PENGANTAR
Seluruh kehidupan manusia berkisar di antara dua hal besar ini: kelahiran dan kematian. Bagi orang Tionghua, kedua hal ini sama-sama merupakan peristiwa hidup yang luar biasa, yang menentukan seluruh aspek hidup manusia. Baik hidup maupun mati, keduanya merupakan suatu “kehidupan” yang lain; hanya dimensinya saja yang berbeda. Persoalan seputar kematian mendapat perhatian besar karena banyak aspek kehidupan terlibat di dalamnya. Inilah paradoksnya. Perhatian orang Tionghua terhadap hal-hal seputar kematian berasal dari tradisi ribuan tahun yang tetap dipegang teguh.
Kata “kematian” menimbulkan kesan yang sangat menyeramkan; tidak enak didengar, bahkan diucapkan pun “tabu”. Amit-amit! Belum lagi berhadapan dengan kematian itu sendiri. Belum lagi berhadapan dengan orang mati, atau arwah orang mati yang kerap kali diyakini masih bisa “mengganggu” manusia yang hidup. Apa yang diajarkan tradisi mengenai kematian, terutama dalam ajaran Konfusius, menunjukkan inti kehidupan orang Tionghua. Adanya bermacam-macam kebiasaan dan tradisi yang kita lihat di sekeliling kita, terutama mengenai sembahyang terhadap orang meninggal, kerap kali bisa membingungkan kita. Hal ini menjadi semakin rumit, terlebih bila orang Tionghua memeluk agama lain – katakanlah agama Kristiani.
Dalam hal inilah sering terjadi ketegangan. Menjadi pengikut Kristus adalah rahmat Allah yang luar biasa. Namun kerap kali berhadapan dengan tradisi leluhur orang Tionghua menjadi gamang. Ada yang mengatakan ini boleh; ada yang mengatakan tidak boleh. Bahkan kerap kali pandangan dari gereja-gereja Protestan sangat bertentangan dengan Gereja Katolik. Di sekeliling kita terdapat begitu banyak informasi. Dari sekian banyak informasi, tinggal sedikit kebenaran; dan dari sekian sedikit kebenaran, terlebih sedikit lagi kebijaksanaan.
MASUK KE DUNIA LAIN
Hei Bai Wu Chang
Menjadi paham yang umum diterima di mana-mana – bahkan sejak jaman dahulu – bahwa kematian bukanlah akhir segalanya. Kematian hanyalah perpindahan manusia dari dunia ini ke dunia lain. Maka dalam banyak kebudayaan diadakanlah pelbagai macam upacara untuk “menghantar” jiwa orang yang meninggal ke “tempatnya yang baru”. Kebanyakan budaya mempercayai bahwa jiwa kekal, dan berpindah tempat. Karena itu manusia yang masih hidup ini mempunyai kewajiban memperlakukannya dengan baik.
Bagi orang Tionghua, kematian adalah perpindahan manusia dari dunia Yang ke dunia Yin. Yin dipahami sebagai segala unsur yang lembut, basah, rendah, negatif, gelap, dan sebagainya. Sementara Yang dipahami sebagai unsur sebaliknya. Baik yin maupun yang selalu bertolak belakang, namun keduanya berada dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah karena pergolakan yin dan yang. Terkadang yin lebih menonjol dan terkadang yang lebih menonjol. Namun semuanya itu akan kembali seperti semula, dan menjadikan semuanya netral.
Dengan meninggal, orang masuk ke dalam dunia yin yang tidak kasat mata dan dingin. Dunia mereka adalah dunia roh. Dalam menggambarkan peralihan ini, orang Tionghua mempersonifikasikan dua tokoh Hei Bai Wu Chang yang datang menjemput orang yang mendekati ajal supaya orang tersebut dapat meninggalkan dunia yang dan memasuki dunia yin dengan baik. Bagi sebagian besar orang, kedua tokoh ini dianggap sebagai malaikat pencabut nyawa dan disembah sebagai dewa. Namun sebenarnya mereka bukan dewa, melainkan gambaran dari dunia yin dan yang.
ROH ATAU HANTU
Di sinilah permasalahannya. Banyak orang mencampuradukkan istilah “roh” dan “hantu”. Bagi sebagian orang, kedua istilah ini sama saja. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak menjelaskan perbedaannya. Hantu disebut sebagai roh jahat (yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu), sementara Roh disebut sesuatu (unsur) yang ada di jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup.
Untuk memudahkan pembedaan antara roh dan hantu bisa dilihat beberapa ciri berikut:
1. Roh tidak memiliki bentuk nyata, tetapi dapat masuk ke dalam pikiran dan badan orang. Hantu memiliki suatu bentuk tertentu, dan hanya bisa dialami orang dari indera atau perasaan.
2. Disebut roh atau arwah bila mempunyai hubungan keluarga dan melindungi. Menjadi hantu kalau tidak ada hubungan apa-apa dan dianggap mengganggu.
Orang Tionghua tidak mengenal setan dalam arti yang dimengerti sekarang. Bagi orang Tionghua, makhluk rohani (hantu, roh) bisa menjadi siluman atau dewa, tergantung pada sifat dan kepada siapa mereka bergabung. Misalnya Sun Wukong, si Raja Kera, sewaktu mengacaukan Kerajaan Langit dianggap siluman kera; namun setelah “bertobat” ia menjadi dewa. Roh ataupun arwah akan berdiam selamanya di dunia yin, dan bersifat kekal. Karena pengaruh Budhisme, orang Tionghua kemudian mulai menerima ajaran reinkarnasi, dan mencampuradukkannya dengan kepercayaan tradisional.
PERINGATAN KEMATIAN
Pada dasarnya berdoa untuk orang meninggal, melepas jenazah, memperingati hari kematian merupakan hal yang universal. Secara khusus dalam masyarakat Tionghua, peristiwa ini mendapatkan perhatian yang sangat besar.
Pemakaman merupakan hal yang harus dilakukan secara serius. (Kremasi secara tradisional sangat tidak lazim dan merupakan pengaruh ajaran Budhisme.) Pengaturan pemakaman yang tidak tepat akan mendatangkan kekacauan alam yin dan yang, yang berakibat datangnya bencana terhadap keluarga. Selain itu, antara kedua dunia ini bisa saling berinteraksi. Bila dunia yin lebih kuat, maka dunia yang akan menderita. Sebaliknya juga demikian. Karena itu perlu diadakan pelbagai macam upacara sembahyang untuk menyeimbangkan kedua dunia ini. Selain itu, ajaran Konfusius yang sangat menekankan nilai keluarga menjadi titik tolak mengapa masyarakat Tionghua begitu memperhatikan peringatan atau penghormatan kepada orang yang meninggal. Keluarga adalah tiang utama kehidupan masyarakat yang baik, dan barangsiapa membina hubungan baik dalam keluarga, akan mendatangkan ketenteraman dan kedamaian dalam hidup. Inilah perdamaian di dalam dunia hidup dan dunia mati, bahwa keduanya saling berinteraksi dan saling memperhatikan.
ALASAN SEMBAHYANG ARWAH
1. Bakti kepada Orangtua
Ajaran bakti kepada orangtua merupakan ciri khas masyarakat Tionghua dan selalu dijunjung tinggi. Bakti ditujukan kepada orangtua bukan hanya sewaktu orangtua masih hidup, melainkan juga setelah orangtua meninggal. Dan ini masih dilanjutkan dengan penghormatan kepada leluhur. Penggunaan marga menunjukkan keturunan atau asal usul seseorang. Kerapkali perbedaan antara “penghormatan” kepada leluhur dan “penyembahan” kepada dewa-dewi sangat tipis dan mudah berubah-ubah. Bagi orang Tionghua, karena kuatnya pengaruh pandangan animistik pada roh dan mudahnya percaya pada dewa-dewi, maka sulit membuat pembedaan yang jelas antara shen (dewa) dengan gui (hantu) atau linghun (arwah).
Dalam Perspektif Katolik, penghormatan kepada orangtua / leluhur tidaklah bertentangan dengan ajaran Gereja. Bahkan perintah ke-4 dari 10 Perintah Allah (Kel 20:12) mengajak kita menghormati orangtua. Para leluhur boleh dihormati hanya dalam pengertian mereka dikenang dengan hormat, entah karena jasa-jasa atau teladan mereka. Bila sampai menyembah dan memperlakukan leluhur seperti dewa, serta menganggap para leluhur dapat memberikan bantuan seperti yang kita minta, maka kita jatuh ke dalam paham animisme, bahkan pada penyembahan berhala.
2. Ketakberdayaan Arwah
Bila arwah masuk ke alam yin, mereka sudah tidak berdaya dan tidak bisa menolong dirinya sendiri; mereka harus dibantu dari dunia yang melalui persembahan- persembahan, pembakaran kertas sembahyang. Kertas-kertas sembahyang (uang-uangan, rumah-rumahan) semuanya akan diterima oleh arwah leluhur di alam yin dan dipakai untuk keperluan sehari-hari. Mereka sendiri tidak berdaya dan tidak bisa apa-apa dan karena itu membutuhkan bantuan dari sanak keluarga yang masih hidup di dunia yang.
Dalam Perspektif Katolik, arwah yang berada di neraka dan api penyucian tidak berdaya sedikitpun atas jiwa mereka. Demikian juga manusia tidak mempunyai daya untuk menyelamatkan mereka. Hanya Allah yang bisa menyelamatkan. Karena itulah Yesus Kristus diutus menjadi Penebus dan Penyelamat; hanya melalui Yesus ada keselamatan, sebab Dia adalah jalan, keselamatan dan hidup. Persembahan apa pun (makanan, kertas sembahyang, dll) yang ditujukan tidak mempunyai arti apapun, karena persembahan itu tidak bisa menolong mereka, tidak mempunyai kuasa penyelamatan. Hanya Kristus penolong sejati. Justru orang Katolik jatuh ke dalam “penyembahan berhala” bila menganggap persembahan- persembahan itu bisa menyelamatkan dan menolong arwah. Kita tidak bisa menyelamatkan arwah-arwah yang menderita, tetapi kita bisa berdoa memohonkan rahmat dan pengampunan Tuhan bagi arwah-arwah di api penyucian agar mereka dapat segera bebas dari siksa sementara dan segera bersatu dengan Allah dalam kebahagian abadi di surga.
3. Rahmat atau Bencana
Terjadi pemahaman dualisme yang bertentangan. Di satu pihak dikatakan bahwa arwah-arwah perlu ditolong dengan persembahan- persembahan. Namun di lain pihak, orang Tionghua berpikir bila arwah orangtua tidak disembahyangi, maka arwahnya akan menjadi hantu yang marah dan mengganggu keluarga yang masih hidup, bahkan mendatangkan bencana. Sebaliknya, bila arwah senang, maka keluarga akan merasa dilindungi dan diberkati. Seakan-akan arwah itu sendiri mempunyai kekuatan dan kuasa untuk mendatangkan berkat atau kutuk. Untuk itu, keluarga yang masih hidup harus berhati-hati memperlakukan arwah, terutama dalam upacara-upacara sembahyang. Banyak syarat yang harus dijalankan agar arwah menjadi tenang. Apalagi kalau ada anggota keluarga yang mendapatkan mimpi tentang keadaan orangtua atau leluhur yang menderita di alam yin.
Dalam Perspektif Katolik, mendoakan arwah (perhatikan, bukan berdoa kepada arwah) muncul dari sikap cinta dan hormat kepada orang yang meninggal. Orang Katolik tidak berdoa karena takut arwah-arwah itu dapat mendatangkan bencana atau rahmat. Rahmat hanya dari Allah untuk menolong manusia menjadi semakin dekat dengan-Nya dan membantu manusia mengatasi tantangan-tantangan hidup. Bila arwah sudah tidak berdaya terhadap diri mereka sendiri, bagaimana mungkin mereka bisa mengganggu manusia yang hidup? Kepercayaan akan mimpi justru akan semakin menjerumuskan orang Katolik kepada tahyul. Apalagi sampai karena mimpi, iman orang menjadi terganggu dan goyah sehingga mulai tergoda untuk memberikan persembahan- persembahan kepada arwah. Justru di sini bisa dipertanyakan apakah setan bekerja untuk menjerumuskan kita sehingga melanggar perintah pertama dari dekalog (10 Perintah Allah).
4. Jasa atau Teladan Tokoh
Kerapkali dalam kehidupan ini ada orang-orang yang begitu menonjol keutamaan hidup atau ajarannya. Sebut saja Konfusius, yang ajarannya menjadi inti tradisi masyarakat Tionghua. Maka jasa-jasa dan teladannya selalu dikenang. Pelbagai tokoh dari pelbagai jaman juga selalu dikenang dan dihormati. Pelbagai cerita rakyat, yang kemudian berubah menjadi pesta rakyat, dikenangkan dengan pelbagai cara. Banyak kisah kepahlawanan, kesetiaan, keadilan, kejujuran, dan segala macam kualitas yang baik dari tokoh diwariskan turun temurun dalam pelbagai simbol. Misalnya kisah Jie Zi Dui (600 SM) dari Kerajaan Jin, atau Yue Fei dari Dinasti Song Selatan (1103-1142). Kadangkala penghormatan berkembang hingga berlebihan, sehingga terjadi bias dari meneladan dan menghormati jasa-jasa menjadi penyembahan kepada pribadi orang tersebut. Sebutlah Guanyu (Kuang Kong) yang banyak disembah di klenteng-klenteng. Hal ini muncul dari sikap masyarakat Tionghua sendiri yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh paham animistik.
Dalam Perspektif Katolik, mengenangkan jasa orang yang sudah meninggal, terutama para pengaku iman dan martir, merupakan sikap yang sangat terpuji. Bahkan penggunaan nama-nama mereka sebagai santo / santa pelindung sangat dianjurkan dan menjadi tradisi Gereja. Santo / santa menjadi teladan dalam beriman kepada Kristus. Kendati menghadapi banyak kesulitan dalam hidup, mereka tetap teguh dan menjadikan Allah sebagai fokus hidup mereka. Kekudusan yang mereka capai bukanlah hasil usaha mereka, melainkan karena rahmat Allah, dan mereka berjuang untuk menjadikan Allah sebagai harta terindah dalam hidupnya. Maka para kudus menjadi dorongan bagi umat Kristiani untuk bertumbuh dalam panggilan yang didapat melalui Sakramen Baptis.
PENUTUP
Besarnya penghormatan masyarakat Tionghua terhadap para leluhur tercermin dalam banyak hal. Pertama-tama tentunya sikap bakti kepada orangtua atau leluhur. Sikap inilah yang kemudian berkembang di mana-mana. Karena kurangnya discretio (pembedaan, pemahaman) dari masyarakat Tionghua sendiri, dan rancu dengan pemikiran yang keliru terutama karena pengaruh pandangan animistik, maka bakti kepada orangtua dan leluhur berkembang menjadi kecenderungan menyembah dan berdoa seperti kepada roh-roh dan berhala.
Tidak jarang umat Kristiani ikut mengkonfirmasi bahwa “penyembahan” yang dilakukan kepada leluhur sungguh ada hasilnya, misalnya mendapat mimpi arwah leluhur yang menderita, dan sesudah mengadakan upacara, mereka mendapat mimpi lagi bahwa arwah sudah senang. Pikiran ini sebenarnya masih pikiran yang terikat kepada kebiasaan lama yang tidak Kristiani, masih terbelenggu, diperbudak oleh masa lalu yang belum mengenal Yesus Kristus. Padahal umat kristiani sudah “dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Roma 8:21).
Selain itu, Rasul Paulus mengajar kita untuk melihat Yesus Kristus sebagai pusat seluruh hidup dan pengenalan kita. Apakah kita mampu berkata seperti Paulus, “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dia-lah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Filipi 3:8).
BEBERAPA PERTANYAAN YANG SERING MUNCUL
1. Bolehkah makan makanan persembahan?
Makan atau tidak makan sama saja, karena berhala-berhala tidak ada (Mzm 115:4-8; 1Kor 8:4). Makanan tersebut tidak membuat kita lebih baik atau lebih buruk. Jadi, bagaimana sebaiknya sikap kita? Saya menganjurkan untuk tidak makan terutama jika ada bahaya menjadi batu sandungan bagi orang lain; selain itu tidak makan makanan persembahan merupakan suatu ungkapan komitmen kita untuk mengamalkan hidup Kristiani. Namun demikian, jika ada situasi yang tidak bisa dihindari, keputusan ada di tangan kita masing-masing apakah memakannya atau tidak; dan kalau kita makan pun kita tidak berdosa.
2. Bolehkah menggunakan hio?
Ada tiga manfaat hio: sebagai alat sembahyang, pengharum ruangan, dan pengukur waktu. Boleh tidaknya menggunakan hio tergantung dari intensi kita dalam menggunakan hio. Berhadapan dengan leluhur: apakah kita mempergunakan hio sebagai ungkapan hormat; ataukah kita mempergunakannya sebagai wujud pengakuan bahwa mereka mempunyai kuasa. Kita tidak mempergunakan hio untuk menyembah berhala.
3. Bolehkah mendirikan meja abu atau altar keluarga?
Kita mempunyai meja abu atau altar keluarga dengan papan nama leluhur warisan dari orangtua. Jika kita membuangnya, kita takut dianggap tidak berbakti kepada leluhur, takut mengundang bencana, sebab itu kita masih merawat dan terkadang masih menempatkan persembahan di sana. Bagaimanakah seharusnya sikap kita sebagai seorang Kristiani? Kita mengubah meja abu atau altar keluarga menjadi Altar Keluarga Kudus dengan menempatkan patung Tuhan Yesus, Santa Maria dan Santo Yosef. Papan nama leluhur diganti dengan foto leluhur yang dapat ditempatkan dekat benda-benda devosionalia.
* P. Agustinus Lie, CDD adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologi, Malang.
February 8, 2009 at 1:16 am
Wow nice and complete article… thank u…