Fiat Voluntas Tua

Tangis pilu di Paroki Santa Rosa de Lima, Connecticut, Akibat Jumat Berdarah

| 0 comments

Sungguh tiada kata terucapkan, kecuali duka yang mendalam membayangkan cerianya anak-anak sebelum diterjang peluru. Kita tundukkan kepala mendoakan semua jiwa yang menjadi korban keganasan sesamanya. Kiranya Allah Bapa memberikan istirahat kekal bagi anak-anak yang menjadi korban dan kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan. Berikut kutikan dari milis tetangga.
PIJAR VATIKAN II DI TAHUN IMAN
 
Monsignor Robert Weiss, Pastor Kepala Paroki Santa Rosa de Lima, mendadak ngetop. Pastor Paroki Newton, di Negara bagian Connecticut Amerika ini, sama sekali tidak mengira kalau parokinya tiba-tiba menjadi sangat terkenal. Tragedi “pembantaian” di SD Sandy Hook, mau tak mau mencuatkan Parokinya ke seluruh dunia.  Peristiwa tragis itu terjadi di wilayah Paroki Santa Rosa de Lima. SD Sandy Hook hanya berjarak 1.5 km dari gereja Paroki. Dari 26 korban pembantaian itu, 10 orang korbannya adalah umat Katolik warga paroki Santa Rosa de Lima. Hari Jum’at “berdarah”, 14 Desember 2012, salah seorang umat Paroki, bernama Adam Lanza, bertindak di luar batas kemanusiaan. Pagi itu, entah karena apa, Adam menjadi setan. Ia menembak Nancy, ibunya sendiri. Lebih 4 peluru menembus kepala ibu malang ini. Di rumah mewah keluarga Lanza yang harganya sekitar 1.5 juta US dollar, polisi menemukan jasad Nancy dalam keadaan sangat mengenaskan.  Polisi menemukan ibu malang ini bersimbah darah, masih memakai piyama tidur. Bangunan asri yang ditempati keluarga Lanza, di atas tanah seluas lebih dari 1000 m2, menjadi saksi bisu tragedi keluarga ini.
Setelah menghabisi ibunya, Adam Lanza naik mobil Honda Civic menuju SD Sandy Hook, yang letaknya sekitar 8 km dari rumahnya. Pemuda kelahiran 22 April 1922 di Kingston, New Hampshire ini, alumnus SD Sandy Hook. Ryan, kakaknya juga lulus dari SD “elite” yang banyak mendapat pengakuan dan predikat terbaik ini. Di mobil sedan berwarna hitam milik ibunya itu, Adam mengangkut 3 pucuk senjata :  senapan semi otomatis Bushmaster AR-15 kaliber .223, pistol Glock kaliber 10mm dan pistol SIG Sauer kaliber 9mm. Sekitar 20 magazen penuh peluru juga dia bawa. Semua itu, ia ambil dari koleksi senjata ibunya. Semenjak ibunya bercerai dari Peter Lanza ayahnya pada tahun 2009, Adam tinggal bersama ibunya. Dari ibunya pula, Adam mengenal senjata dan menembak.
Selanjutnya yang terjadi sungguh mengerikan. Dengan memakai baju komando serba hitam, Adam merangsek masuk ruangan-ruangan sekolah. Dengan ketepatan tembak seorang professional, Adam menembaki guru dan murid-murid yang ada di situ. 12 anak perempuan dan 8 anak laki-laki langsung tewas di tempat. Mereka semua berusia antara 6-7 tahun. Tanpa ampun, Adam juga menghabisi 6 orang guru kelas dan seorang guru BP. Ibu Dawn Hocksprung, Kepala Sekolah yang sangat dicintai para murid, termasuk yang pertama tewas diberondong. Guru kelas 1, Victoria Soto yang berusia 27 tahun, disebut Polisi Connecticut sebagai seorang pahlawan. Ia ditemukan tewas tertelungkup melindungi anak-anak yang ia sembunyikan di almari dan toilet sekolah. Adam Lanza sendiri akhirnya bunuh diri setelah tahu ia terkepung oleh polisi dan pasukan SWAT yang cukup cepat datang ke tempat kejadian.
Tak tahan menyaksikan kejadian yang memilukan, Connecticut Chief Medical Examiner Dokter H. Wayne Carver, berlinang air mata saat mengumumkan nama-nama korban tragedi ini. “This is a very devastating set of injuries. I believe everyone was hit more than once. The worst I’ve ever seen !”, papar Dokter Wayne.  Melalui Dokter Wayne, Negara bagian Connecticut mengumumkan nama-nama korban yaitu : Charlotte Bacon (6),  Daniel Barden (7), Rachel Davino (29), Olivia Engel (6), Josephine Gay (7),  Ana M. Marquez-Greene (6), Dylan Hockley (6), Dawn Hocksprung (47), Madeline F. Hsu (6),  Catherine V Hubbard (6), Chase Kowalski (7),  Jesse Lewis (6),  James Mattioli (6), Grace McDonnell (7), Anne Marie Murphy (52), Emile Parker (6),  Jack Pinto (6), Noah Pozner (6), Caroline Previdi (6), Jessica Rekos (6), Avielle Richman (6), Lauren Russeau (30), Mary Sherlach (56), Victoria Soto (27), Benjamin Wheeler (6), Allison N. Wyatt (6).
Monsignor Bob, demikian Pastor Kepala Paroki Santa de Lima itu dipanggil, datang ke tempat kejadian beberapa saat setelah penembakan itu berakhir. Menyaksikan korban yang tergeletak bersimbah darah, sebagian besar adalah anak-anak kecil yang tak berdosa, Mgr.Bob sungguh galau. Beliau juga menyaksikan para orang tua yang bingung, berlarian, ketakutan, mencari tahu nasib anak-anaknya. Ada luapan kelegaan dan kegembiraan yang tak terkira ketika tahu anaknya selamat. Sebaliknya, Mgr.Bob tidak tahu harus berbuat apa, menyaksikan orang-tua yang tahu ternyata anaknya tak selamat. Dia hanya bisa memeluk umatnya yang hancur mengalami kejadian mengerikan ini. “Oh Lord have mercy on us !” Hanya itu, kata-kata yang berulang-ulang terucap dari mulut Pastor Paroki ini.
Di tengah kerumuman para wartawan, dengan kesedihan yang amat mendalam, Romo Paroki Santa Rosa de Lima ini mengatakan : “It was brutal ! I can’t think of a better word. It was just brutal to witness the pain today. I don’t have any answers. This was not part of God’s plan !” Tentang Adam Lanza dan ulahnya yang mengerikan itu, Mgr. Bob Weiss mengatakan, itu semua menandakan bahwa umat parokinya itu adalah : “a man who had serious issues in his life. Why he’d want to destroy innocent children, no one can figure out. !” Gubernur Negara Bagian Connecticut, tidak lama kemudian juga datang ke Newton dan mengunjungi tempat kejadian. Setelah bertemu dengan keluarga para korban, Gubernur Dan Malloy juga bertemu dengan Mgr.Bob. Kata Malloy : “Evil visited this community today !” Hari ini, Iblis mengunjungi komunitas kita !
Sejak penembakan itu terjadi, Monsignor Bob menjadi orang yang paling sibuk di Paroki Santa Rosa de Lima. Paroki ini kehilangan putera-puterinya : 8 anak dan 2 orang dewasa. Adam Lanza dan ibunya Nancy, adalah korban dewasa itu. Mereka masih terdaftar sebagai umat Paroki Santa Rosa de Lima. Jenasah anak-anak dan warga paroki itu, kini tersebar di beberapa Rumah Duka di sekitar Newton. Beberapa jenasah masih diotopsi dan sedang diperiksa team yang diketuai Dokter Wayne. Pada hari pemakaman minggu ini, mata seluruh dunia akan semakin tertuju ke Paroki ini. Kota kecil dengan penduduk sekitar 27 ribu orang ini, menjadikan Gereja Santa Rosa de Lima sebagai pusat doa, pusat jiarah dan pusat perkabungan. Wartawan cetak dan elektronik seluruh Amerika berbondong-bondong datang ke kota Newton. Media TV memasang studio mini, baik di halaman SD Sandy Hook, maupun di halaman gereja Santa Rosa de Lima.
Sejak hari Jumat “berdarah” itu, setiap hari ratusan orang datang ke gereja Katolik ini. Tiba-tiba saja, halaman gereja penuh karangan bunga, boneka kecil “Teddy Bear”, puisi, poster selamat jalan, lilin, foto-foto anak-anak dan kenangan mengharukan lainnya. Seorang yang tidak mau disebut namanya, mengirimkan 26 pohon Natal kecil mewakili 26 korban tragedi Newton. Website paroki yang sedang berduka ini, bisa kita kunjungi di www.strosechurch.com. Kendati masih dalam suasana duka yang mendalam, Romo Paroki tetap mengumumkan bahwa pentas “The Live Nativity – Presepio Vivente” (Goa Natal Hidup : peragaan Natal dengan Maria-Yosef-Kanak kanak Yesus, gembala, malaikat dari manusia beneran dan binatang-binatang beneran, bukan cuma patung) tetap dilaksanakan sesudah Misa Sabtu Sore. Biarlah anak-anak lucu dari Newton yang tewas ini, menjadi malaikat-malaikat kecil yang “terbang” ke surga, bahagia ikut merayakan Yesus kecil di hari Natal.
Di Paroki Santa Rosa de Lima, misa kudus hari Sabtu dirayakan 2 kali : jam 16.00 dan jam 17.30. Minggunya, ada 4 kali misa : jam 7.30, jam 9, jam 10.30 dan jam 12.00. Pada misa Sabtu-Minggu kemarin, gereja tidak mampu menampung umat yang membludak ikut kebaktian. Gereja  Santa Rosa hanya menyediakan 650 tempat duduk. Ratusan orang terpaksa berdiri di luar gereja. Ada 3 orang Pastor yang melayani umat Paroki Santa Rosa de Lima. Selain Mgr “Bob” Robert Weiss sebagai pastor kepala, ada juga Pastor Ignacio Ortiga dan Pastor Luke Suarez, sebagai Pastor Rekan. Dalam semua misa Sabtu-Minggu Adven ke-3 kemarin, dibacakan surat belasungkawa dari Paus Benedictus XVI dan dari Uskup Agung William Lori. Tahun ini, Uskup Lori diangkat jadi Uskup Agung Baltimore. Selama “sede vacante” (tahta kosong), Keuskupan Bridgeport diserahkan kepada Vikjen Pastor Jerald Doyle, sebagai Administrator Keuskupan.
Misa Sabtu sore yang kedua, dilayani oleh Pastor Peter Cameron, pastor tamu dari Keuskupan Agung Hartford, Keuskupan tetangga Bridgeport. Dari mimbar kotbah, Pastor Cameron berseru dengan suara lantang : “How do we rejoice in the face of so much sorrow?” Masa Advent, dalam kotbah para Pastor tentu saja adalah masa “suka-cita” menantikan Juru Selamat yang sebentar lagi tiba. Bagi umat paroki Newton, sukacita apa yang bisa dirasakan di tengah kesedihan begini mendalam ?  Terhadap pertanyaan Pastor Cameron, umat hanya bisa tertunduk. Hening. Diam. Tak tahu mesti menjawab apa. Beberapa wanita mengambil tisu menyeka matanya. Hari-hari itu di dalam gereja Rosa de Lima disediakan kotak-kotak tissue. Bahkan di depan altar, ada untaian bunga berbentuk hati besar berwarna putih, yang tersobek dalam bentuk huruf “z”, berwarna merah darah.
Hati yang tersobek-sobek, mewakili betul perasaan semua orang America hari-hari ini. Presiden Barack Obama, pada konferensi pers resmi menanggapi Tragedi Jum’at berdarah itu, mengawali pidatonya dengan kalimat “hati kami yang tercabik-cabik”. Dengan terbata-bata dan sesekali menyeka air mata, Presiden Amerika ini mengatakan : “Our hearts are broken today. I know there’s not a parent in America who doesn’t feel the same overwhelming grief that I do. The majority of those who died today were children, beautiful little kids between the ages of 5 and 10 years old. They had their entire lives ahead of them – birtdays, graduations, weddings, kids of their own..!
Hari Minggu malam, Presiden Obama datang ke Newtown. Obama mengikuti doa lintas agama bagi para korban tragedi Sandy Hook. Sesudah itu, ia menemui keluarga korban. Semua orang tersentuh oleh sambutan dan doa Obama pada ibadat lintas agama itu. Semua yang hadir juga terharu merasakan ketulusan hati Obama memeluk dan menghibur keluarga korban. Pada ibadat lintas agama yang digelar di aula SMA Newton itu, 2 km dari SD Sandy Hook, sambutan Obama menjadi pusat perhatian dunia. Tepat pukul 7 malam waktu setempat, ibadat dibuka oleh Matthew Crebbin, senior minister gereja Newtown Congregational. Dilanjutkan pendarasan Masmur 46 oleh Rabbi Shaul Praver dari Kongregasi Adath Israel. Sesudah doa bagi mereka yang meninggal oleh Mel Kawakami, senior minister gereja Newtown United Methodist, kembali didaraskan Masmur 23 oleh Pendeta Wanita : Kathleen E. Adams-Shepard, Rektor Trinity Episcopal. Doa untuk anak-anak dibawakan oleh Pendeta Jim Solomon, Gembala Sidang the New Hope Community Church. Saudara-saudara Muslim tidak ketinggalan ikut berdoa. Bacaan dari Al-Qur’an dibawakan oleh Jason Graves dan Muadh Bhavnagarwala dari Al Hedaya Islamic Center.
Kemudian, doa juga dilambungkan oleh Pendeta Jane Sibley, minister pada Newtown United Methodist ; disusul doa dari tradisi Baha’i oleh Dr. John Woodall, pimpinan Baha’i Faith Community. Pendeta Leo McIlrath, kapelan dari gereja Lutheran Home of Southbury berdoa bagi semua saja yang terlibat mengurus dan menuntaskan kasus ini. Pendeta Jack Tanner dari gereja Newton Christian Church membacakan teks dari Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma bab 8, dan memberi renungan singkat. Sebelum sambutan dari Presiden Obama, diberikan waktu kepada wakil masyarakat Patricia Llondra dan Gubernur Negara Bagian Connecticut Dannel P.Malloy memberikan sambutan. Ibadat ditutup dengan doa umat oleh Mgr.Bob Weiss, pastor paroki Santa Rosa de Lima dan berkat penutup oleh Pendeta Rob Mossis, dari gereja  Christ the King Lutheran. Fiona Smith Sutherland mengakiri rangkaian upacara dengan alunan musik meditative.
Ibadat lintas agama di Newton, yang dihadiri Obama malam itu, disiarkan langsung ke semua TV Amerika. Semua pemirsa menyimak yang dikatakan Obama : “We can’t tolerate this anymore. These tragedies must end. And to end them, we must change !”. Atas nama kebebasan, Amerika sudah cukup menderita dengan ribuan korban yang jatuh karena penembakan membabi buta kepada orang-orang yang tak bersalah. Dan semua setuju : ini sudah keterlaluan. Cukup untuk semua itu. Malam itu, Obama ingin mewakili seluruh Amerika dan dunia yang hendak memeluk korban dan keluarganya :  “I come to offer the love and prayers of a nation. I can only hope it helps for you to know that you’re not alone in your grief, that our world, too, has been torn apart, that all across this land of ours, we have wept with you.” Presiden Amerika, malam itu menyihir semua yang hadir dan pemirsa TV se-dunia, yang mengutip kata-kata Yesus : “biarlah anak-anak itu datang kepadaKu. Sebab merekalah yang empunya kerajaan Allah !” Beberapa hadirin nampak meneteskan air mata, karena malam itu kata-kata Yesus yang diulang oleh seorang presiden negara adidaya ini sungguh kena, sungguh berbunyi dan sungguh bermakna.
Pulang dari ibadat ini, pekerjaan rumah Mgr.Bob belum selesai. Ada 8 jenasah anak-anak dan 2 jenasah orang dewasa yang harus diupacarai sebelum penguburan. Romo Paroki ini mesti berkonsultasi dengan Pastor Jerald Doyle, Administrator Keuskupan Bridgeport dan Uskup Agung Henry Joseph Mansell dari Keuskupan Agung Hartford yang menjadi koordinator utamanya, bagaimana melaksana upacara untuk 10 jenasah umat parokinya ini. Mgr.Bob menghadapi dilemma moral, pastoral bahkan spiritual yang sungguh tidak mudah diatasi : bagaimana merayakan upacara pemberkatan dan pelepasan jenasah di gereja dalam waktu dekat ini. Mungkinkah memberkati secara bersamaan, 8 jenasah “malaikat” anak-anak kecil ini berdampingan dengan 1 atau 2 jenasah “setan” pembunuhnya ? Beberapa wakil keluarga, terang-terangan akan menolak keras kalau Romo Bob sampai memberkati anak-anak mereka berbarengan satu upacara dengan pemberkatan Nancy dan Adam Lanza pembunuhnya. Dugaan banyak orang, Romo Bob akan mengalah mengupacarai Nancy dan Adam terpisah dari upacara untuk 8 anak-anak itu. Lagipula, sampai hari ini fihak keluarga Lanza belum ada yang datang dan bertanggungjawab mengurus jenasah Adam dan ibunya Nancy. Semua orang sedang menunggu apakah Peter Lanza yang sudah bercerai dan Ryan kakak Adam akan datang dan bertanggungjawab. Kalau tidak, fihak Keuskupan Bridgeport akan mengambil alih tanggungjawab pemakaman Nancy dan Adam. Ujian besar untuk gereja : pembunuh keji yang (kebetulan) beragama Katolik, bisakah dan bolehkan diberkati ? Bolehkan diberkati dan didoakan berbarengan dengan mereka yang dibunuhnya ?
Bersama saudara-saaudari kita dari Paroki Santa Rosa de Lima, kitapun hanya bisa menundukkan kepala, mengelus dada dan berdoa. Kita cuma bisa miris, mengikuti kejadian tragis Jum’at berdarah itu. Kita tidak habis pikir, mengapa bisa terjadi kejadian sesadis ini. Kitapun tidak mudah menjawab dilemma Romo Bob bagaimana mengadakan upacara pemakaman untuk pembunuh Katolik ini. Sekarang kita bisa mengerti, mengapa 50 tahun lalu, beberapa hari sebelum Konsili Vatikan II dibuka, Paus Yohanes XXIII naik kereta api, berdoa dan berjiarah kepada Bunda Maria di Loreto. Paus tahu, dunia ini sangat rapuh dan manusianya bisa menjadi gila. Paus Yohanes XIII menyaksikan kegilaan ancaman perang nuklir. Kita sekarang mengalami kegilaan manusia seperti tragedi Newton ini. Ketika kita tidak tahu mesti bagaimana menghadapi semua itu, seperti Paus Yohanes XIII di Loreto, kitapun juga bisa datang kepada Bunda Maria, Bunda kita seraya berseru : “Ibu, ini anakmu !” Kita hanya bisa pasrah !
Pada Minggu Adven ini, di belakang altar Gereja Santa Rosa de Lima Connecticut, terpampang kalimat jelas dalam huruf blok : LOVE ONE ANOTHER. Menurut data dari Wikipedia edisi Amerika, penduduk seluruh wilayah Bridgeport ada 918,714 orang. Dari jumlah itu tercatat 410,304 beragama Katolik. Bersama Boston dan New York, Connecticut memang basis umat Katolik Amerika. Apakah seruan “kasihilah sesamamu” dari Injil Yohanes di gereja Newton ini hanya jadi seruan untuk umat katolik Amerika dan paroki Newton ? Jelas tidak ! Seruan kasih menjadi amat sangat berat dijalankan oleh rekan-rekan kita umat Katolik Newton ketika mesti bertanya : haruskan kita juga mengasihi setan Adam Lanza yang membunuh anak-anak paroki kita yang tak bersalah ini ? Barangkali, lanjutan kotbah Pastor Peter Cameron pada misa di gereja Santa Rosa de Lima itu bisa membantu kita menjawab pertanyaan sulit ini : “The certainty of joy is that evil does not have the last word, that love wins. The most reasonable thing we can do is live that love in faith.” Amin !
Salam dan doa
A.Kunarwoko – 18/12/2012

Leave a Reply

Required fields are marked *.