Sabtu menggeliat dengan meriahnya, tatkala matahari belum juga terbangun dari mimpinya. Sabtu adalah hari yang membuat malas orang untuk beraktivitas, karena akhir pekan adalah saatnya berlibur. Namun tak begitu semua orang menikmati liburan dengan mengurung diri alias tidak keluar rumah.
Sabtu ini bagi saya adalah hari yang riuh, karena sejak pukul 05.00, persiapan untuk keluar kota sudah dimulai. Perjalanan kali ini menjadi begitu istimewa bagi saya dan teman-teman, bagaimana tidak mengunjungi luar kota beramai-ramai jarang dilakukan. Namun sabtu, 20 februari ini adalah saat untuk mengurai perjalanan ke beberapa tempat di wilayah Jawa barat. Jakarta masih redup ketika mobil yang membawa saya melaju membelah pagi, perjalanan kali ini memang dilakukan pagi-pagi agar nanti dapat singgah kebeberapa tempa, antara lain Cirebon, Majalengka dan Cigugur.
Waktu menunjukkan pukul 09.00, ketika kami berhenti untuk melahap semangkuk soto ayam di pinggir jalan.Warung Soto yang cukup ramai, meskipun tempatnya hanya diemperan toko. Nikmat benar rasanya pagi ini menyantap semangkuk soto dan sate usus. Tempat saya berhenti masuk wilayah Indramayu , ruwet kendaraan juga terjadi terutama ketika melintas di pasar.
Tak membutuhkan waktu lama, mobil melaju kembali meskipun beberapa kaliharus berhenti untuk sekedar membeli camilan yang dijual pedagang asongan atau bahkan berhenti di sebuah pasar untuk membeli duku sebelum memasuki kota Cirebon.
Alun-alun Cirebon cukup meriah ketika mobil berhenti disana, rupanya hari ini tengah di selenggarakan sebuah acara. Sambil menunggu Alif (fahmina Cirebon) saya menyusuri alun-alun dengan sebuah masjid yang cukup megah, konon ini adalah masjid terbesar di kota Cirebon.
Tak berapa lama, sms Kyai Maman masuk “Singgah ke Pesantren, ada sup paling enak untuk makan siang”. Hem…suasana menjadi begitu hidup ketika membicarakan makanan, apalagi sebentar lagi adalah saat makan siang. Tak berapa lama, mobil melaju meninggalkan Cirebon menuju pesantren Al-Mizan Majalengka. Kurang lebih satu jam perjalanan dari Cirebon akan ditempuh.
Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di pesantren, meskipun sebenarnya ketika kuliah dulu sempat singgal di Pondok pesantren Krapyak. Cuaca cukup panas, ketika saya melangkah masuk ke halaman pesantren. Terlihat beberapa siswa tengah berjalan keluar halaman pesantren, namun ada juga yang masih duduk-duduk di teras sekolah. Pesantren Al-Mizan memang memiliki sekolah yang cukup lengkap, mulai dari Pendididkan Anak Usia Dini (PAUD), Play Groups, Taman Kanak-Kanak (TKK), Sekolah Dasar (SD), Madrasah TSanawiyah (MTS) setingkat SMP, hingga Madrasah Aliyah (MA) setingkat SMA. Seluruh siswa berjumlah kurang lebih 500 orang.
Disambut dengan hangat oleh pengasuh Pondok Pesantren, KH. Maman Imanulhaq dan istrinya Upik R, saya berkeliling seputar pesantren. Mulai mengunjungi asrama/pesantren untuk perempuan dan laki -laki. Letak kedua pesantren tersebut berdekatan bahkan tanpa sekat tembok, “pesantren ini tidak memisahkan mereka secara berjauhan, karena mereka punya hak untuk saling mengenal antara laki-laki yang perempuan”. Saya begitu terkesima mendengar itu semua, karena bayangan selama ini begitu ketatnya sebuah pesantren hingga untuk bersapa pun pasti tak bisa. Tapi apa yang saya bayangkan selama ini, ternyata tak sepenuhnya benar. Pesantren ini dihuni oleh kurang lebih 100 orang santri. Memang tidak semua siswa menjadi santri, ada juga siswa umum yang tinggal bersama orang tuanya.
“Siswa juga melakukan kegiatan secara bersama-sama, tak ada pemisahan khusus laki-laki dan perempuan. Bahkan untuk saling menyukai tak ada larangan, semisal ada yang mengirim surat ke santri putri ketahuan, harus disensor dulu. Dalam arti bagaimana bahasa yang digunakan, sopan atau tidak serta menggunakan bahasa sastra yang benar. Kalu tulisannya tidak menggunakan kaidah satra yang benar baru akan diberi sanksi”. Papar orang dekat Gus Dur tersebut.
Saya menjadi makin tertarik dengan hal yang baru saja disampaikan, bagaiman cara membuat surat cinta misalnya harus mengandung kaidah bahasa dan satra yang cukup baik. Ternyata Kyai muda tersebut menangkap pertanyaan saya, “Sekolah ini juga memberikan pendidikan sastra seperti menulis puisi, cerpen dan lain-lain. Bahkan dianjurkan siswa untuk menulis”. Seorang satrawan sebut saja Asep Zam-zam Noer membimbing siswa disini untuk mengusai sastra. Bahkan saya sempat dkenalkan dengan seorang santri yang memenangkan perlombaan puisi dan penulisan sastra.
Pesantren Al_Mizan juga mengedepankan pendidikan untuk kaum perempuan “saya mengajarkan kepada mereka tentang keputren, yaitu ketrampilan dan teori tentang berbagai ketrampilan untuk perempuan. Meskipun bernama keputren, kegiatan ini dilakukan oleh siswa putra maupun putri pesantren ini sangat terbuka untuk perempuan berkembang, dan ternyata hal ini juga dibuktikan bahwa kepala sekolah MA adalah seorang perempuan” demikian papar perempuan lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Negeri Cirebon itu.
Menjelajahi area pesantren yang cukup luas tersebut saya dapat menemukan beberapa hal, antara lain ditengah-tengah kesibukan pengasuh Al-Mizan tersebut hubungan dengan santri cukup terbuka dan baik. Terbukti ketika saya melangkah dan berpapasan dengan para santri, mereka tak sungkan menyapa dan mencium tangan saya. “Mereka diajarkan untuk terbuka dan menyapa semua orang yang datang” urai penulis buku Fatwa dan Canda Gus Dur.
Perpaduan antara pendidikan agama dengan pendidikan yang cukup modern terlihat disini, santri mendapatkan ilmu agama namun pendidikan umum juga diberikan. Menguasai ilmu dan teknolgi juga menjadi kewajiban santri, diarea pesantren berdiri sebuah warnet. Ada beberapa tempat yang bisa untuk melakukan akses internet, di dekat area TK dan diluar pesantren atau dihalaman masuk pesantren. Pesantren Nahdatul Ulama di Majalengka ini membuka diri untuk siapa saja yang akan berkunjung, tak terbatas pada suku ataupun agama. Membiasakan santri untuk bertemu dengan mereka yang diluar Islam adalah sarana bagi mereka untuk belajar tentang kehidupan ini, bahwa keberagaman itu tumbuh dan berkembang diluar pintu pondok pesantren.
Ketika saya melintas di pondok putra, terlihat para santri santai memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu pop, kemudian saya bertanya” mereka boleh bermain gitar di pesantren?”. kenapa tidak, malah saya dorong mereka untuk bermain musik, mendengarkan radio bahkan menonton teve, itu adalah hak mereka” ujar penulis antologi puisi tersebut.
Menciptakan manusia yang luhur dan berbudi pekerti selaras dengan tuntunan agama, memang tidak hanya berhenti pada pintu batas pesantren. Karena semua itu juga bisa berasal dari kehidupan diluar rumah mereka, berasal juga dari orang-orang yang datang bertamu dan yang kita kenal. Mengajarkan toleransi kepada para santri memang sudah dilakukan secara nyata di Al-Mizan, dengan bertemu langsung dengan mereka yang berbeda keyakinan. Mengajarkan penghargaan terhadap perbedaan itu tak bisa hanya lewat teori, tetapi langsung melakukannya.
Selayaknya umat manusia melihat perbedaan itu adalah anugerah yang sengaja Tuhan hadirkan di relung-relung kehidupan. Untuk menjadi sama ataupun seragam, bagi Tuhan tak masalah, namun mengapa sengaja perbedaan itu diciptakan? tentunya bukan untuk saling melempar benci ataupun makin menciptakan jarak, namun sebenarnya Tuhan juga tahu bahwa kita manusia yang dibekali seperangkat pikiran dan hati untuk berbuat lebih baik secara bersama-sama.
Al-Mizan membuka pintu untuk segala perbedaan masuk dan tersaji agar semua anak manusia belajar untuk saling manghargai serta menggormati, bahwa Tuhan menciptakan keragaman dalam segala hal, termasuk pikiran, pakaian, agama, suku untuk berdampingan dan bersahabat. Karena selayaknya kita adalah umat-umat Tuhan.
Penghargaan terhadap hak asasi manusia yang diajarkan sejak dini, adalah bentuk pelajaran berharga terhadap kehidupan. Memberikan kebebasan bertanggung jawab, dan belajar menanggung resiko adalah pelajaran kehidupan untuk menjadi manusia yang berani dan mampu menetukan pilihan hidup dengan segala pertimbangan matang. Selayaknya Hak asasi itu ditegakkan dimana saja, tak terbatas ruang dan waktu karena sepenuhnya adalah milik semua orang. Hak untuk berekpresi juga patut dikedepankan bahwa manusia itu harus dihargai dalam menyalurkan keinginan, harapan, cita-cita dan mewujudkan ekspresinya dalam kehidupan nyata.
Memberikan pembatasan yang jelas, tidak sumir terhadap semua warga pesantren adalah cara yang cukup bijak untuk menjalankan sebuah hukum atau peraturan. Peraturan itu selayaknya disosialisasikan kepada seluruh warga, agar mereka memahami batas-batas yang jelas, sehingga tak menutup kemungkinan akan di tafsirkan dengan cara yang salah.
Perjalanan saya siang itu ditutup dengan makan siang berupa menu sup kikil paling renyah di Majalengka. Dibarengi tawa dan canda, kami makan bersama dengan keluarga Kyai nyentrik tersebut. Matahari mulai condong kebarat, pertanda saya harus meninggalkan Al-Mizan, untuk melanjutkan perjalanan saya ketempat lain. Wilayah Cigugur, Kuningan adalah tujuan berikutnya masih banyak cerita yang tersisa untuk hari ini. Terimakasih untuk pelajaran hidup yang dapat saya petikdari Al-Mizan…