Fiat Voluntas Tua

Mgr. Suharyo MENGGEMPARKAN VATICAN

| 0 comments

http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2012/11/pb-121011-vatican-da-05.photoblog9001.jpgJudul tulisan ini barangkali agak “lebay” alias berlebihan. Tetapi kalau menyimak apa yang diceritakan John L. Allen Jr tentang Mgr.Suharyo di Aula Sinode, “kegemparan” itu memang sungguh terjadi. John Allen adalah koresponden senior untuk National Catholic Reporter (NCR). Wartawan Amerika kelahiran Kansas ini wartawan kawakan. Roma adalah rumah keduanya. Kalau Vatikan punya “gawe”, John pasti selalu ada dan diundang. Selain di NCR, kolom jurnalistiknya tentang Vatican dan Gereja Katolik juga dimuat di The New York Times, CNN, The Tablet, Jesus, Second Opinion, The Nation, the Miami Herald, Die Furche, dan the Irish Examiner. John Allen, pada tahun 2005 meluncurkan buku tentang “Opus Dei”. Dia sampai dipanggil Tahta Suci dan Petinggi Opus Dei gara-gara buku yang menghebohkan ini. Judulnya : “Opus Dei: An Objective Look Behind the Myths and Reality of the Most Controversial Force in the Catholic Church”. John Allen juga menulis buku tetang Paus Benedictus XVI. Buku ini sudah dia persiapkan sejak Kardinal Ratzinger belum terpilih menjadi Paus. Di pelbagai wesite Katolik Amerika, Inggris, Irlandia dan Australia, tulisan John Allen tentang Vatican dan Gereja Katolik, biasanya dikutip juga.
Pada salah satu tulisannya tentang Sinode Vatican tanggal 19 Oktober 2012 yang lalu, Vaticanist dan spesialis Gereja Katolik ini menceritakan : “Let’s face it : a Synod of Bishops, when some 300 prelates and other participants meet for three weeks to advise the pope on some topic, isn’t exactly a laugh riot. During the opening phase, one five-minute speech after another is presented, some of it lofty theological rhetoric and some of it heartfelt cris de coeur about specific situations. Little of it, however, is really calculated to tickle ribs. That made today’s presentation by Archbishop Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo of Jakarta, Indonesia, especially memorable, because he drew what one participant later described as “heartfelt laughter” while talking about a matter typically seen as especially ill-suited to comedic effect – liturgical translation”.

Begitulah, pada giliran presentasi tanggal 16 Oktober 2012, Mgr.Suharyo membuat seluruh aula sinode meledak dengan tawa terbahak-bahak. Kata John Allen : “itu yang membuat presentasi Uskup Jakarta ini akan terus dikenang !” Kiranya ini sama dengan para pastor kita di mimbar gereja. Kalau kotbahnya membuat umat terpingkal-pingkal, pasti kotbah itu akan dikenang dan diingat terus. “Kegemparan” seluruh peserta Sinode yang meledak dalam tawa spontan yang luar biasa dan nggak dibuat-buat (“heartfelt laughter”) ini,  justru terjadi karena Uskup Jakarta ini tidak memberikan presentasinya dalam bahasa teologis tinggi. Mgr.Suharyo, memilih bahasa pastoral yang ringan, sederhana, mengalir namun cerdas dan kena, karena berasal dari pengalaman penggembalaan beliau bersama umat. Lagipula, peserta Sinode tidak boleh bicara panjang lebar. Bicara lebih dari 5 menit, mike pasti langsung dimatikan. Dari situs resmi Vatikan, kami kutipkan presentasi Mgr.Suharyo yang mengesankan ini. (1*). Pada presentasi ini, nama dan jabatan resmi Mgr.Suharyo juga disebut, yaitu : H. Exc. Rev. Mons. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Archbishop of Jakarta, Military Ordinary for Indonesia.

I would like to share with you a simple experience I had during my visit to a parish where I met a local catechist. I asked him, “How many catechumens do you have?” I was surprised to hear that he had more than ninety catechumens. It was quite a lot. I asked him further, “Have you ever asked your catechumens why they wish to be baptized into the Catholic Church?” He answered, “Many of them said that they were touched by the way Catholics pray during public events such as wedding feasts or funeral services”. The prayers are so touching to their hearts, because in those occasions the invocations and benedictions are delivered in their vernacular mother tongue so that they readily understand the content, whereas before they usually heard prayers recited in a foreign language, as Muslims pray in Arabic.

The Church’s evangelizing activity is – as we all understand – an act of communication which entails two basic components, namely the communication content or message – God’s revelation and faith in Jesus Christ – and the communication medium – means and language within a faith community context. As far as language is concerned, translating one liturgical text to another – and any text for that matter, often prompts us to face delicate challenges or even problems. There is on the one hand, the demand for literal translation. On the other hand, we all understand that literal translation is not always possible, because of the diversity and complexity of languages. For example when the priest addresses the people, “Dominus vobiscum”, and the people are to reply “Et cum spiritu tuo”. The word “spiritus” as translated into “roh” in our language could readily evoke the idea of “evil spirit”, thus “et cum spiritu tuo” means for some communities “with your evil spirit”.

My wish – I hope that I am not alone – is that the translation of liturgical text ought not always to be done literally, rather seriously take into account the diversity of the cultural background. Could the principle of subsidiarity be applied in the task of translation and even in other areas of the life of the local Church? – subsidiarity being the spirit of Vatican II. In this way we keep our “fidelity both to the message whose servants we are and to the people to whom we must transmit it”, (EN 4), particularly with respect to the young who live in a mass-media culture, the Church must strive to convey her message in a language that touches their hearts. In this way, the local Church will become more communicative and expressive and as a result the faith of the people will be more energized and more relevant to their Catholic lives and engagement both in the Church and in the world.

Kisah salam “dominus vobiscum” yang bikin aula Sinode meledak dalam tawa terpingkal-pingkal, boleh jadi akan jadi anekdot sinode sepanjang masa. Ini juga bukan sekedar masalah terjemahan “et cum spiritu tuo”, yang di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai “dan bersama roh (jahat) mu”. Kisah kecil yang diangkat Mgr.Suharyo di aula Sinode itu mewakili “kisah besar” “tegangan” antara “pusat” dan “daerah”, antara “Gereja Roma Katolik di Indonesia” dan “Gereja Roma Katolik Indonesia” ! Saya yakin, Mgr.Suharyo faham betul dengan masalah “inkulturasi” ini. Dengan tepat, Uskup Agung Jakarta ini megajak para peserta Sinode melihat akar masalahnya, yaitu prinsip “subsidiaritas”.

Istilah “subsidiaritas” memang jarang kita pakai dalam pergaulan sehari-hari. Ini istilah filsafat sosial. Kamus Inggris “Oxford Dictionary” menerangkan istilah subsidiaritas (“subsidiarity” dalam bahasa Inggris), mengikuti kata Jerman subsidiarität. Istilah subsidiarität ini dikenal di Jerman sejak tahun 1809 dan dipakai sebagai istilah hukum. Kata ini menjadi sangat populer, setelah pada tahun 1931 Paus Pius XI menerbitkan Quadragesimo Anno. Ensiklik yang berisi ajaran sosial gereja ini, sangat disambut di Jerman dan diterjemahkan dalam bahasa Jerman. Istilah ini ditemukan pada §80 Rundschreiben über die gesellschaftliche Ordnung, versi bahasa Jerman dari Ensiklik Quadragesimo Anno yang bersejarah ini. Sejak saat itu, di barat istilah “subsidiaritas” lebih disangkutkan dengan ajaran sosial gereja dibanding dengan istilah legal sosial biasa.

Masih menurut The Oxford English Dictionary,  subsidiaritas berasal dari kata Latin subsidio, yang artinya bantuan atau pertolongan. Dalam konteks ajaran sosial kemasyarakatan khususnya ajaran sosial Gereja, subsidiaritas adalah “an organizing principle stating that a matter ought to be handled by the smallest, lowest, or least centralized authority capable of addressing that matter effectively. Defines subsidiarity as the idea that a central authority should have a subsidiary function, performing only those tasks which cannot be performed effectively at a more immediate or local level“

Saya yakin, dengan mendengarkan paparan Mgr.Suharyo, para Uskup peserta Sinode langsung “menangkap” ingatan akan subsidiaritas gereja itu. Kutipan Evangelii Nuntiandi no.4 yang diberikan oleh Bapak Uskup Jakarta itu, juga tepat sekali. Dasar subsidiaritas itu itu kepercayaan. Kalau antara pewarta dan yang diwartai tidak ada kepercayaan, maka tidak akan terjadi subsidiaritas. Kalau “pusat” tidak memberi kepercayaan bahwa “daerah” boleh memiliki “bahasa” yang sesuai untuk istilah-istilah gereja termasuk istilah liturgi, maka akan terjadi tragedi “dominus vobiscum” yang membuat aula sinode tertawa terbahak-bahak itu. Saya yakin, Uskup Jakarta sengaja memilih kutipan Evangelii Nuntiandi karena pelbagai alasan. Salah satunya saya rasa karena seruan apostolik Evangelii Nuntiandi dari Paus Paulus VI ini adalah seruan hasil Sinode pertama para Uskup pada bulan September 1974. Seruan Evangelii Nuntiandi yang dipromulgasikan Desember 1975 itu adalah follow-up dari hasil Sinode para Uskup ini. Sementara banyak kalangan mengatakan, Paus sekarang yang “hebat dan intelek” ini, belum tentu akan memakai hasi Sinode bulan lalu, sebagus apapun hasilnya. Pengamat sekelas John Allen-pun menyangsikan, apakah ide para Uskup dalam Sinode bisa lebih hebat dari ide Paus Benedictus XVI ini. Maklum perkara yang satu ini, Paus ini memang “luar biasa hebat”.

Ngomong-ngomong tentang subsidiaritas, saya malah jadi ingat SMP Kanisius saya di Muntilan. Dulu (nggak tahu sekarang), nama SMP Kanisius Muntilan itu adalah SMK (Sekolah Menengah Kanisius) Bersubsidi. Istilah bersubsidi untuk SMP saya itu mungkin karena sekolahnya milik Yayasan Katolik (Jesuit) tetapi guru-gurunya digaji (disubsidi) Pemerintah. Mungkin ini juga salah satu alasan yang membuat SMP Kanisius saya di Muntilan itu masih “berjaya” sementara SMP Kanisius yang lain berguguran. Semoga prinsip “subsidiaritas” yang oleh Mgr.Suharyo diingatkan sebagai semangat Konsili Vatikan II, juga kita rasakan pijarnya.

Tidak sampai 5 menit, Mgr.Suharyo bicara pada Sinode. Namun sambutannya luar biasa. Di situs National Catholic Reporter (NCR) (*2),banyak sekali pembaca yang juga memberi komentar. Ini beberapa komentar yang menarik : (1) Good historical anecdote, thank you !  (2) Amazing how humour can slip past our defences and help us see a truth. (3) Oh, dear. I am afraid Archbishop Suharyo may get himself in trouble. Someone not using the exact words as prescribed by Rome? Allowing people to respond in language that fits and suits the words as they are understood by the people and in a language structure that they understand? Under this pope? (4) Are you having trouble understanding the words at Mass? Few, if any, people in the U.S. are having trouble understanding the words at Mass with the new translation. This example would only apply to us if the attempt was to make a translation such as “and with spirit yours.” That translation wouldn’t make sense, just like translating “credo” into “we believe” doesn’t make sense. (5) Maybe it’s about the balance: making Mass reverent, eternal, and sacred, while at the same time relatable and understandable to us.

Dalam rangka refleksi nilai-nilai Vatikan II di Tahun Iman ini, saya tertarik pada komentar Craig B. McKee dari Hong Kong yang mengatakan : “Thank you, Bishop Suharyo. I hope you were staring a few of the Roman EVIL SPIRITS right in the face when you spoke. The liturgical adaptation process envisioned by Vatican II has been usurped (in the power grabbing sense of the word!) in favor of greater UNIFORMITY which is now being manipulated into mere textual CONFORMITY. And WHY? Because it is the one thing remaining where these petty curial bureaucrats can actually exert any real power !” Pada akhirnya, kita mesti menundukkan kepala seraya meyakini diri mengulang kata-kata wartawan besar John Allen : Archbishop Surhayo said: “Subsidiarty is the spirit of Vatican II”, and we all said “AMEN”

Salam hangat

A.Kunarwoko – 26/11/2012

Leave a Reply

Required fields are marked *.