Dan mereka itupun berteriak, katanya: “Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?”
Saya melihat perbuatan baik dari Yesus yang spektakuler mengusir setan ini, ternyata bukan ditanggapi dengan gembira, tetapi dengan ketakutan oleh orang Gadara, dan memang inipun yang saya alami ketika melakukan perlawanan terhadap perbuatan penghakiman kolektif yang tidak lazim, hasilnya hampir semua teman-teman pergi menjauh. Dan sayapun akhirnya memilih untuk menjauh dari teman-teman yang tidak menyukai sikap kritis tersebut, daripada harus bertentangan dengan suara hati dan idealisme.
Dulu ketika jaman Suharto, banyak aktivis yang melawan Suharto ditangkapi, termasuk juga umat Katolik, dan ketika itu Gereja sama sekali tidak bersuara, bahkan cenderung menghindar dan menyalahkan atas keberanian tersebut, bahkan sempat terjadi silang pendapat terhadap keberanian seorang romo yang menolong menyembunyikan aktivis PRD. Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi banyak aktivis yang berhasil melewati masa kristis tersebut.
Begitu pula ketika teman-teman berjuang membela ketidak-adilan atas hukuman mati Tibo dan kawan-kawan, Gereja hampir tidak bersuara, untunglah masih ada seorang pastor yang gigih membelanya dan Paus Benediktus 16 ikut memberikan perhatian dengan simbol mengirimkan seuntai Rosario, kalau tidak, tentulah kita seperti mengamini kebrutalan ini. Jawaban hierarkhi ketika itu adalah ”Silence advokasi” – bagi saya ini sungguh naif.
Mungkin kita terbiasa pasrah atau memberikan pipi kanan ketika ditampar pipi kiri, dengan berharap Tuhan Yesus yang terus bekerja melalui Roh Kudus untuk menyadarkan para orang jahat tersebut, atau bisa saja terbiasa menikmati hidup mapan (mungkin saja ini bagian dari sikap oportunis sejati), sehingga terganggu sekali ketika ada diantara kita yang bertindak revolusioner, karena bisa berimbas pada aktivitas dan usaha (kemapanan) mereka.
Kadang kala kita lebih rela ditindas atau melihat sesama menderita ditindas, asal tidak membuat kita terlibat atau mengganggu stabilitas kemapanan, padahal, bisa saja suatu ketika nanti hal tersebut akan dialami juga dan tiada seorangpun yang peduli. Lalu dimana rasa senasib dan sepenanggungan sebagai saudara seiman? Memang tidak harus kekerasan dilawan kekerasan, tetapi memiliki sikap tegas terhadap ketidak-adilan dan melawan tanpa kekerasan adalah sikap yang patut dikembangkan, agar perjuangan Yesus tidak tergerus oleh perubahan jaman. [Samsi Darmawan]
================================================================================================
Bacaan Matius 8:28-34
Setibanya di seberang, yaitu di daerah orang Gadara, datanglah dari pekuburan dua orang yang kerasukan setan menemui Yesus. Mereka sangat berbahaya, sehingga tidak seorangpun yang berani melalui jalan itu. Dan mereka itupun berteriak, katanya: “Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?”
Tidak jauh dari mereka itu sejumlah besar babi sedang mencari makan. Maka setan-setan itu meminta kepada-Nya, katanya: “Jika Engkau mengusir kami, suruhlah kami pindah ke dalam kawanan babi itu.”
Yesus berkata kepada mereka: “Pergilah!” Lalu keluarlah mereka dan masuk ke dalam babi-babi itu. Maka terjunlah seluruh kawanan babi itu dari tepi jurang ke dalam danau dan mati di dalam air. Maka larilah penjaga-penjaga babi itu dan setibanya di kota , diceriterakannyalah segala sesuatu, juga tentang orang-orang yang kerasukan setan itu.
Maka keluarlah seluruh kota mendapatkan Yesus dan setelah mereka berjumpa dengan Dia, merekapun mendesak, supaya Ia meninggalkan daerah mereka.