Perang Dunia III tak jadi pecah. Konfrontasi blok Timur dan Barat batal. Namun, Afganistan tidak kunjung damai. Di Iran dan Irak, kekerasan berkecamuk. Deutsche Welle mengutip ucapan: ”Kalau ada neraka di dunia ini, tentulah di tengah Afrika: di sana pembantaian terjadi di mana-mana oleh siapa pun.”
Film Avatar mungkin sarat dengan fiksi, tetapi nada dasarnya seperti menggemakan film The Mission dan perjuangan sekelompok orang di sejumlah bagian Papua sejak beberapa puluh tahun terakhir: konflik bersenjata yang dijiwai oleh kekerasan ideologis. (Sekelompok) orang dengan ideologi tertentu menggagahi orang (-orang) yang memiliki keyakinan lain. Tindak menggagahi itu kerap dikemas dengan kosmetik modern, seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, dan persaingan sah. Terjadilah apa yang dulu sering disebut ”perang yang dapat dipertanggungjawabk an”. Terlalu cepat untuk mengatakan ada ”damai di atas bumi”. Di balik itu tersembunyi nafsu penghancuran semesta.
Maka, Paus Benediktus XVI mengubah slogan lama tentang damai dengan yang baru. Dulu orang bilang ”si vis pacem, para bellum” (bila mau damai, siap-siaplah perang). Benediktus XVI menawarkan ungkapan baru ”si vis pacem, protege creaturam” (bila mau damai, lindungilah ciptaan). Dengan ungkapan itu, seruan damai tradisional Paus di tanggal 1 Januari menangkap gerak dunia akhir-akhir ini: pelestarian ciptaan bukanlah sekadar alternatif; mencintai dan melestarikan ciptaan adalah suatu keharusan kalau kita mau damai.
Nyatanya, sejak akhir abad ke- 20 banyak pertempuran mengambil berbagai dalih yang bunyinya saja demokratis, tetapi pada intinya dasar perang akhir-akhir ini adalah perebutan sumber alam untuk memeras habis madu alam: pemiskinan ciptaan. Ekologi mutlak agar dunia jadi oikos kita bersama, rumah kita bersama: damai di Bumi.
Teringat kita bahwa Yohannes Paulus II sudah 20 tahun yang lalu mengingatkan dunia akan gawatnya masalah lingkungan. Bahkan, sesungguhnya Paulus VI pada tahun 1971 mengajak orang yang mau maju untuk mencintai alam semesta. Benediktus XVI, yang dahulu bernama Joseph Ratzinger, mempunyai pendahulu yang memandang ciptaan dan alam semesta dalam kaitan erat dengan hidup manusia; bahkan dengan panggilan rohani manusia. Teolog Jerman itu bernapas serupa dengan seorang Perancis, Pierre Teilhard de Chardin.
Kekudusan alam ciptaan
Pemikir yang lama menjadi peneliti di Tiongkok itu meninggal tahun 1966: seorang paleontologis, filsuf, teolog: menangkap gerak-gerak ilahi dalam seluruh pertumbuhan ciptaan. Kuburannya di Hyde Park menjadi tempat ziarah bagi banyak pencinta ekologi. Pada tahun 1981, pada ulang tahunnya yang ke-100, pendapat Teilhard diakui sebagai tepat, yakni bahwa ciptaan adalah hal kudus yang akan berkembang terus dan harus dilindungi. Teilhard menguraikan kekudusan alam ciptaan itu tidak dengan kutipan panjang dari Alkitab, melainkan dengan rentetan analisis ilmiah modern: lengkap dengan kupasan paleontologis, kimia, dan seterusnya.
Kudusnya alam ciptaan tampak dalam pandangan banyak bangsa di mana pun. Tentu saja film Avatar menghidangkannya dengan kecanggihan elektronik dan koreografi baru serta nada-nada New Age. Namun, paparan Avatar sudah lama dapat kita temukan dalam Kisah Penciptaan; ketika kepada manusia diserahkan tidak hanya alam semesta untuk dipergunakan, tetapi juga untuk dipelihara.
Dari pikiran Teilhard de Chardin terdapat sekurang-kurangnya sepuluh butir yang dapat dikembangkan dalam pelestarian lingkungan: bahwa ekologi mengupayakan alam sebagai arena demi kesejahteraan bersama; bahwa melindungi hutan adalah mutlak demi kesejahteraan seluruh dunia; bahwa menjaga keanekaragaman hayati merupakan prasyarat untuk kelestarian manusia; bahwa menjaga hidup binatang langka merupakan latihan rohani untuk pelestarian lingkungan; bahwa penghormatan suku terasing menjadi bentuk antropologi yang ekologis; bahwa keadilan ekonomis hanya dapat berjalan dengan keadilan ekologis; bahwa komunitas manusiawi terbentuk hanya dalam lingkungan alami yang sehat; bahwa tanggung jawab sosial dan ekologis adalah prasyarat industri lestari; bahwa manusia hanya akan terus hidup kalau menjaga energi dan mencari cara baru membangun energi; bahwa masyarakat hanya berkembang kalau diciptakan rekreasi dan transportasi yang ekologis; bahwa ekologi hanya dapat berkembang kalau manusia menghormati budaya asli dan kesatuan manusia dengan alam. Hanya dalam semua itu damai dapat diusahakan.
”The Mission”
Pada abad ke-17-18 orang Iguarani di Paraguay disodori dua macam perkembangan: yang satu adalah pembangunan yang mulai dengan pendidikan menyeluruh, seperti yang dilakukan Gabriel dan komunitasnya. Mereka mengajari orang Indian itu bercocok tanam dan memiliki pertanian serta perkebunan sendiri; bahkan mereka mendidik anak-anak sehingga menjadi cerdas dan memiliki selera seni yang semakin indah.
Model pembangunan masyarakat lainnya menjadikan orang Guarani sebagai alat untuk mencari keuntungan bagi orang Eropa. Mereka adalah tenaga murah yang dapat menolong mengambil hasil bumi sebanyak mungkin demi kepentingan pendatang. Perbedaan cara pembangunan itu menyeret juga perselisihan antara para pemuka agama dan politisi di Eropa. Tidak perlu menunggu lama: terjadilah perang. Itulah yang ditayangkan oleh film The Mission, yang mendapat banyak penghargaan di beberapa pusat seni dan menjadi pangkal studi banyak seminar.
Rebutan sumber daya alam seperti itu bukan hanya tidak berhenti pada abad ke-18, tetapi bahkan semakin meluas dan semakin brutal pada abad ke-19 dan ke-20; abad ke-21 belum terbebaskan dari pertikaian ekonomi dan politis dengan pangkal rebutan sumber daya alam dan dengan akibat perusakan alam yang semakin lama semakin parah.
Kata Iguarani dapat diganti dengan pelbagai nama suku di banyak tempat di seluruh dunia. Paraguay dapat saja pindah ke sembarang tempat di pulau subur di setiap benua, termasuk Indonesia. Banyak suku bangsa memandang alam sebagai ibu, seperti kita dulu sering menyebutnya Ibu Pertiwi. Tidak sedikit yang memandang pelindung kesuburan tanah, seperti Dewi Sri, pantas dihormati sebagai sebuah sikap batin untuk menghormati alam.
Hal serupa berlaku di Jawa, Amungme, Na’vi, dan seterusnya. Semua merujuk pada sikap sama: menghormati alam semesta. Orang yang mencintai kemajuan bangsa manusia secara menyeluruh, dengan segala analisis ekologisnya, memiliki sikap hormat pada alam secara sama: amat berbeda dengan mereka yang melihat bumi sebagai tempat yang harus diisap habis madunya demi keuntungan finansial jangka pendek. Rebutan sumber daya alam itu sejak beberapa abad dan semakin lama semakin ganas menyebabkan terjadinya konflik tersembunyi atau terbuka di PBB dan seluruh dunia.
”Si vis pacem, protege creaturam” , ”bila mau damai, lindungilah ciptaan” adalah seruan yang pantas mendapat perhatian kita, yang mencintai Pertiwi, menyayangi perdamaian, dan menghendaki kemajuan yang lestari. Itulah juga harapan yang layak dikemukakan pada awal tahun 2010.
BS Mardiatmadja, SJ Rohaniwan – KOMPAS, 15 Januari 2010