(Dimuat di majalah Shalom Betawi dan Utusan edisi tahun 2006)
Saat ini perbandingan umat dan imam sangatlah besar, untuk paroki dengan umat di atas 5,000 orang hanya dilayani satu imam. Pertumbuhan umat tidak sebanding dengan pertumbuhan imam bahkan cenderung pertumbuhannya negatif. Disetiap misa diperlukan banyak pembantu petugas pembagi komuni, atau yang kita kenal prodiakon. Bahkan ditempat yang terpencil di pedalaman seperti Keuskupan Sorong yang luasnya ¾ pulau Jawa, imam pun tidak dapat memberikan Sakramen Ekaristi setiap minggu ditempat yang sama. Imam harus keliling stasi berhari-hari, sehingga Ekaristi bisa disambut 2-3 minggu sekali. Para prodiakon ikut turun naik gunung membagikan komuni ke stasi yang jaraknya lebih dari 6 jam berjalan kaki. Peran serta umat dalam kegiatan liturgis Gereja semakin sangat dibutuhkan.
Dalam buku Tugas Pelayanan Prodiakon Paroki oleh E. Martasudjita, Pr (hal 28) dijelaskan bahwa tradisi peran serta awam dalam membantu menerimakan komuni sudah sejak abad pertama. Baik untuk orang sakit atau orang yang dipenjara, mereka dilayani oleh awam. Sesudah sidang Konsili Vatikan II berakhir, meluaslah kembali praktek partisipasi awam dalam menerimakan komuni. Di Indonesia sendiri praktek ini dimulai sejak 1969. Saat itu terbit instruksi dari Roma Fidei Custos yang mengizinkan secara umum, bahwa awam boleh juga menerimakan komuni. Bahkan, wanita diperbolehkan pula untuk pertama kalinya menjadi pembantu penerimaan komuni. Tahun 1973 ditegaskan kembali melalui Immensae caritas. Prinsipnya, orang-orang yang diberi tugas tersebut, entah pria ataupun wanita, hendaknya adalah orang-orang yang dianggap layak dan pantas untuk tugas bagi penerimaan komuni kepada orang beriman dan dirinya sendiri.
Prodiakon wanita dirasakan tidak umum di budaya kita yang paternalistis, dimana laki-laki dipandang sebagai figur kepala atau pemimpin. Sehingga melihat prodiakon wanita di atas altar atau membagikan komuni bersama pastor masih dipandang “tidak layak”.Bahkan ada umat yang memilih untuk tidak menerima komuni dari prodiakon wanita dan memutuskan pindah ke jalur komuni yang lain. Padahal dokumen Gereja mengijinkan bahkan meminta perluasan keterlibatan awam termasuk dalam hal pelaksanaan tata ibadah liturgis. Membagikan komuni adalah tugas yang dibagikan ke awam melalui prodiakon, kecuali penyampaian berkat dengan Sakramen Mahakudus tetap dipertahankan oleh imam atau diakon tahbisan.
Dalam kenyataan sehari-hari justru peran serta prodiakon wanita sangat dibutuhkan. Terutama saat mengunjungi pasien-pasien wanita yang terbaring sendirian di Rumah sakit, ibu-ibu lansia yang hanya ditunggui pembantu di rumah dan bahkan kunjungan ke penjara wanita ditunggui sipir wanita. Pelayanan sesama gender memiliki sentuhan tersendiri, banyak umat (wanita) yang akhirnya menjadi lebih terbuka dan tidak ragu bahkan minta dilayani secara kontinyu. Walaupun jumlah prodiakon banyak tetapi sering sulit mendapatkan prodiakon di jam-jam kantor. Disinilah fungsi prodiakon wanita yang waktunya lebih fleksibel, sehingga pelayanan terhadap umat tidak terhambat.
Baik prodiakon wanita dan pria memiliki persyaratan, tugas dan wewenang yang sama. Gereja menetapkan beberapa syarat, antara lain:
- Memiliki nama baik, sebagai pribadi maupun keluarga.
Ia merupakan bapak/ibu yang baik. Apabila belum menikah, memiliki perilaku baik. Bilamana ditemui suatu kesulitan dalam hidup rumah tangganya yang bisa menjadi batu sandungan umat, sebaiknya ybs non-aktif terlebih dahulu atau berhenti. Pastor paroki dan pemuka umat dapat menyarankannya.
- Diterima oleh umat
Bisa diterima karena perilakunya baik, kemampuannya memadai, dedikasi yang tinggi, berwibawa dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan kepribadian yang baik. Uskup akan mendengarkan usulan umat dan saran pastor paroki.
- Mempunyai penampilan yang layak.
Seorang prodiakon pria dan wanita harus dapat membawakan diri secara baik dalam liturgi dan hidup sehari-hari. Pelatihan untuk pertumbuhan iman dan karakter terus menerus dibutuhkan.
Prodiakon pria dan wanita memiliki dua tugas utama yaitu:
1. Membantu menerimakan komuni, baik di dalam perayaan Ekaristi maupun di luar perayaan Ekaristi; termasuk didalamnya liturgi sabda dan pengiriman komuni kepada orang sakit atau orang di penjara.
2. Melaksanakan tugas yang diberikan pastor paroki seperti memimpin ibadat sabda, memberikan homili, memimpin doa wilayah/lingkungan juga memimpin liturgi pemakaman. Dua hal terakhir bisa juga dilakukan oleh seksi liturgi di lingkungan di beberapa paroki, tergantung dari wewenang pastor paroki setempat.
Baik prodiakon wanita dan pria memiliki batasan dalam wewenangnya. Setiap prodiakon diangkat oleh uskup atas usulan pastor paroki. Prodiakon bertugas dalam satu periode misalnya 3 (tiga) tahun yang dapat diperpanjang atau diperpendek. Mereka hanya diijinkan melayani di wilayah paroki tempat tinggalnya, sehingga bila ia pindah tempat tidak otomatis menjadi prodiakon di paroki barunya.
Tuntutan spiritualitas prodiakon baik wanita dan pria pun juga sama, mengingat tugas pelayanan mereka adalah bagian dari ibadat dan menuntut kehidupa spiritualitas yang baik. Sehingga diharapkan keluarga prodiakon juga menjadi teladan bagi keluarga kristiani lainnya. Kehidupan doa pribadi dan doa keluarga menjadi semangat pelayanan prodiakon. Demikian juga keterlibatan prodiakon dalam kegiatan kampung dan masyarakat dapat menjadi kesaksian iman Kristiani ditengah masyarakat yang pluralis.
Tidak ada manusia sempurna untuk bisa menjadi prodiakon, tetapi dengan menjalani hidup di bawah pimpinan Roh Kudus kita semua bisa menjadi lebih baik dari hari ke hari. Marilah kita saling mendukung dan mengambil bagian dalam pelayanan Gereja untuk membantu para imam dengan menjadi prodiakon wanita dan pria.
Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. (Mat 9:37-38)
Ref: Tugas Pelayanan Prodiakon Paroki oleh E. Martasudjita, Pr KomLit Keuskupan Agung Semarang
April 11, 2008 at 7:51 am
Dikota besar, mis Jkt, diakonia wanita pegang peranan strategis. Bagaimana strategi yg ideal ttg, pembiayaan kegiatan oleh diakonia yg perlu melakukan kunjungan jauh ke gang-gang.
Mulai dari biaya transport, makan/minum kalau lelah, pengganti waktu yg hilang, sampai ke penghasilan ekstra.
April 11, 2008 at 8:07 am
Setiap prodiakon terikat pada paroki tertentu dan dalam periode tertentu. Kebijakan pastoral paroki lah yang menentukan perlakuan terhadap boleh tidaknya menerima “uang lelah” atau uang transport. Kalau tidak ada stipendium bagi pastor paroki saat kunjungan ke Misa Lingkungan, biasanya tidak ada juga uang lelah/uang transport bagi para prodiakon. Ada juga yang mengembalikannya ke kas “prodiakon” untuk pelayanan lainnya. Tentu hal ini perlu disampaikan pada umat juga sehingga bisa menghindari praktek yang menyimpang dari ketentuan paroki.Jangan sampai umat menjadi tidak terlayani hak nya mendapatkan Tubuh Kristus karena praktek tersebut.
Mereka yang siap terjun pelayanan juga siap berkorban waktu dan dana. Bisa dibayangkan kalau jadi prodiakon di belantara papua, berjalan kaki berhari-hari dan tanda kasihnya berupa ubi karena kondisi umat yang minim. Saya ikut prihatin kalau ada oknum prodiakon yang menjadikannya sebagai “penghasilan extra”. Jesus dan murid-muridNya tidak memperlakukan pelayananNya sebagai penghasilan extra bagi orang-orang yang disembuhkan. Kristus bahkan telah habis-habisan berkorban untuk kita.Saran saya, praktek yang menyimpang dari kebijakan paroki perlu ditindak lanjuti dengan teguran verbal oleh koordinator Prodiakon dan pengurus DP harian. Kalau masih tidak digubris maka surat pengangkatan Uskup terhadap ybs dicabut saja dan baju prodiakon dikembalikan ke Dewan Paroki.