Fiat Voluntas Tua

Mbah Maridjan – Aloys Budi Purnama Pr

| 0 comments

SEJAK erupsi Gunung Merapi 2006, Mbah Maridjan mendadak dikenal secara publik sebagai seorang pemberani, sebelum penampilannya sebagai bintang iklan ”lelaki pemberani” salah satu produk jamu di negeri ini. Mbah Maridjan secara berani ”membela” kesetiaannya mengemban tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi.

Itulah sebabnya, pada erupsi Gunung Merapi 2006 dan 2010, ia tetap teguh menjalankan tugasnya, meskipun jiwa-raga menjadi taruhannya. Mbah Maridjan telah memberi pelajaran tentang banyak segi tentang nyala ideal kehidupan manusia: sikap, keberanian, tanggung jawab, kesetiaan, loyalitas, dan keistikamahan.

Apa pun penilaian orang yang berbeda dalam menyikapi keyakinannya untuk tetap bertahan menunggui murka Gunung Merapi, Mbah Maridjan tak pernah tergoyahkan. Kelak, setiap kali anak cucu kita berbicara tentang Gunung Merapi, maka nama sang legenda itu akan selalu disebut (Tajuk Suara Merdeka, 28/10/2010).

Merengkuh semesta
Di tengah arus pergulatan untuk menang terhadap berbagai godaan duniawi dan tantangan zaman yang serba hedonis, konsumeris, dan individualistik, Mbah Maridjan telah mengumandangkan lagu baru yang melantunkan kesetiaan mengemban tugas dan kewajiban! Dalam dirinya terpaut antara hidup manusiawi dan perengkuhan semesta, bagian perjuangan ekologis di tengah kerakusan manusia mengeruk sumber daya alam, bahkan cenderung merusaknya demi kepentingan-kepentingan ekonomis.

Pertautan antara kesetiaan menjaga Gunung Merapi sebagai bagian alam spiritual Keraton Ngayogjakarta Hadiningrat dengan tekad bulat merengkuh semesta dalam diri Mbah Maridjan dengan sangat baik ditangkap oleh Andrew Marshall dalam tulisannya ”Living with Volcanoes” dalam Majalah National Geographic edisi Januari 2008 sebagaimana direnungkan Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggirnya (Majalah Tempo 8-14 Noevember 2010).

Menurut Andrew Marshall, keberanian Mbah Maridjan ”melawan” Sri Sultan Hamengku Buwono X pada erupsi Merapi 2006 sangatlah ekologis, bukan politis. Memang, Mbah Maridjan mengatakan, bahwa ia hanya mau tunduk-taat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang memberinya mandat untuk bertugas sebagai juru kunci Gunung Merapi, menggantikan ayahnya, Mbah Darso, pada tahun 1982.

Namun, jangan lupa, sejak tahun 1970, tugas merengkuh semesta sebagaimana disimbolkan pada realitas Gunung Merapi sudah dilaksanakan Ki Penewu Suraksohargo sebagai wakil juru kunci Merapi.

Itulah sebabnya, demi kesetiaan pada tugas merengkuh Merapi simbol semesta dalam budaya Jawa, Mbah Maridjan tidak mengindahkan perintah Sri Sultan Hamengku Buwono X pada erupsi Merapi 2006 agar ia mengungsi. Secara mengejutkan, Ki Suraksohargo (perengkuh gunung) justru mengatakan, Hamengku Buwono X hanyalah Gubernur DIY, bukan raja.

Sebagaimana ditelaah Andrew Marshall, ternyata, di balik ”perlawanan” Mbah Maridjan terhadap Hamengku Buwono X terdapat alasan ekologis yang mendalam. Di mata Mbah Maridjan, Hamengku Buwono X dianggap tidak menjaga wilayah Keraton Gunung Merapi sebagai bagian dari Keraton Ngayogjakarta Hadiningrat karena membiarkan para pengusaha mencopoti jutaan meter kubik batu dan pasir dari tubuh Merapi.

Secara spiritual kejawen, Sri Sultan juga dianggap tidak mau terlibat dalam upacara nyadran Kiai Sapujagat yang adalah penjaga taman Merapi, utusan Panembahan Senapati (1575-1601). Padahal, alasan historis-spritual keberadaan juru kunci Gunung Merapi sebagaimana dimandatkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat erat terkait dengan Kiai Sapujagat sebagai juru taman Merapi.

Sejak itulah, Mbah Maridjan, oleh kalangan publik dipandang sebagai seorang pemberani dengan karakter setia mengemban tugas, dengan segala konsekuensinya. Pada erupsi Merapi 2006, Mbah Maridjan memang selamat dari wedhus gembel (awan panas Gunung Merapi). Tetapi pada erupsi Oktober 2010 ini, Mbah Maridjan membuktikan konsistensi kesetiaannya, juga ketika wedhus gembel harus melahapnya.

Pahlwawan Merapi
Boleh saja orang mengatakan bahwa Mbah Maridjan mbalelo, mbanggel, dan nggugu karepe dhewe (memberontak, bandel, dan tidak mau mendengarkan orang lain). Namun jangan lupa, ia mendengarkan perintah Sri Sultan Hamengku Buwono X dan nguri-nguri (menjaga penuh hormat), kendatipun sang pemberi perintah sudah wafat. Kearifan spiritual yang terungkap dalam kesetiaan pada komitmen menjalankan tugas juga ketika sang pemberi tugas telah tiada, itulah semangat kepahlawanan Mbah Maridjan.

Bagi penduduk Kinahrejo dan pencinta alam semesta seperti terepresentasikan dalam realitas Gunung Merapi, Mbah Maridjan adalah pahlawan Merapi. Kepahlawanannya diuji dalam awan panas wedhus gembel yang disambutnya bukan dengan sikap tinggal glanggang colong playu, cuci tangan dan melarikan diri dalam kesulitan; melainkan dengan sikap hormat taat dalam sujud sembah suci kepada Sang Pencipta semesta alam.

Bahwa Mbah Maridjan taat sampai wafat, tewas dalam tugas, mati dalam sujud suci, itulah bukti kepahlawanan Mbah Maridjan sebagai sang pemberani juru kunci Gunung Merapi. Cara kematian Mbah Maridjan sebagai pahlawan Merapi sangat inspiratif untuk menguji hidup kita masing-masing, apa pun profesi dan panggilan kita.

Semangat bertahan dalam mengemban tugas meski nyawa adalah taruhannya adalah salah satunya. Kerelaan untuk tetap hidup sederhana di tengah glamour hidup duniawi adalah semangat lain yang kerap dilupakan banyak orang.

Secara politis, Mbah Maridjan memberikan contoh penghayatan semangat kepahlawanan dalam ketulusan tanpa terjebak pada keserakahan dan sikap korup hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Di tengah arus politis dalam wajah serakah menguasai alam semesta sebagai sumber yang harus dikeruk sehabis- habisnya, Mbah Maridjan tekun setia menjaga alam semesta dengan cinta bakti dan matiraga.

Kita membutuhkan pemimpinpemimpin politik yang seheroik Mbah Maridjan mengemban tugas dalam semangat pelayanan sampai titik darah penghabisan. f Aloys Budi Purnomo Pr Rohaniwan, Budayawan Interreligius, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Keperdayaan Keuskupan Agung Semarang.

Leave a Reply

Required fields are marked *.