(Diambil dari Berita Sepekan Paroki Santa Perawan Maria Ratu edisi 4 Mei 2008 )
Kredit, dalam kenyataannya, memainkan peran ekonomi, politik, dan sosial yang amat menentukan. Kredit adalah senjata yang ampuh. Siapa pun memiliki senjata ini dapat lebih baik dalam menyiasati keterbatasan keuangan. Lewat kredit yang tepat mengantar orang memasuki jalur menuju sejahtera.
Sulit membayangkan bagaimana keadaan ekonomi keluarga kakak saya, apabila orangtua saya tidak memperoleh kredit. Ketika kakak saya lulus dari STM Mikael, Solo, orangtua saya melihat Akademi Tehnik Mesin Industri (ATMI) sebagai salah satu gerbang untuk meningkatkan taraf hidup. Setelah kakak dinyatakan diterima (1992), orangtua saya mesti menyediakan Rp 3,5 juta sebagai biaya masuk dan ongkos praktik selama 3 tahun. (Biaya masuk ATMI sekarang k.l.
Rp 25 juta). Gaji ayah sebagai seorang tentara waktu itu sekitar Rp 150.000 per bulan. Ibu berdagang kecil-kecilan. Untunglah, waktu itu mereka memperoleh pinjaman dari BRI. Saat ini kakak saya belum kaya, tapi setidaknya taraf ekonominya sudah lebih tinggi dari orangtua saya. Hal ini bisa terjadi, karena orangtua saya memperoleh kredit dari bank.
Masalahnya, tidak semua orang dapat memperoleh kredit dari bank. Pelayanan perbankan tidak menjangkau orang miskin. Karena tidak memiliki agunan, orang miskin tak dipercaya untuk mendapatkan kredit. Inilah lingkaran setan kemiskinan itu. Untuk terbebas dari kemiskinan, orang miskin perlu kredit. Tapi karena miskin, orang miskin tak dipercaya untuk menerima kredit.
Di sinilah Credit Union (CU) menawarkan terobosan. Pertama, CU mengajak orang miskin untuk mengembangkan aset dengan cara menabung. Berikutnya, setelah habitus baru menabung terbentuk, CU memberikan kredit kepada anggota. Pada sisi lain, CU dapat juga menjadi penyalur dana milik orang kaya yang kelebihan uang kepada orang miskin yang butuh modal. Di sinilah wujud nyata semangat solidaritas. Supaya kredit sungguh membantu anggota semakin sejahtera, perlu manajemen profesional dan disiplin. “Tanpa disiplin kredit yang keras,” kata Muhammad Yunus (Peraih Nobel, Pendiri Grameen Bank di Bangladesh), “kredit tak berarti apa-apa tetapi hanyalah derma dan belaskasihan. Derma dan belaskasihan akan menjerumuskan kaum miskin ke dalam jurang kemelaratan, tidak akan membantu sama sekali. Lembaga kredit harus memastikan bahwa pinjaman yang diberikan akan dikembalikan secara penuh dan tepat waktu.”
Yunus juga mengusulkan agar “tidak-tanduk para peminjam ini selalu diamati. Kalau anda lengah, berarti anda akan berhadapan dengan resiko kredit lalai/macet. ” Lewat pengawasan ini CU mendidik para anggotanya.
Hingga Februari 2008, CU Bererod Gratia (CUBG) di Jakarta beranggotakan 2.139 orang dan berhasil mengumpulkan Rp 16,75 milyar dari anggota. Dari dana tersebut telah dikucurkan kredit lebih dari Rp 13,3 milyar. (Rp 2,1 m pinj. Kapitalisasi; Rp 6,7 pinj. produktif, Rp 4,5 m pinj. konsumtif).
Mau maju? Boleh deh pinjam ke CUBG. (Rm A. Sumarwan, SJ)