Kanon Alkitab
Salah satu hal yang perlu dibahas disini adalah soal kanon Alkitab. Kanon adalah kata Yunani yang sebenarnya dari bahasa Ibrani qaneh atau dari bahasa Babilonia qanu. Kanon berarti “batang gelagah”; lalu dalam perkembangannya, kata ini berarti juga “tongkat pengukur” yang dipakai tukang kayu atau tukang batu. Akhirnya, kata itu mendapat arti kiasan, yaitu “pedoman” atau “norma”. Arti kiasan inilah yang kita pakai kalau kita berbicara tentang kanon Alkitab. Yang dimaksud dengan kanon Alkitab adalah daftar resmi semua Alkitab yang diakui oleh Gereja sebagai kitab yang diwahyukan oleh Allah. Setiap kitab yang termasuk dalam daftar ini kita sebut kitab kanonik. Sedangkan semua kitab yang tidak termasuk daftar ini bukanlah kanonik, artinya tidak termasuk bagian Alkitab. Dilain pihak, istilah “kanon Alkitab” mengandung juga pengertian bahwa semua kitab kanonik itu mempunyai sifat normatif, sesuai dengan arti kata kanon itu sendiri; itu berarti semua kitab dalam daftar tersebut mengikat untuk iman dan perilaku Gereja.
Perlu diketahui bahwa ada perbedaan antara kanon Alkitab yang diterima oleh Gereja Katolik dan kanon Alkitab menurut kebanyakan Gereja Reformasi (Protestan). Perbedaan kanon ini menjadi sebab adanya perbedaan-perbedaan lainnya. Misalnya kepercayaan akan adanya api penyucian, kebiasaan berdoa bagi orang mati, dan sebagainya diakui oleh Gereja Katolik tetapi ditolak oleh Gereja Reformasi. Hal-hal ini akan kita bahas pada waktunya.
Berapakah jumlah kitab dalam Alkitab? Menurut Gereja Katolik jumlahnya 72 atau 73, tergantung dari cara kita menghitungnya. Supaya jelas baiklah kami sajikan daftar selengkapnya:
I. Perjanjian Lama: A. Protokanonik:
1. Kejadian 21. Pengkhotbah
2. Keluaran 22. Kidung Agung
3. Imamat 23. Yesaya
4. Bilangan 24. Yeremia
5. Ulangan 25. Ratapan
6. Yosua 26. Yehezekiel
7. Hakim-hakim 27. Daniel
8. Rut 28. Hosea
9. 1 Samuel 29. Yoel
10,.2 Samuel 30. Amos
11. 1 Raja-raja 31.Obaja
12. 2 Raja-raja 32. Yunus
13. 1 Tawarikh 33. Mikha
14. 2 Tawarikh 34. Nahum
15. Ezra 35. Habakuk
16. Nehemia 36. Zefanya
17. Ester 37. Hagai
18. Ayub 38. Zakharia
19. Mazmur 39. Maleakhi
20. Amsal
B.Deuterokanonik:
40. Tobit
41. Yudit
Tambahan-tambahan pada kitab Ester (nomor 17 diatas)
42. Kebijaksanaan Salomo
43. Yesus bin Sirakh
44. Barukh
Surat dari Nabi Yeremia (atau menjadi bab 6 dari kitab Barukh, no. 44 diatas)
Tambahan-tambahan pada kitab Daniel (nomor 27 diatas)
45. Kitab Makabe yang pertama
46. Kitab Makabe yang kedua
II. Perjanjian Baru:
47. Injil Matius
48. Injil Markus
49. Injil Lukas
50. Injil Yohanes
51. Kisah Para Rasul
52. Surat Paulus kepada Jemaat di Roma
53. Surat Paulus yang pertama kepada Jemaat di Korintus
54. Surat Paulus yang kedua kepada Jemaat di Korintus
55. Surat Paulus kepada Jemaat di Galatia
56. Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus
57. Surat Paulus kepada Jemaat di Filipi
58. Surat Paulus kepada Jemaat di Kolose
59. Surat Paulus yang pertama kepada Jemaat di Tesalonika
60. Surat Paulus yang kedua kepada Jemaat di Tesalonika
61. Surat Paulus yang pertama kepada Timotius
62. Surat Paulus yang kedua kepada Timotius
63. Surat Paulus kepada Titus
64. Surat Paulus kepada Filemon
65. Surat kepada Orang Ibrani
66. Surat Yakobus
67. Surat Petrus yang pertama
68. Surat Petrus yang kedua
69. Surat Yohanes yang pertama
70. Surat Yohanes yang kedua
71. Surat Yohanes yang ketiga
72. Surat Yudas
73. Wahyu kepada Yohanes
Jadi, menurut Gereja Katolik Alkitab itu terdiri dari 73 kitab, dengan rincian sebagai berikut: 46 kitab Perjanjian Lama, dan 27 kitab Perjanjian Baru. Namun karena konsili Trente (tahun 1545-1563) menghitung kitab Ratapan (no.25 diatas) sebagai bagian dari kitab nabi Yeremia (no.24 diatas), maka jumlah Alkitab menjadi 72 saja. Kitab-kitab yang tidak diakui oleh Gereja-gereja Protestan sebagai bagian Alkitab ialah semua kitab atau bagian kitab yang terdaftar pada bagian 1.B dan yang kita sebut deuterokanonika. Perlu kita catat disini bahwa apa yang kita sebut deuterokanonika ini oleh orang-orang Protestan disebut apokripa. Namun akan kita singgung lagi makna istilah-istilah protokanonika dan deuterokanonika. Untuk jelasnya sebaiknya kami berikan lebih dahulu daftar perbedaan istilah:
Gereja Katolik: Gereja Protestan:
Protokanonik Protokanonik
Deuterokanonik Apokrip
Apokrip Pseudepigrap
Bagi Gereja Katolik yang dimaksud dengan apokrip (atau menurut istilah Gereja Protestan pseudepigrap) adalah buku-buku keagamaan yang baik untuk dibaca tapi tidak diilhami Roh Kudus.
Mengapa ada perbedaan jumlah Alkitab menurut Gereja Katolik dan menurut Gereja Protestan? Apakah Gereja Katolik menambah jumlah Alkitab, seperti tuduhan sementara orang? Baiklah kami kutip disini tulisan G.M. Bromiley, seorang dari Gereja Reformasi yang bisa mewakili pendapat banyak orang:
Apakah Alkitab? Jawaban Roma Katolik adalah, bahwa Alkitab terdiri dari PL dan PB termasuk ‘apokrip’ dari PL. Dengan demikian tulisan-tulisan yang tidak dapat dimasukan dalam daftar kitab-kitab yang diilhamkan dan berwibawa, dianggap sama bobotnya dengan kitab-kitab yang kanonik dalam pembicaraan tentang ajaran
Bagi mereka yang awam dalam seluk beluk Alkitab, ucapan Bromiley ini langsung memberi kesan seakan-akan Gereja Katolik itu bodoh sekali. Menggapa? Sebab ia menganggap kitab-kitab yang tidak diilhami sebagai kitab yang mempunyai bobot yang sama dengan Alkitab sendiri. Tetapi kutipan diatas menunjukan kekacauan pikiran Bromiley. Betapa tidak, dia mengadili Gereja Katolik dengan memakai tolak-ukur kepercayaannya sendiri. Dia menilai iman Katolik menurut keyakinannya sendiri, yakni bahwa apa yang disebut deuterokanonik dan apa yang diimani oleh Gereja Katolik sebagai bagiab Alkitab dia anggap sebagai kitab-kitab apokrip, sehingga “tidak dapat dimasukan dalam daftar kitab-kitab yang diilhamkan dan berwibawa”. Masalahnya sekarang: benarkah kitab-kitab yang disebutnya “apokrip” itu bukan bagian dari Alkitab? Jika kita mua menggunakan argumen palsu yang serupa, kita dapat membela diri dengan jalan membalik tuduhan Bromiley diatas: “Tidak, Gereja Katolik sama sekali tidak menambah jumlah Alkitab. Sebaliknyalah: Gereja-gereja Reformasilah yang mengurangi jumlah Alkitab” sebab mereka tidak mengakuai Sabda Allah yang teemuat dalam kitab-kitab deuterokanonika. Jadi masalah yang sebenarnya perlu didialogkan bukanlah bagaimana mungkin Gereja Katolik menganggap apa yang bukan Sabda Allah sebagai Sabda Allah, melainkan dapatkah dibenarkan bahwa Gereja Katolik menganggap kitab-kitab deuterokanonik diatas sebagai Sabda Allah? Seperti yang akan segera kita lihat, pada akhirnya soal kanon adalah soal kepercayaan dan keputusan yang diambil masing-masing Gereja. Oleh karena itu, paling tidak kita perlu menghargai kepercayaan orang lain, dan tidak mengadili orang lain menurut kepercayaan sendiri.Untuk dapat memahami apa yang baru saja kami katakan baiklah kita telusuri sejenak sejarah singkat terbentuknya kanon Alkitab.
Sejarah terbentuknya kanon
1. Kitab suci pada jaman Yesus dan Para Rasul
Dari cara sementara orang melontarkan serangan-serangan terhadap kanon Alkitab menurut Gereja Katolik, orang mudah mendapat kesan keliru ini. Orang mendapat kesan seakan-akan pada jaman Yesus sudah ada daftar Alkitab yang lengkap dan definitif; lalu dalam perkembangan sejarahnya, Gereja Katolik menyelewengkan daftar itu dengan menambah-nambahnya. Mungkin orang akan terkejut kalau mengetahui bahwa pada jaman Yesus belum ada kanon Perjanjian Lama, apalagi kanon Perjanjian Baru yang memang belum lahir itu. Jadi, kita tidak biasa mengetahui berapa tepatnya jumlah kitab Perjanjian Lama (=PL) yang dikenal dan diakui oleh Yesus, atau oleh para rasul. Namun ada satu hal yang hampir pasti baik menurut para ahli Katolik maupun bukan-katolik, yakni bahwa PL yang dipakai oleh gereja Para Rasul adalah PL dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuaginta. Septuaginta ini dipakaai orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani, lebih-lebih yang hidup diluar Palestina. Perlu diketahui bahwa Septuaginta “lebih tebal” daripada PL dalam bahasa Ibrani. Itu berarti bahwa PL yang dipakai oleh para rasul memuat lebih banyak kitab daripada PL bahasa Ibrani yang diakui oleh orang-orang Yahudi sekarang dan oleh Gereja Reformasi. Dengan kata lain, Septuaginta mempunyai lebih dari 39 kitab. Dalam Septuaginta inilah terdapat ketujuh kitab yang kita sebut deuterokanonika itu. Memang orang bisa mempersoalkan apakah pada jaman Yesus Septuaginta sudah memiliki jumlah buku yang sudah lengkap seperti Septuaginta yang kita miliki sekarang. Namun satu hal sudah jelas: PL dalam bahasa Yunani ltu lebih panjang daripada PL yang tertulis dalam bahasa Yunani. Jadi pada jaman Yesus ada dua kanon PL: yang satu adalah “kanon Ibrani” yang lebih pendek, yang lain adalah “kanon Yunani” yang lebih panjang. Kanon yang lebih pendek berlaku di Palestina, sedangkan yang lebih panjang di Alexandria. Akan tetapi kedua kanon tersebut belumlah merupakan kanon yang tertutup yang definitif. Hal ini dapat kita simpulkan, antara lain dari dua fakta berikut ini. Pertama, menurut Flavius Yosephus, sejarahwan Yahudi yang hidup antara tahun 30 dan 100 Masehi itu, mayoritas oraang-orang Yahudi mengakui 22 kitab sebagai kitab suci mereka; ke-22 kitab tersebut ialah kelima kitab Musa yang disebut kitab Taurat itu, 13 kitab para nabi, dan 4 kitab yang berisi madah-pujian dan perintah-perintah untuk tingkah-laku manusia. Diduga bahwa keempat kitab yang disebut terakhir itu adalah Mazmur, Kidung Agung, Amsal, dan Pengkhotbah. Jadi, Yosephus tidak menghitung deuterokanonika. Akan tetapi dalam tulisan-tulisannya ternyata Yosephus memakai juga 1 Mak dan tambahan pada kitab Ester. Nah, karena Yosephus sendiri juga mengaku bahwa ia hanya memakai buku-buku suci sebagai sumber untuk tulisannya, maka kemungkinan besar dia sendiri mengakui 1 Makabe dan tambahan pada Estar sebagai bagian dari kitab sucinya. Kedua, berbeda dengan kesaksian Yosephus, sebuah tulisan Yahudi lain, yang bernama 4 Esdras, menyatakan bahwa kitab suci yang umum diterima orang Yahudi berjumlah 24. Bisa jadi, perbedaan angka ini terjadi karena perbedaan cara menghitung, tetapi bisa juga mencerminkan perbedaan jumlah kitab dalam arti sebenarnya; kemungkinan yang kedualah yang masuk akal.
Dengan keterangan-keterangan diatas menjadi jelas bahwa lebih besarlah kemungkinannya Gereja Para Rasul menerima kitab-kitab deuterokanonika sebagai bagian dari kitab suci mereka sebab mereka memakai Septuaginta, kanon yang lebih panjang itu. Fakta bahwa gema dan pengaruh kitab-kitab deuterokanonika cuma melimpah dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru (=PB) menguatkan hal ini.
2. Penetapan kanon Yahudi:
Menurut kebanyakan ahli Alkitab (baik yang Katolik maupun bukan Katolik), orang-orang Yahudi untuk pertama kalinya menetapkan kanon kitab suci mereka sekitar 70 tahun sesudah Yesus wafat, yakni antara tahun 90 sampai 100 Masehi. Yang menetapkannya ialah sekelompok rabi dari suatu sekolah agama Yahudi. Sekolah tersebut berasal dari aliran Farisi di Yamnia, yakni sebuah kota di Palestina, yang terletak disebelah barat Yerusalem. Pendapat umum masih mengatakan bahwa sekolah di Yamnia itu menerima kanon pendek (jadi tanpa deuterokanonika). Namun keputusan mereka itu tidak langsung diterima oleh semua orang Yahudi. Baru sekitar abad kedua atau awal abad ketiga Masehi keputusan Yamnia itu diterima oleh semua orang Yahudi. Ini berarti sesudah keputusan tersebut, banyak orang Yahuudi selama kurang lebih seabad masih menerima beberapa buku ( yang tidak tercantum dalam kanon pendek Ibrani) sebagai bagian kitab suci mereka.
3. Penetapan kanon Katolik:
Kapan Gereja Katolik menetapkan kanon alkitab? Keputusan yang definitif dan yang jelas mengikat baru diambil pada Konsili Trente, tepatnya melalui dekrit De Canonicis Sclipturis ( “Tentang Kanon Alkitab”)Pada tanggal 8 April 1546. Menurut keputusan tersebut gereja Katolik mengakui 45 kitab untuk PL dan 27 kitab untuk PB. Namun keputusan Konsili Trente ini bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Sudah sejak dahulu (jauh sebelum timbulnya Reformasi ) kebanyakan gereja lokal – dalam persatuan dengan dan dalam ketaatan kepada gereja Roma – mengakui deuterokanonika sebagai bagian dari PL. Keputusan-keputusan Gereja lokal yang mempersiapkan keputusan Konsili Trente tersebut adalah:
1. Beberapa konsili Gereja-gereja di Afrika Utara, yaitu konsili di Hippo pada 393, di Katargo pada 397 dan kemudian di Katargo lagi pada 419.
2. Dekrit Paus Damasus yang dikeluarkan pada konsili di Roma pada 382.
3. Konsili umum/universal yang diadakan pada 1441 dikota Firenze, Italia.
Perlu diketahui selama 2 abad pertama belum pernah timbul perlakuan bahwa Deuterokanonika adalah Sabda Allah. Baru sesudah itu ada beberapa bapa Gereja meragukannya. Hal inilah yang mendorong para uskup
Dalam tiga dukumen yang lazim disebut Confessio Gallicana pada 1559, Confessio Belgica pada 1561 dan yang melengkapi protokanonika. Jadi istilah “kanon yang kedua” tidak berarti bahwa bobotnya berbeda. Baik protokanonika maupun deuterokanonika saama-sama Sabda Allah.
4. Penetapan Kanon Gereja-gereja Reformasi
Dalam tiga dokumen yang lazim disebut Confessio Gallicana pada 1559, Confessio Belgica pada 1561 dan Confessio Westminster pada tahun 1648, Gereja-gereja Reformasi menetapkan kanon Alkitab mereka. Untuk kanon PB mereka mengakui ke-27 kitab seperti yang diakui Gereja Katolik. Namun untuk kanon PL kebanyakan Gereja Reformasi mengikuti kanon pendek Ibrani seperti yang diterima orang-orang Yahudi; jadi mereka tidak mengakui ketujuh kitab deuterokanonik dan tambahan pada kitab Daniel dan Ester sebagai Sabda Allah sendiri.
KESIMPULAN:
Menjadi jelas dari uraian diatas bahwa mempelajari sejarah penetapan kanon Alkitab tidak lain daripada mempelajari sejarah keputusan-keputusan yang diambil oleh jemaat, baik Yahudi maupun kristen, melalui wewenang pimpinan mereka. Dari fakta ini ada dua hal yang bisa kita petik untuk mematahkan tuduhan orang yang mengatakan bahwa Gereja Katolik memambah jumlah Alkitab.
Pertama, karena KITAB SUCI SENDIRI TIDAK MENYEBUT BERAPA KITAB YANG DIILHAMI ALLAH, maka penetapan kanon Alkitab ternyata adalah hasil keputusan Gereja. Maka dari itu, tepatlah perkataan S.Agustinus ini: “Aku akan percaya pada Injil, andaikata otoritas Gereja Katolik tidak mendorongku untuk mengikutinya” (Contra Epistolam Manichael 5.6). Pada abad-abad pertama masehi banyak beredar macam-macam tulisan mengenai Yesus Kristus yang diberi judul Injil. Ada yang disebut Injil Bartolomeus, Injil Thomas, Injil Matius dan sebagainya. Akan tetapi tidak semua tulisan tersebut diterima oleh gereja sebagai bagian dari PB. Dari mana kita tahu bahwa Injil Matius itu Sabda Allah, sedangkan Injil Thomas yang juga dikenal oleh orang-orang Kristen purba adalah bukan Sabda Allah? Jawabanya: dari gereja yang mengajar kitaa demikian. Dalam arti inilah maka Alkitab itu kita anggap juga sebagai “buku gereja”. Seadndainya gereja tidak mengimani Sabda Allah, tidak akan ada Alkitab. Sejauh Alkitab adalah Sabda Allah yang diimani dan dihayati oleh gereja, maka Alkitab bisa disebut buku gereja.
Jadi, kalau kita mau bertanya manakah kanon yang lebih benar, kanon pendek yang diterima Gereja Reformasi ataukah kanon panjang yang diterima Gereja Katolik, faktor yang lebih menentukan adalah faktor kewibawaan lembaga atau pimpinan yang menetapkan kanon tersebut. Manakah yang diterima: keputusan Gereja Katolik ataukah keputusan sekolah keagamaan Yahudi yang kelak diikuti oleh Gereja-gereja Reformasi? Pimpinan manakah yang kita akui sebagai lebih berwibawa? Sebagai orang Katolik, tentu saja kita memilih keputusan Konsili Trente, sebab kita percaya bahwa merea yang hadir dalam konsili itu merupakan pimpinan yang berwibawa. Didalam Gereja Katoliklah terjadi penerusan pimpinan dan wewenang suci dari Petrus serta para rasul laainnya kepada para paus dan uskup, yang terjadi secara turun temurun tanpaputus melalui pentahbisan uskup-uskup secara sah.
Kedua, Gereja Para Rasul memakai PL dalam bahasa Yunani (atau Septuaginta) yang mempunyai kanon lebih panjang; maka dari itu besar kemungkinannya “ya” ketimbang “tidak” baahwa Gereja Para Rasul menerima deuterokanonika sebagai Sabda Allah Banyaknya pengaruh kitab-kitab deuterokanonika atas tulisan-tulisan dalam PB menguatkan hal itu.