St Gianna Beretta Molla : Istri, Ibu, Dokter dan Saksi Gerakan Pencinta Kehidupan (pro-life)
Gianna dilahirkan di Magenta, Milan, Italia pada tanggal 4 Oktober 1922 sebagai anak kesepuluh dari tigabelas putera-puteri pasangan Alberto dan Maria Beretta. Pasangan anggota Ordo Ketiga Fransiskan yang saleh ini menganggap membesarkan dan mendidik anak-anak sebagai suatu pemenuhan tanggung jawab kepada yang ilahi. Meski disibukkan dengan tigabelas jiwa kecil, Maria tidak pernah melalaikan karya misionarisnya, dan meski mereka tidak dihimpit kemiskinan, keluarga Beretta mengajarkan pada anak-anak untuk hidup dalam kesederhanaan, ugahari dan sukacita. Setiap pagi keluarga Beretta bersama segenap anak-anak mereka ikut ambil bagian dalam Misa dan setiap sore mereka mendaraskan Rosario bersama yang dilanjutkan dengan penyerahan diri kepada Hati Yesus Yang Mahakudus. Sesudahnya, seluruh keluarga bersantai bersama, terkadang dengan bermain piano dan menyanyi, atau sekedar bercakap mengenai apa-apa yang terjadi sepanjang siang. Virginia, anak terbungsu, mengenangnya sebagai berikut,
“Tidak pernah ada kata-kata kasar atau tak terkendali mengganggu ketenangan keluarga, pun tidak pernah ada teguran dari ibu tanpa dukungan ayah atau sebaliknya; senantiasa kompak, mereka mencintai anak-anak mereka dan berupaya memberikan formasi yang baik dan sempurna kepada mereka. Suasana rumah penuh ketenangan dan kedamaian, tetapi hukuman dan perbaikan-perbaikan yang perlu tidak pernah dilalaikan.”
Maria dan Alberto Beretta memastikan bahwa masing-masing anak menekuni suatu profesi agar dapat melaksanakan pelayanan Kristiani kepada masyarakat dan mempengaruhi dunia professional dengan teladan hidup Kristiani. Kedelapan anak-anak Beretta yang berhasil mencapai usia dewasa [lima dari antara mereka meninggal dalam usia yang masih amat belia] adalah:
Amelia wafat dalam usia 26 tahun;
Ferdinando menjadi seorang dokter;
Francesco menjadi seorang insinyur sipil;
Enrico belajar kedokteran dan di kemudian hari menjadi seorang imam Capuchin, mengabdikan diri pada karya misi di Brazil;
Zita menekuni ilmu farmasi;
Guiseppe belajar teknik dan kemudian menjadi seorang imam diosesan;
Gianna menjadi seorang dokter;
Virginia menjadi seorang dokter dan biarawati Canossian yang bekerja sebagai misionaris di India.
MASA KANAK-KANAK
Oleh karena bimbingan agama yang seksama dari orangtua dan Amelia – saudari tertuanya -, Gianna diperkenankan menyambut Komuni Pertama dalam usia lima setengah tahun dan dua tahun kemudian menyambut Sakramen Krisma. Sejak saat itu, Gianna tidak pernah absen dalam Misa dan menyambut Komuni Kudus setiap hari tak peduli bagaimanapun situasi dan kondisinya.
Gianna bukan seorang yang cemerlang dalam belajar. Ia bahkan tak dapat ikut berlibur bersama keluarga sebab harus tinggal belajar di rumah demi memperbaiki nilai-nilainya yang buruk. Ia mengalami masa-masa kelabu di sekolah, tetapi pada akhirnya dapat mengatasi kesulitan dalam studi dengan ketekunannya. Ia mengerti bahwa ketekunan adalah kehendak Allah.
Tuhan menganugerahkan kepada Gianna suatu keindahan istimewa dalam tatapannya yang manis dan mendalam, yang memancarkan kelembutan, jiwa yang murni, hati yang pemurah, dan siap menerima segala yang baik. Salah seorang guru mengenangnya sebagai berikut,
“Seorang anak terkasih yang tahu bagaimana membangkitkan simpati dan kasih sayang dari mereka yang menghampirinya karena karakternya yang manis dan bersahaja. Kehalusan perasaannya yang tanpa dosa dan jiwanya yang tulus tahu bagaimana mendatangkan atas dirinya simpati dan kasih sayang dari mereka yang datang kepadanya. Wajahnya senantiasa tersenyum, meski terkadang diselimuti suatu tabut melankolis yang memohon belas kasih. Saya berusaha membaca melalui kedalaman matanya yang lembut pikiran-pikiran yang pada saat-saat yang singkat itu menganggu hatinya, tetapi tiada pernah saya mendengar satu kata kejengkelan atau keletihan atau pemberontakan terluncur dari mulutnya.. Menunaikan tugasnya di rumah, di sekolah, dalam masyarakat, baginya merupakan suatu tugas yang suci.”
Seorang teman sekolah menulis, “Gianna memiliki iman yang begitu memikat hingga mereka semua yang berjumpa dengannya, meski sejenak saja, merasa tertarik pada Gereja, di mana kita rindu untuk ikut ambil bagian dengan kesalehan yang terlebih mendalam.”
Pada tanggal 22 Januari 1937, Amelia wafat dalam usia 26 tahun setelah lama menderita sakit. Sungguh suatu peristiwa yang meyedihkan bagi seluruh keluarga dan suatu pukulan hebat bagi Gianna. Sekonyong-konyong ia mengalami dunia penderitaan. Tetapi melalui penderitaan ini, imannya tumbuh semakin kuat. Sr Virginia mengenang Gianna “menggapai surga” pada masa ini,
“Setiap hari ia akan melewatkan waktu dalam meditasi. Praktek ini menjadi sumber kekuatannya. Tengah hari ia akan berhenti di gereja untuk suatu kunjungan kepada Sakramen Mahakudus. Rosario senantiasa ada di sakunya dan ia mendaraskan Salam Maria di setiap kesempatan.”
Gianna biasa meluapkan masalah dan perasaan hatinya kepada Amelia, dan ia amat merindukan kakaknya itu. Ia berusaha mengikuti teladan yang ditinggalkan Amelia dan mendapatkan kekuatan sebab dianggap pantas memiliki saudari yang begitu mengagumkan.
RETRET ROHANI
Setelah wafat Amelia, Alberto Beretta memindahkan keluarganya ke Genoa agar anak-anak dapat lebih mudah melanjutkan pendidikan di universitas. Tahun-tahun yang dilewatkan di Genoa amat penting bagi formasi rohani Gianna, seorang gadis remaja 15 tahun yang pendiam, yang tengah mencari panggilan hidupnya.
Musim semi 1938, seorang imam Yesuit memberikan retret Latihan Rohani St Ignatius bagi murid-murid sekolah. Gianna ikut ambil bagian dalam retret ini bersama Virginia. Banyak rahmat yang ia terima di sana meninggalkan bekas yang menandai seluruh sisa hidupnya. Ia masuk ke kedalaman nilai-nilai fundamental kehidupan rohani – perlunya rahmat dan doa, kejijikan akan dosa, meneladani Kristus, matiraga. Terlebih lagi, ia mulai melihat karya kerasulan sebagai suatu ekspresi luar biasa dari belas kasihan. Di antara ketetapan hatinya, ia menulis:
1. Melakukan segalanya demi Tuhan…. Demi menyenangkan-Nya, aku tidak akan menonton film tanpa terlebih dahulu yakin bahwa film itu pantas dan tidak asusila….
2. Aku lebih suka mati daripada melakukan dosa berat….
3. Mendaraskan “Salam Maria” setiap hari agar kiranya Tuhan memberiku kematian yang kudus….
4. Aku hendak menjauhi dosa berat seolah ia adalah ular dan aku ulang, aku lebih suka mati seribu kali daripada menghina Tuhan.
5. Aku hendak memohon Tuhan untuk menolongku agar jangan masuk neraka dan karenanya aku menghindari segala yang dapat mencelakai jiwaku.
6. Aku memohon kepada Tuhan untuk membantuku memahami kerahiman-Nya yang dahsyat.
7. Aku berniat taat pada M.M. dan tekun belajar meski aku tidak menyukainya, demi kasih kepada Yesus.
8. Sejak hari ini, aku hendak bersujud dalam doa di pagi hari di gereja seperti yang aku lakukan di kamarku di petang hari di kaki pembaringanku.
9. Kerendahan hati adalah jalan tersingkat mencapai kekudusan. Mohon Tuhan menghantarku ke surga.
Sebagai langkah awal dari “program hidup”-nya yang baru, Gianna memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada studi. Hasilnya, ia menyelesaikan tahun pelajaran dengan nilai-nilai yang mengagumkan!
AKSI KATOLIK
Sejak usia 12 tahun, seperti anggota keluarganya yang lain, Gianna terlibat aktif dalam Aksi Katolik, yakni suatu gerakan yang bertujuan mengerahkan awam Katolik untuk mengamalkan hidup rohani yang terlebih mendalam. Dengan demikian, pada gilirannya, akan menginspirasi berbagai ragam karya amal kasih dan karya apostolik di setiap tingkatan masyarakat.
Dalam lingkungan ini, ketetapan hati Gianna semakin dikuatkan dan dimatangkan. Pada masa kuliah, ia dipercaya menjadi pemimpin dalam Aksi Katolik. Segenap waktu luang dibaktikan bagi karya apostolik. Ia mengorganisir rapat, retret dan ziarah rohani bagi para gadis. Meski masa perang mempersulit karya misi, Gianna tetap bertekun dan bekerja tanpa kenal lelah demi kebajikan jiwa-jiwa yang membutuhkan kekuatan rohani lebih dari sebelumnya. Gianna mengatakan:
“Janganlah takut membela kehormatan Allah, membela Gereja, Paus dan para imam. Inilah saatnya bertindak. Janganlah kita tinggal acuh tak acuh di hadapan kampanye musuh melawan agama dan moral. Kita dari Aksi Katolik, haruslah yang pertama-tama membela pondasi kokoh dan tradisi sakral Kristiani di tanah air kita.”
Bersama para anggota lainnya, Gianna biasa mengunjungi mereka yang miskin dan mereka yang sakit, membawakan makanan dan obat-obatan serta membantu melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Gadis-gadis muda tertarik oleh teladannya yang cemerlang dalam kurban dan doa; mereka datang meminta nasehat dan mengikuti saran serta bimbingannya. Selama tiga tahun sebelum perkawinannya, ia diangkat sekaligus sebagai Ketua dan Delegasi dari seluruh wilayahnya. Gianna mengamalkan motto Aksi Katolik sepanjang hidupnya: Doa – Perbuatan – Kurban.
DOKTER GIANNA BERETTA
Bulan Mei 1942, Maria Beretta wafat karena serangan jantung. Empat bulan kemudian, Alberto menyusul isterinya. Pada waktu itu Gianna baru saja tamat sekolah menengah atas dan sedang berpikir untuk menjadi seorang misionaris medis di Brazil. Ia mengambil kuliah kedokteran di Milan. Sesungguhnya seringkali nyaris mustahil mengikuti kuliah sebab Milan sedang dalam situasi peperangan yang hebat. Bom-bom berjatuhan meratakan segala yang ada dan orang meninggalkan kota menuju tempat yang lebih aman. Sementara hidup terasa berat dan nyaris tak tertahankan, Gianna membenamkan diri dalam meditasi dan mencurahkan isi hatinya kepada Yesus. Usai perang, ia melanjutkan kuliah di Pavia bersama Virginia. Gianna percaya bahwa profesi sebagai seorang dokter tidak seperti profesi lainnya, sebagaimana ditulisnya dalam catatan yang diberinya judul “Keindahan Misi Kita”:
“Dalam berbagai macam cara, setiap orang dalam masyarakat berkarya dalam pelayanan bagi kemanusiaan. Dokter memiliki kesempatan yang tak dimiliki seorang imam, sebab misi kita tidak berakhir ketika pengobatan tak lagi dapat membantu. Masih ada jiwa yang harus dibawa kepada Tuhan. Yesus bersabda, `Barangsiapa mengunjungi mereka yang sakit, ia menolong Aku.” Ini tugas imamat. Sama seperti para imam dapat menjamah Yesus, demikian pula kita para dokter menjamah Yesus dalam tubuh pasien kita: yang miskin, yang muda, yang tua, dan anak-anak. Yesus membuat dirinya kelihatan di tengah kita. Banyak dokter mempersembahkan diri kepada-Nya. Jika kalian telah menunaikan profesi duniawi, jika kalian melakukan ini dengan baik, kalian akan menikmati hidup ilahi “sebab ketika Aku sakit, engkau menyembuhkan Aku.”
Pada tanggal 30 November 1949 Gianna menerima gelar dalam ilmu kedokteran dan bedah dengan nilai mengagumkan. Dua tahun kemudian, 7 Juli 1952, demi cintanya kepada anak-anak dan demi membantu para ibu, ia meraih gelar spesialis anak-anak. Gianna menggabungkan diri dengan Ferdinando di suatu klinik kesehatan pribadi di Mesero, dekat Magenta. Kantor praktek mereka senantiasa dipadati pasien.
Gianna mendengarkan keluhan para pasien dengan sabar dan ramah. Suatu hari seorang laki-laki berkeluh-kesah atas kelahiran anaknya yang cacat. Gianna memahami kesedihan hatinya, menenangkannya dan mendorongnya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi menyelamatkan nyawa sang bayi. Kali lain, seorang perempuan pekerja yang sudah berumur menghadapi kehamilan yang tak diharapkan; ia malu akan bagaimana tanggapan orang. Gianna meyakinkan, “Bukankah itu suatu sukacita dan kebanggaan? Dalam hal ini kita tidak perlu menghiraukan apa yang dikatakan orang.” Di masa-masa ekonomi sulit, kerap para pasien membayar biaya pengobatan dengan telur, ayam, dll, sementara Gianna memberi mereka uang untuk membeli makanan atau obat-obatan. Sebab katanya, “Jika aku merawat pasien yang tak mempunyai apa-apa untuk dimakan, lalu apa gunanya pengobatan?” Gianna mengangap profesinya sebagai suatu pelayanan, bukan hanya terhadap tubuh, melainkan juga terhadap jiwa mereka yang dirawatnya.
UPAYA MENEMUKAN PANGGILAN HIDUP
Sejak masa kanak-kanak, Gianna menyimpan kekaguman dan kecintaan pada karya misi. Maria dan Aksi Katolik menyalakan semangat ini dalam hatinya. Daripada membeli, kerap Maria menjahit sendiri baju-baju anaknya agar ia dapat mengirimkan uang yang ia sisihkan itu untuk karya-karya misi. Gianna berharap dapat menggabungkan diri dengan kakaknya Alberto dalam karya misi di Brazil dengan memberikan pelayanan kesehatan yang memang sungguh amat dibutuhkan di sana. Namun demikian, rintangan demi rintangan menghalangi keinginannya dan bapa pembimbing rohani menasehatinya untuk menanti. Gianna melewatkan tahun-tahun panjang dalam ketidakpastian akan panggilan hidupnya.
Ketidakpastian ini amat menggelisahkan hatinya, teristimewa dalam merencanakan masa depan. Gianna melipatgandakan doa agar dapat lebih baik mengenal kehendak Allah. Melalui bimbingan rohani yang cukup panjang, akhirnya ia mengerti bahwa ia dipanggil untuk hidup berkeluarga. Ia menulis,
“Segala sesuatu memiliki tujuannya sendiri dan tunduk pada suatu hukum. Segalanya berkembang ke arah suatu tujuan yang telah ditetapkan. Tuhan telah menggariskan suatu jalan bagi masing-masing kita, panggilan hidup kita dan hidup dalam rahmat yang tersedia bagi hidup jasmani kita. Harinya akan datang ketika kita menjadi sadar akan mereka yang berada di sekeliling kita, dan ketika hal ini terjadi, kita akan menjadi manusia-manusia baru. Suatu masa yang sakral dan juga tragis dalam perjalanan dari kanak-kanak menuju remaja. Masalah masa depan kita diajukan pada masa ini … bukan berarti kita harus memutuskan masalah ini dalam usia limabelas tahun, tetapi setidak-tidaknya kita dapat menyelaraskan diri sepanjang jalan ke mana Allah memanggil kita. Baik kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan kekal kita tergantung pada mengikuti panggilan kita ini dengan seksama.”
“Apa itu panggilan? Panggilan adalah suatu anugerah dari Allah dan karenanya berasal dari Allah. Jadi, jika panggilan adalah suatu anugerah dari Allah, adalah tergantung kita untuk mengupayakan segalanya dalam kuasa kita untuk mengenal kehendak Allah. Kita patut berjalan di sepanjang jalan yang Tuhan kehendaki bagi kita, bukan dengan “mendobrak pintu”, tetapi sesuai bilamana Tuhan menghendakinya dan sebagaimana Tuhan menghendakinya.”
Kepada mereka yang heran bahwa ia meninggalkan kerinduan hidup dalam karya misi di Brazil, ia menjawab, “Segala jalan Tuhan indah sebab tujuannya satu dan sama: untuk menyelamatkan jiwa kita sendiri dan berhasil menghantar sebanyak mungkin jiwa-jiwa ke surga, demi memuliakan Allah.”
MEMBINA HIDUP BERKELUARGA
Kesibukan kerja tidak menghalangi Gianna melakukan aktifitas-aktifitas kegemarannya: melukis, berolahraga ski dan panjat gunung, menikmati fashion (meski berhati-hati untuk tetap sederhana), simponi, opera, teater pun konser. “Seorang santo yang sedih, sungguh kasihan,” demikian katanya.
Keluarga Molla tinggal di bangungan yang berhadapan dengan kantor praktek Gianna. Putera mereka, Pietro, adalah seorang insinyur dan berprofesi sebagai Direktur Teknik. Perjumpaan demi perjumpaan menghantar Gianna dan Pietro saling menaruh hati. Dalam buku hariannya, Pietro menulis, “Semakin mengenal Gianna, semakin aku yakin bahwa Tuhan tak dapat memberikan anugerah yang terlebih besar selain dari cinta dan kebersamaan dengannya.”
Pada tanggal 24 September 1955, P Giusseppe – kakak Gianna – memimpin Upacara Sakramen Perkawinan antara Gianna Beretta, 33 tahun, dengan Peitro Molla, yang sepuluh tahun lebih tua, di Basilika San Martino di Magenta. Gianna mengenakan gaun pengantin amat indah dari kain satin putih – kain terbaik dan terindah yang dapat ditemukannya – sebab katanya kepada saudarinya, “Tahukah engkau, aku memilih bahan yang terindah sebab sesudahnya aku hendak membuat kasula darinya untuk Misa Perdana salah seorang puteraku.” [Di kemudian hari The Society of St Gianna mendapatkan potongan kain ini dan dijahit menjadi kasula.] Sementara Gianna berjalan menuju altar dengan dihantar Ferdinando, kakaknya, semua yang hadir menyatakan hormat dan kekaguman mereka dengan tepuk tangan meriah yang menggema hingga Gianna tiba di altar.
Gianna dan Pietro kemudian tinggal di sebuah rumah kecil dekat perusahaan di mana Pietro bekerja. Gianna rindu menjadi seorang ibu dan mendamba banyak anak. Dua minggu menjelang pernikahan, ia menulis kepada Pietro, “Dengan pertolongan dan rahmat Allah, kita akan mengusahakan yang terbaik untuk menjadikan keluarga baru kita sebuah Senakel kecil di mana Yesus berkuasa atas segala kasih sayang, kerinduan dan tindakan kita…. Tinggal sedikit hari lagi dan aku merasa tergerak akan pemikiran untuk menghampiri dan menyambut ‘Sakramen Cinta kasih’. Kita akan menjadi rekan kerja Allah dalam penciptaan dan dengan demikian kita akan dapat memberi-Nya anak-anak yang mengasihi dan melayani-Nya.”
Setahun setelah perkawinan, Pietro dan Gianna penuh bahagia menyambut putera pertama mereka, Pierluigi yang dilahirkan pada tanggal 19 November 1956 dan dibaptis beberapa hari sesudahnya oleh P Giuseppe. Pada tanggal 11 Desember 1957, Maria Zita (Mariolina) dilahirkan dan dibaptis beberapa hari sesudahnya oleh P Giuseppe. [Mariolina meninggal dunia dalam usia enam tahun, kurang dari dua tahun setelah wafat Gianna Beretta Molla, karena sakit.] Selanjutnya pada tanggal 15 Juli 1959, Laura dilahirkan. Sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, sesudah kelahiran masing-masing anak, Gianna mengambil sejumlah besar uang dari tabungannya untuk disumbangkan kepada karya-karya misi.
Gianna membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Ia tak pernah dapat membayangkan seorang ibu tega memukul anaknya. “Kita harus dapat mengajar mereka dengan bujuk rayu dan di atas segala pengajaran, sejak awal mula, segalanya adalah anugerah dari Tuhan dan harus dihormati sebagai suatu anugerah.”
Gianna dan Pietro mengalami semakin bertambahnya tugas tanggung jawab dengan kehadiran anak-anak. Namun, Gianna berhasil menunaikan segala tugas tanggung jawab sebagai isteri, ibu, pengurus rumah tangga, dokter. Kekuatan batinnya yang luar biasa diwujudkannya menjadi antusiasme yang bersinar cemerlang melalui segala pekerjaan yang ia lakukan. Orang terkagum-kagum mendapati bahwa ia mempunyai cukup waktu untuk mengerjakan semuanya. Di rumah, ia mengurus semuanya dengan mengagumkan; ia juga seorang jago masak yang senang menjamu teman sahabat dan sanak keluarga di akhir pekan.
Gianna memberikan perhatian istimewa pada pendidikan rohani anak-anak. Meski mereka masih belia, Gianna mendaraskan doa bersama mereka di sore hari dan berbicara kepada mereka mengenai kasih Yesus. Anak-anak akan merefleksikan perbuatan-perbuatan mereka sepanjang hari dan berbincang bagaimana Yesus mungkin kurang senang atas beberapa dari perbuatan mereka.
PILIHAN YANG GAGAH BERANI
Kehamilan selalu merupakan suatu pengalaman yang berat dan sulit bagi Gianna. Pada setiap kehamilan ia mengalami hyperemesis, yakni mual dan muntah berlebihan. Ia juga mengalami gangguan usus dan lambung yang mengakibatkan rasa sakit yang hebat. Namun demikian, Gianna selalu menolak obat-obatan penahan sakit, sebab ia beranggapan bahwa obat-obatan yang demikian tidak mengijinkannya untuk menjadi diri sendiri.
Pada bulan September 1961, di akhir bulan kedua kehamilannya, diagnosa dokter mendapati sebuah fibroma di rahimnya. Fibroid ini cukup besar hingga mengancam kelangsungan kehamilan dengan menghimpit janin. Tiga pilihan dihadapkan dalam kasusnya:
1. Pengangkatan rahim (hysterectomy) guna menyingkirkan fibroid. Resikonya rendah; tetapi, berdampak pada kematian janin dan meniadakan kemungkinan kehamilan di masa mendatang. Seturut moralitas Katolik, dalam kasus ini hysterectomy bertujuan menyelamatkan nyawa ibu dengan mengangkat rahim yang terjangkit kanker (dengan dampak yang tak diinginkan kematian bayi yang belum dilahirkan).
2. Menyingkirkan fibroid sekaligus mengakhiri kehamilan, sehingga memungkinkan kehamilan di masa mendatang. Pilihan ini, yang menyangkut aborsi langsung, secara moral Katolik tidak dapat diterima.
3. Menyingkirkan fibroid dan melanjutkan kehamilan penuh resiko. Sebab ia seorang dokter, Gianna tahu benar tingginya resiko yang harus ia hadapi. Kendati nasehat para dokter dan banyak orang, Gianna mendesak untuk mengambil pilihan ini. Ia mengatakan, “Dokter tidak seharusnya ikut campur. Hak hidup anak sama dengan hak hidup ibu. Dokter tidak dapat memutuskan; adalah dosa membunuh bayi dalam rahim.”
Gianna tidak pernah memikirkan kemungkinan aborsi. Ia memilih, dengan sukarela dan kemurahan hati yang besar dari pihaknya, untuk melanjutkan kehamilan penuh resiko demi kelangsungan hidup bayinya. Kegagahan yang dilakukan St Gianna adalah ia memilih hidup bagi anaknya dalam situasi yang sulit dan tanpa kepastian, pun tanpa peduli resiko bagi dirinya sendiri. [Dengan ultrasonik dan teknologi canggih sekarang ini, lebih banyak informasi dapat diperoleh para dokter dalam bedah modern, tetapi tidak di awal tahun 1960-an.]
Kepada saudaranya, Gianna berkata, “Bagian yang tersulit belum datang. Engkau tidak mengerti hal-hal seperti ini. Ketika saatnya tiba, tinggal dia atau aku.” Lagi, di kesempatan lain, kepada Pietro, Gianna berbicara dengan suara tegas dan tatapan mata yang tajam, “Jika engkau harus memilih antara aku dan sang bayi, janganlah ragu; aku mendesak, selamatkan si bayi.”
Gianna mempercayakan keselamatan dirinya pada doa dan penyelenggaraan ilahi, “Ya aku banyak berdoa akhir-akhir ini. Dengan iman dan pengharapan aku mempercayakan diriku pada Tuhan…. Aku percaya pada Tuhan, ya; tetapi sekarang tergantung padaku untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang ibu. Aku memperbaharui persembahan diriku kepada Tuhan. Aku siap untuk segalanya, demi menyelamatkan bayiku.”
Gianna melewatkan tujuh bulan selanjutnya hingga kelahiran sang bayi dalam kekuatan semangat yang tak tertandingi. Selama itu, ia mohon kepada Tuhan untuk menjaga bayi dalam rahimnya agar tak mengalami kesakitan. Jumat Agung, Gianna dibawa masuk RS Bersalin Monza. Keesokan harinya, 21 April 1962, karena keadaannya yang tak memungkinkan, ia melahirkan seorang bayi perempuan melalui operasi caesar.
WAFAT ST GIANNA
Kondisi Gianna semakin memburuk segera sesudahnya. Ia memohon bantuan ibunya untuk tinggal dekatnya dan menolongnya, sebab ia tak dapat menahannya lagi. Penderitaannya tampak bagai suatu kurban yang dramatis dan perlahan, yang menyertai kurban Kristus di salib. Masih sempat ia berkata kepada saudarinya, “Andai saja engkau tahu bagaimana hal-hal dinilai secara berbeda di saat ajal! … Betapa sia-sia tampaknya hal-hal yang di dunia ini begitu kita pentingkan!” Gianna Beretta Molla wafat pada tanggal 28 April 1962 dalam usia 39 tahun. Wajahnya tampak damai tenang, segala tanda kesakitan sama sekali sirna dan ia tampak dipenuhi kebahagiaan.
Pada hari Minggu, seluruh keluarga Molla dan Beretta bersama segenap kerabat menuju Gereja Santa Perawan Maria Bunda Penghiburan. P Guiseppe merayakan Sakramen Baptis atas bayi perempuan yang dinamai Gianna Emanuela: nama pertama sebagai kenangan akan ibunya dan nama kedua menegaskan iman mereka akan kehadiran Allah dalam keluarga dan dalam hati segenap anggota keluarga. Setelah pembaptisan, semua pulang ke rumah. Tidak ada perayaan besar, tetapi roh Gianna terasa hadir, dengan kasih keibuan melingkupi seluruh keluarga. Pierluigi memandang kepada ibunya dalam peti jenazah:
“Mengapakah Mama di sana?”
“Apakah ia Mama?”
“Apakah Mama melihatku, menyentuhku dan memikirkanku?”
Tercekam emosi, Pietro tak dapat menjawab. Pierluigi melanjutkan,
“Untuk Mama pastilah ada sebuah rumah mungil dari emas.”
Peti jenazah berselimut bunga mawar ditempatkan di bawah altar gereja. Sungguh suatu yang tak lazim, tetapi merupakan ungkapan penghargaan dan penghormatan orang banyak, termasuk para klerus, yang meyakini bahwa jenazah yang terbujur di sana adalah relikwi seorang martir yang kudus. Mereka yang berduyun-duyun datang memadati gereja yakin bahwa surga telah diperkaya dengan seorang santa baru.
SANTA GIANNA
Pada tanggal 24 April 1994, dalam tahun yang dicanangkan sebagai Tahun Keluarga, Gianna Beretta Molla dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam beatifikasi yang dihadiri oleh suami, saudara-saudari beserta putera-puteri Beata Gianna ini, Bapa Suci mengajukan B. Gianna sebagai teladan segenap ibu,
“Seorang perempuan dengan kasih yang luar biasa, seorang istri dan ibu yang mengagumkan, ia memberi kesaksian dalam hidup sehari-hari akan nilai-nilai Injil. Dengan berpegang pada perempuan ini sebagai teladan kesempurnaan Kristiani, kita hendak memuji segenap para ibu keluarga yang penuh semangat, yang memberikan diri sepenuhnya kepada keluarga, yang menanggung derita dalam melahirkan, yang siap sedia bagi segala karya dan segala rupa kurban, agar yang terbaik dari mereka dapat dibagikan kepada sesama.”
Gianna Emanuela, yang sekarang adalah seorang dokter dan pejuang Gerakan Pencinta Kehidupan, menyampaikan kesaksiannya,
“Mama sayang, terima kasih telah memberiku hidup dua kali: ketika Mama mengandung aku dan ketika Mama mengijinkanku dilahirkan . Hidupku rindu untuk menjadi kelanjutan hidupmu, sukacita hidupmu, antusiasmu, dan ia mendapati kepenuhan artinya dalam keterlibatan dan dedikasi penuh kepada siapapun yang hidup dalam penderitaan. Mama sayang, mohon bantuan doamu senantiasa bagi segenap ibu dan segenap keluarga yang berpaling kepadamu dan mempercayakan diri mereka kepadamu.”
Pada tanggal 16 Mei 2004, Gianna Beretta Molla dikanonisasi oleh paus yang sama. Pesta St Gianna dirayakan pada tanggal 28 April.
SAKSI GERAKAN PENCINTA KEHIDUPAN
St Gianna percaya bahwa hak istimewa menjadi seorang ibu, menjadi seorang rekan kerja Allah dalam menghadirkan kehidupan baru, berarti senantiasa membela dan melindungi anaknya, entah di dalam ataupun di luar rahim, bahkan hingga pada tahap menyerahkan hidupnya sendiri. Dalam dunia kedokteran sekarang ini, yang terlebih modern dan canggih, terbuka lebar kemungkinan untuk menyelamatkan hidup Gianna bersama bayinya. Namun betapa tragis, justru di masa sekarang ini keputusan hidup dan mati atas bayi-bayi yang belum dilahirkan, dibuat berdasarkan alasan-alasan yang sepele dan kehamilan seringkali diakhiri dengan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan prinsip agama dan moral.
Sumber: 1.”Saint Gianna”; The Society of Saint Gianna Beretta Molla; www.saintgianna.org; 2. berbagai sumber
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
October 10, 2009 at 2:45 pm
Inilah model santa abad kini, yang sangat memahami tantangan hidup merasul sesungguhnya. Semoga para awam sungguh memahami panggilan merasul lewat berbagai profesinya.
Seorang imam pernah melemparkan guyonannya ketika homili, saat ini ada dua ‘santa’ yang sedang diusulkan umat karena seringnya mereka dipuja-puja bahkan di saat homili sekalipun. Yaitu Santa Nokia dan Santo Ericson.
Mungkin tambah satu lagi beata …. Blackberry