkan evangelisasi, bahkan ada sebagian dari umat Katolik yang mungkin tidak terlalu perduli terhadap apa yang dipercayainya. Bahkan ada sebagian yang mengatakan bahwa Gereja Katolik itu telah ketinggalan jaman, Gereja Katolik itu kuno.
II. Gereja Katolik kuno?
1. Sisi negatif dari “Gereja Katolik kuno”
Berapa kali kita mendengar dari begitu banyak anak muda, yang mengatakan bahwa “Gereja Katolik kuno“, apa-apa tidak boleh, terlalu kaku, terlalu prosedural, terlalu berorientasi kepada hirarki, kurang cepat merespon kebutuhan umat. Berapa banyak keluarga Katolik yang tidak terlalu perduli dengan pendidikan iman Katolik bagi anak-anak mereka? Gereja Katolik adalah kuno juga sering diartikan sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan, karena tidak dapat mengikuti perkembangan jaman. Dan masih banyak nada-nada sumbang lain yang terdengar cukup lantang dan minta perhatian yang serius.
2. Menempatkan pengertian “Gereja Katolik kuno” dengan semestinya.
Sering sekali kita memberikan suatu istilah yang mempunyai konotasi negatif dalam satu sisi kehidupan, namun dalam sisi kehidupan yang lain, kata yang sama mempunyai konotasi yang positif. Ada orang yang mengatakan bahwa mobil yang lama ketinggalan zaman, namun orang lain penggemar mobil kuno mengatakan bahwa semakin kuno sebuah mobil, maka semakin baik. Para pengumpul barang antik akan setuju bahwa guci yang lama – terutama yang berasal dari kekaisaran Cina abad-abad awal sampai pertengahan – mempunyai nilai yang begitu tinggi. Bahkan satu guci porselen Qianlong berukuran 40 cm dari abad 18 terjual dengan harga 51 juta Euro atau sekitar 600 milyar. Dengan demikian, kata “kuno” tidak selalu jelek, bahkan menjadi begitu bernilai. Dalam hal ini, kita perlu melihat bahwa iman yang ‘kuno’ juga bernilai, karena justru membuktikan keasliannya.
3. Iman yang kita pegang adalah “kuno” namun tetap relavan sampai akhir zaman.
Kalau kita meneliti, lebih jauh, maka iman kekristenan yang kita pegang adalah berdasarkan sesuatu yang kuno, yang bahkan mulai dari permulaan manusia, yaitu Adam dan Hawa. Dan kemudian perjalanan kisah keselamatan yang kuno ini terus berlanjut ke Habel, Noah, Abraham, Ishak, .. Musa, … Daud, .. Yesus, para rasul, Gereja Katolik – melalui penerus rasul Petrus dan penerus para rasul, yaitu Paus dan para Uskup serta para imam – dan kemudian berlanjut kepada seluruh umat beriman pada masa saat ini sampai akhir zaman. Bukankah dengan demikian, iman kita adalah berdasarkan warisan dari pendahulu kita di dalam iman, yang sungguh sangat kuno? Apakah dengan demikian iman kita menjadi salah? Tentu saja tidak, karena iman yang kuno ini didukung oleh wahyu Allah sendiri yang dituliskan di dalam Alkitab. Mari sekarang kita melihat definisi iman serta kaitannya dengan perkembangan iman dalam dunia modern.
a. Definisi iman
Iman, berasal dari kata pistis (Yunani), fides (Latin) secara umum artinya adalah persetujuan pikiran kepada kebenaran akan sesuatu hal berdasarkan perkataan orang lain, entah dari Tuhan atau dari manusia. Persetujuan ini berbeda dengan persetujuan dalam hal ilmu pengetahuan, sebab dalam hal pengetahuan, maka persetujuan diberikan atas dasar bukti nyata, bahkan dapat diukur dan diraba, namun perihal iman, maka persetujuan diberikan atas dasar perkataan orang/ pihak lain. Namun meskipun dari pihak lain, kita dapat yakin akan kebenarannya, sebab ‘pihak’ lain tersebut adalah Allah sendiri. Maka iman yang ilahi (Divine Faith), adalah berpegang pada suatu kebenaran sebagai sesuatu yang pasti, sebab Allah, yang tidak mungkin berbohong dan tidak bisa dibohongi, telah mengatakannya. Dan jika seseorang telah menerima/ setuju akan kebenaran yang dinyatakan Allah ini, maka selayaknya ia menaatinya.
Maka tepatlah jika Magisterium Gereja Katolik menghubungkan iman dengan ketaatan dan mendefinisikannya sebagai berikut:
“Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom16:26; lih. Rom1:5 ; 2Kor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”[1] dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”[2] Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.”[3]
Maka dalam hal ini iman tidak berupa perasaan atau pendapat, tetapi merupakan sesuatu yang tegas, perlekatan akalbudi dan pikiran yang tak tergoyahkan kepada kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan. Maka motif sebuah iman yang ilahi adalah otoritas Tuhan, yaitu berdasarkan atas Pengetahuan-Nya dan Kebenaran-Nya. Jadi, kita percaya akan kebenaran- kebenaran itu bukan karena pikiran kita mampu sepenuhnya memahaminya atau kita dapat melihatnya, namun karena Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Benar menyatakannya. Kebenaran yang dinyatakan oleh Allah ini diberikan melalui Sabda-Nya, yaitu yang disampaikan kepada kita umat beriman melalui Kitab Suci dan Tradisi Suci, sesuai dengan yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik, yang kepadanya Kristus telah memberikan kuasa untuk mengajar dalam nama-Nya. Nah, untuk menerima kebenaran yang dinyatakan Allah ini, diperlukan kasih karunia dari Allah sendiri, dan untuk menanggapinya dengan ketaatan, diperlukan kerjasama dari pihak kita manusia.
Selanjutnya, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan,
KGK 1814 Iman adalah kebajikan ilahi, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu yang telah Ia sampaikan dan wahyukan kepada kita dan apa yang Gereja kudus ajukan supaya dipercayai. Karena Allah adalah kebenaran itu sendiri. Dalam iman “manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah” (Dei Verbum 5).Karena itu, manusia beriman berikhtiar untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah. “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rom 1:17) Iman yang hidup “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6).
b. Pengajaran iman yang baik tidak muncul tiba-tiba, namun berakar kuat dalam Tradisi.
Sering sekali orang mengatakan bahwa kita harus mengikuti perkembangan zaman. Namun, pokok-pokok iman tidak dapat mengikuti perkembangan zaman, karena iman yang baik senantiasa berakar kuat dalam Sabda Tuhan, baik yang lisan maupun yang tertulis (lih. 2Tes 2:15). Cardinal Newman, dalam bukunya “An Essay on the Development of Christian Doctrines”, meneliti bahwa Gereja yang mempunyai pengajaran yang benar adalah Gereja yang mempunyai perkembangan ajaran yang dapat ditelusuri sampai kepada jaman awal kekristenan, yang bersumber pada Yesus sendiri. Ini berarti harus ada konsistensi dalam pengajaran, sama seperti perkembangan pohon kecil ke pohon yang besar. Yang dimaksudkan dari kecil ke besar adalah ajaran yang sama, namun perkembangannya hanya untuk memperjelas pengertian bukan mengubah ajaran. Hal inilah yang ditemukan oleh Kardinal Newman dalam Gereja Katolik, sehingga karena ia menempatkan kebenaran di atas segalanya, akhirnya Kardinal Newman berpindah dari gereja Anglikan ke Gereja Katolik.
Inilah sebabnya, pengajaran iman yang baik adalah iman yang berdasarkan ajaran kuno, dalam pengertian pengajaran yang dipercaya oleh jemaat perdana dan diteruskan oleh umat Allah dari generasi ke generasi. Dengan demikian, kita tidak dapat membuat ajaran-ajaran baru – yang tidak pernah diajarkan di Alkitab maupun oleh para Bapa Gereja, yang mewakili jemaat perdana. Kebenaran dalam iman bukanlah berdasarkan sesuatu yang baru namun berdasarkan sesuatu yang “kuno“. Dengan demikian kebenaran iman menjadi suatu jalinan benang yang terjalin erat satu sama lain dan tak terpisahkan. Atau sama seperti pohon kecil yang bertumbuh menjadi pohon besar, dengan batang pohon yang sama, dengan ranting-ranting yang semakin besar dan banyak, namun tetap bergantung pada batang pohon yang sama, sehingga menghasilkan buah-buah yang limpah.
Tanpa parameter ini, maka akan sulit bagi seseorang untuk meyakini bahwa apa yang diimaninya adalah sungguh-sungguh benar. Tanpa parameter ini, maka ajaran iman yang dianggap benar pada masa dulu dapat saja dianggap salah pada masa ini dan dapat menjadi benar di kemudian hari. Hal ini dapat kita lihat dalam salah satu ajaran tentang Perjamuan Suci. Alkitab dan jemaat perdana mempercayai bahwa Kristus hadir secara nyata (Tubuh, Jiwa dan ke-Allahan-Nya) dalam rupa roti dan anggur:
1) St. Ignatius dari Antiokhia (110), adalah murid dari rasul Yohanes. Ia menjadi uskup ketiga di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis tujuh surat kepada gereja-gereja, berikut ini beberapa kutipannya:
a. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dia mengatakan, “…Di dalamku membara keinginan bukan untuk benda-benda materi. Aku tidak menyukai makanan dunia… Yang kuinginkan adalah roti dari Tuhan, yaitu Tubuh Kristus… dan minuman yang kuinginkan adalah Darah-Nya: sebuah makanan perjamuan abadi.”[4]
b. Dalam suratnya kepada jemaat di Symrna, ia menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya akan doktrin Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi sebagai ‘heretik’/ sesat: “Perhatikanlah pada mereka yang mempunyai pandangan beragam tentang rahmat Tuhan yang datang pada kita, dan lihatlah betapa bertentangannya pandangan mereka dengan pandangan Tuhan …. Mereka pantang menghadiri perjamuan Ekaristi dan tidak berdoa, sebab mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah Tubuh dari Juru Selamat kita Yesus Kristus, Tubuh yang telah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa…”[5]
c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.”[6]
2) St. Yustinus Martir (sekitar tahun 150-160). Ia menjadi Kristen sekitar tahun 130, oleh pengajaran dari para murid rasul Yohanes. Pada tahun 150 ia menulis Apology, kepada kaisar di Roma untuk menjelaskan iman Kristen, dan tentang Ekaristi ia mengatakan: “Kami menyebut makanan ini Ekaristi, dan tak satu orangpun diperbolehkan untuk mengambil bagian di dalamnya kecuali jika ia percaya kepada pengajaran kami… Sebab kami menerima ini tidak sebagai roti biasa atau minuman biasa; tetapi karena oleh kuasa Sabda Allah, Yesus Kristus Penyelamat kita telah menjelma menjadi menjadi manusia yang terdiri atas daging dan darah demi keselamatan kita, maka, kami diajar bahwa makanan itu yang telah diubah menjadi Ekaristi oleh doa Ekaristi yang ditentukan oleh-Nya, adalah Tubuh dan Darah dari Kristus yang menjelma dan dengan perubahan yang terjadi tersebut, maka tubuh dan darah kami dikuatkan.”[7]
3) St. Irenaeus (140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.”[8]
4) St. Cyril dari Yerusalem (315-386), Uskup Yerusalem, pada tahun 350 ia mengajarkan, “Karena itu, jangan menganggap roti dan anggur hanya dari penampilan luarnya saja, sebab roti dan anggur itu, sesuai dengan yang dikatakan oleh Tuhan kita, adalah Tubuh dan Darah Kristus. Meskipun panca indera kita mengatakan hal yang berbeda; biarlah imanmu meneguhkan engkau. Jangan menilai hal ini dari perasaan, tetapi dengan keyakinan iman, jangan ragu bahwa engkau telah dianggap layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus.”[9]
5) St. Augustinus (354-430), Uskup Hippo, mengajarkan, “Roti yang ada di altar yang dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, adalah Tubuh Kristus. Dan cawan itu, atau tepatnya isi dari cawan itu, yang dikonsekrasikan dengan Sabda Tuhan, adalah Darah Kristus….Roti itu satu; kita walaupun banyak, tetapi satu Tubuh. Maka dari itu, engkau diajarkan untuk menghargai kesatuan. Bukankah roti dibuat tidak dari saru butir gandum, melainkan banyak butir? Namun demikian, sebelum menjadi roti butir-butir ini saling terpisah, tetapi setelah kemudian menjadi satu dalam air setelah digiling…[dan menjadi roti]”[10]
Martin Luther sendiri mempercayai bahwa Kristus hadir secara nyata, walaupun dia berpendapat bahwa roti dan anggur tersebut juga mempunyai substansi roti dan anggur. Dengan kata lain, kehadiran Kristus secara nyata adalah bersama-sama dengan roti dan anggur. Atau roti dan anggur yang telah diberkati mempunyai dua substansi, yaitu roti dan anggur serta Kristus sendiri. Kemudian pada tahun 1529, Martin Luther berdebat dengan Zwingli pada konfrensi di Marburg untuk mempertahankan bahwa Kristus hadir secara nyata dalam roti dan anggur. Kita dapat melihat ajaran Martin Luther dalam “Small Catechism” bagian VI, yang ditulisnya sendiri sebagai berikut:[11]
VI. The Sacrament of the Altar
As the head of the family should teach it in a simple way to his household.
What is the Sacrament of the Altar?
It is the true body and blood of our Lord Jesus Christ, under the bread and wine, for us Christians to eat and to drink, instituted by Christ Himself.
Where is this written?
The holy Evangelists, Matthew, Mark, Luke, and St. Paul, write thus:
Our Lord Jesus Christ, the same night in which He was betrayed, took bread: and when He had given thanks, He brake it, and gave it to His disciples, and said, Take, eat; this is My body, which is given for you. This do in remembrance of Me.
After the same manner also He took the cup, when He had supped, gave thanks, and gave it to them, saying, Take, drink ye all of it. This cup is the new testament in My blood, which is shed for you for the remission of sins. This do ye, as oft as ye drink it, in remembrance of Me.
What is the benefit of such eating and drinking?
That is shown us in these words: Given, and shed for you, for the remission of sins; namely, that in the Sacrament forgiveness of sins, life, and salvation are given us through these words. For where there is forgiveness of sins, there is also life and salvation.
How can bodily eating and drinking do such great things?
It is not the eating and drinking, indeed, that does them, but the words which stand here, namely: Given, and shed for you, for the remission of sins. Which words are, beside the bodily eating and drinking, as the chief thing in the Sacrament; and he that believes these words has what they say and express, namely, the forgiveness of sins.
Who, then, receives such Sacrament worthily?
Fasting and bodily preparation is, indeed, a fine outward training; but he is truly worthy and well prepared who has faith in these words: Given, and shed for you, for the remission of sins.
But he that does not believe these words, or doubts, is unworthy and unfit; for the words For you require altogether believing hearts.
Lebih lanjut dalam Augsburg Confession / Confessio Augustana (25 Juni 1530), di artikel X – tentang Perjamuan Allah (of the Lord’s Supper), diajarkan bahwa gereja Lutheran percaya bahwa Tubuh dan Darah Kristus adalah sungguh-sungguh hadir di dalam, dengan, dan dalam rupa roti dan anggur dari sakramen tersebut dan menolak siapapun yang mengajarkan yang lain.[12]
Namun, apa yang dipercayai oleh Martin Luther tidak dipercayai oleh Ulrich Zwingli maupun John Calvin. Yang pertama percaya bahwa Ekaristi hanya sebagai simbol, yang kedua percaya bahwa Kristus hadir secara nyata hanya secara spiritual. Dan kemudian, kalau kita melihat, ajaran yang berbeda-beda tentang Ekaristi diajarkan oleh begitu banyak denominasi Kristen. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana umat Allah dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak?
c. Pengajaran iman yang baik harus dipastikan kebenarannya.
Disinilah pentingnya adanya suatu otoritas, yang memberikan kepastian ajaran. Otoritas ini begitu penting, karena tanpa otoritas maka semua orang dapat mempunyai pendapat yang berbeda-beda akan ajaran iman. Otoritas ini bukanlah otoritas yang dibuat oleh manusia, namun otoritas yang bersifat Ilahi, karena diperintahkan sendiri oleh Kristus, ketika dia mengatakan “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mt 16:19). Mengikat dan melepaskan adalah manifestasi dari otoritas. Otoritas inilah yang diberikan oleh Kristus kepada Petrus dan penerus rasul Petrus, yaitu para Paus. Dan otoritas untuk mengampuni dosa juga diberikan kepada para rasul serta para penerusnya, yaitu para uskup, sehingga Yesus mengatakan “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:23). Dengan dasar inilah, maka Gereja, melalui Magisterium Gereja diberikan kuasa atau otoritas oleh Kristus untuk menjadi pilar kebenaran. Dan hal ini ditegaskan kembali oleh rasul Paulus, yang mengatakan “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat (ecclesia = Church = Gereja) dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1Tim 3:15).
Inilah sebabnya, ketika Magisterium Gereja memberikan pengajaran iman dan moral, maka kita sebagai umat Katolik harus mempercayainya dan mengikutinya. Kalau kita memilih-milih dan menentukan sendiri mana pengajaran yang terlihat masuk akal dan nama yang tidak, maka iman kita bukan lagi bersifat Ilahi atau adi-kodrati, namun bersifat manusiawi. Menjadi bersifat manusiawi, karena parameter akhir dalam menentukan kebenaran adalah diri sendiri. Dan kalau ini diterapkan, maka akan terjadi perpecahan di mana-mana, yang pada akhirnya melanggar perintah dari Kristus untuk menjaga persatuan umat Allah (lih. Yoh 17:21).
4. Kuno sekaligus modern
Seperti yang telah diterangkan di depan, maka kita dapat melihat bahwa Gereja Katolik senantiasa mengajarkan pokok-pokok iman yang berdasarkan wahyu Allah, baik yang tertulis – yaitu Kitab Suci – dan juga yang lisan – yaitu Tradisi Suci, yang dijaga kemurniannya oleh Magisterium Gereja, sehingga kebenaran iman dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi secara konsisten dan murni. Namun, bukan berarti bahwa kalau kita mempunyai iman yang kuno, maka kita dapat mengadaptasi cara evangelisasi secara modern. Justru penggabungan dua hal inilah yang didengung-dengungkan dalam konsili Vatikan II.
Kita mendengar adanya dua kata kunci dalam konsili Vatican II, yaitu “aggiornamento” dan “ressourcement“. Ressourcement berasal dari bahasa Perancis yang berarti “kembali ke sumber”, baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci. Aggiornamento, berasal dari bahasa Italia, yang berarti updating atau pembaharuan. Pembaharuan di sini bukanlah membuat ajaran-ajaran baru yang tidak sesuai dengan Alkitab maupun Tradisi Suci, namun lebih ke arah metode evangelisasi, sehingga pengajaran iman Katolik yang begitu benar dan indah dapat disampaikan dengan lebih jelas, yang berarti orang dapat menerima pengajaran tersebut dengan jelas dan penuh kegembiraan. Pembaharuan di sini adalah metode penyampaian, yang disesuaikan dengan kondisi zaman, dan juga kondisi pendengar. Dengan memperhatikan kondisi zaman dan kondisi pendengar, maka kabar gembira dapat disampaikan secara lebih relevan, sehingga pendengar dapat mengkorelasikannya dengan kehidupan mereka masing-masing. Pembaharuan di sini bukanlah untuk membuat doktrin yang baru, namun menyesuaikan dengan alat bantu yang ada, seperti internet, video, dll. Dan hal ini diserukan oleh Paus Yohanes Paulus II maupun Paus Benediktus XVI. Pada tahun 2009 pada hari komunikasi seluruh dunia yang ke-43, Paus Benediktus XVI mengatakan “Saya ingin mendorong kaum muda Katolik untuk membawa kesaksian iman mereka ke dalam dunia digital.”
III. Pelajarilah, hiduplah dan sebarkanlah!
1. Pelajarilah iman Katolik dengan sungguh-sungguh.
Bagai pepatah, ‘Tak kenal maka tak sayang’, maka kita harus mengenal dan mempelajari iman kita, agar dapat menjadikan iman kita ini bagian dari hidup, dan dapat kita bagikan kepada orang lain. Walaupun mempelajari iman Katolik membutuhkan banyak waktu, mengingat banyaknya sumber yang harus dipelajari, -seperti dari kitab suci, dokumen-dokumen Gereja, tulisan para Bapa Gereja dan Para Kudus, dll – namun ini merupakan hal yang sangat berguna dan tidak dapat diukur manfaatnya bagi keselamatan jiwa kita. Suatu kenyataan yang harusnya mendorong kita adalah bagaimana saudara-saudari kita dari agama Kristen lain yang justru kembali ke pangkuan Gereja Katolik setelah mempelajari ‘kekayaan iman’ tersebut. Padahal kita sendiri yang Katolik belum tentu mengetahui dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Mempelajari iman Katolik bukan dimaksudkan hanya agar kita mengetahui ’sebatas kepala dan tidak turun ke hati’. Sebab jika demikian kita akan mirip seperti orang Farisi yang rajin mempelajari Kitab suci, tetapi tidak menjiwai dan menerapkannya di dalam hidup. Mempelajari iman di sini berarti mendekati kebenaran dengan iman dan akal budi (faith and reason) (Di dalam pembukaan surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, yang berjudul Fides et Ratio (Faith and Reason), ia berseru, “Iman dan akal budi adalah seperti dua sayap yang mengangkat roh manusia untuk mencapai kontemplasi kebenaran; dan Tuhan telah menempatkan di dalam hati manusia keinginan untuk mengetahui kebenaran- yaitu untuk mengenal dirinya sendiri- sehingga dengan mengenal dan mengasihi Allah- semua orang, pria dan wanita -dapat juga sampai pada kepenuhan kebenaran tentang diri mereka sendiri (bdk Kel 33:18; Mzm 27:8-9; 63:2-3; Yoh 14:8; 1Yoh 3:2).
“Faith and reason are like two wings on which the human spirit rises to the contemplation of truth; and God has placed in the human heart a desire to know the truth- in a word, to know himself – so that, by knowing and loving God, men and women may also come to the fullness of truth about themselves (cf. Ex 33:18; Ps 27:8-9; 63:2-3; Jn 14:8; 1Jn 3:2).))
dan dengan demikian, mengikuti Firman Tuhan sendiri yang mengatakan “…siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat…” (1 Pet 3:15). Jika kita kurang memahami iman dan pengharapan kita, tentu sulitlah bagi kita untuk memberi pertanggunggan jawab tentang iman kita jika ada yang bertanya pada kita.
Jadi mempelajari iman kita adalah suatu bentuk kerendahan hati, yang dimulai dari sikap ketaatan, menerima pernyataan wahyu Allah yang dipercayakan oleh Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Jika ada pengajaran yang belum kita mengerti, kita mohon karunia Roh Kudus untuk membimbing kita, namun kita harus percaya bahwa Roh Kudus itu telah lebih dahulu bekerja pada para Rasul dan kini terus bekerja di dalam para pengganti mereka, sehingga dengan kerendahan hati kita harus menerima sepenuhnya pengajaran Gereja. Dengan sikap ini, tentulah pada waktuNya, Tuhan akan membantu kita memahami pengajaran tersebut.
2. Hiduplah sesuai dengan iman Katolik.
Ingatlah bahwa iman Katolik adalah sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, bukan hanya urusan di gereja seminggu sekali. Hidup sesuai dengan iman Katolik inilah yang dimaksud dengan hidup kudus yang kita laksanakan di rumah, di tempat kerja, di sekolah, dan di mana saja. Dalam pelaksanaannya mungkin saja kita akan menghadapi tantangan, cemooh, atau bahkan kehilangan teman. Dalam hal ini ingatlah apa yang dikatakan Yesus untuk mereka yang dianiaya karena Dia, “Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga” (Mat 5:12).
Hidup sesuai dengan iman Katolik adalah hidup dalam kekudusan (lihat artikel: Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus). Ini memang perjuangan bagi setiap kita. Iman kita harus selalu membawa perubahan diri kita ke arah yang lebih baik. Kita harus punya semangat seperti Rasul Paulus yang mengajarkan agar kita senantiasa taat dan mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar (lih. Fil 2:12). Takut di sini maksudnya adalah hormat (‘reverence and awe’) yang menggambarkan kasih kita sebagai anak-anak Allah untuk tidak melawan Allah Bapa kita,[13] baik dengan perkataan ataupun perbuatan. Hormat kepada Allah Bapa juga disertai dengan hormat kepada Yesus PuteraNya dan Gereja yang didirikanNya oleh kuasa Roh Kudus.
3. Sebarkanlah iman Katolik-mu.
Yesus menginginkan kita untuk menyebarkan kasihNya kepada seluruh dunia, sehingga dunia dapat dibawa kepada kebenaranNya, sebab Kristuslah “Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6). Jadi menyebarkan iman bukan hanya menjadi tanggungjawab para uskup, imam dan religius lainnya, tetapi menjadi tugas kita semua. Penyebaran iman ini adalah pertama-tama melalui teladan hidup dan bukan hanya dengan kata-kata.
Ingatlah bahwa sebelum naik ke surga Yesus berkata, “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, dan ajarkanlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. (Mat 28:19-20). Pada hari Pentakosta, kita melihat bagaimana Roh Kudus berkarya di atas para Rasul sehingga mereka dapat bersaksi tentang Yesus dengan berani, sampai akhirnya berita Injil dapat tersebar ke seluruh bumi. Roh Kudus yang sama itu berada di Gereja Katolik, yang juga berarti tinggal di dalam hati kita, anggota-anggotanya.[14] Komuni kudus yang kita terima hendaknya menjadikan kita pembawa misi Kristus. Mari kita bagikan rahmat persekutuan dengan Tuhan ini kepada orang-orang lain, sehingga mereka-pun dapat mengenal dan mengasihi Allah.
IV. Gereja Katolik kuno, tapi senantiasa mengikuti perkembangan zaman.
Dari pemaparan di atas, maka kita dapat melihat bahwa memang Gereja Katolik kuno dari sisi pengajaran iman, karena pengajaran iman yang kuno – dalam pengertian bersumber pada Sabda Allah tertulis (Alkitab) dan Lisan (Tradisi Suci), serta dijaga oleh Magisterium Gereja – maka pengajaran iman dapat terjamin kebenarannya. Dengan demikian, umat Allah akan mempunyai kepastian akan imannya. Dengan berpegang pada pilar-pilar kebenaran ini, maka kesatuan umat Allah dapat terjaga, seperti yang diinginkan oleh Kristus di Yoh 17.
Namun, kebenaran akan menjadi benda kuno dan tidak terpakai kalau tidak diwartakan. Oleh karena itu, seluruh umat Allah harus menyatukan derap langkah untuk membangun Gereja Katolik yang kita kasihi. Seluruh umat Allah dalam kapasitasnya masing-masing harus saling membantu agar semua umat dapat bertumbuh dalam kekudusan, serta menyebarkan kabar gembira, mengajarkan semua hal yang diperintahkan oleh Kristus . Mari, kita bersama-sama membangun Gereja Katolik yang kita kasihi sebagai manifestasi akan kasih kita kepada Allah. Biarlah Gereja-Nya menjadi terang dunia dan menjadi sakramen keselamatan bagi seluruh bangsa.
Catatan: Artikel ini dibuat untuk acara “Temu Darat Katolisitas 1″, yang diselenggarakan pada tanggal 7 Desember 2010 di Jakarta Utara.