Fiat Voluntas Tua

Alm. Kardinal Martini : “Gereja kita ketinggalan 200 tahun !”

| 0 comments

Kawan-kawan terkasih,
Beberapa hari yang lalu, kita dan Gereja kita kehilangan tohoh besar : Kardinal Carlo Maria Martini SJ. Secara pribadi, saya belum pernah ngobrol panjang almarhum. Cuma pernah berjabat tangan, mendengarkan kotbah dan ceramahnya di televisi, dan membaca banyak bukunya. Salah satu bukunya : “Il cammino sulla strada del Signore” selalu menemani saya ke mana-mana sejak di Itali dulu. Salah satu ucapannya yang terkenal adalah : “Dio non’e cattolico !” – Tuhan itu tidak beragama Katolik ! Di dunia ini, begitu banyak orang kagum dan sangat menghormati tohoh ini. Banyak yang menjadi fans beratnya, termasuk saya – dan mungkin juga – Mgr.Suharyo, Uskup kita KAJ yang sekarang.
Sebelum jadi Uskup Agung Milano dan Kardinal, Mgr.Martini pernah datang ke Jakarta. Almarhum Mgr.Soekoto, pernah mengatakan bahwa Mgr.Martini mampir ke  Jakarta sesudah menghadiri satu pertemuan di Asia. Selain menengok koleganya yang Uskup dan Jesuit yaitu Mgr.Leo Soekoto, Martini juga ke Jakarta karena ingin melihat konsep gereja lingkungan di KAJ. Oleh pak Sriyono, Ketua Komisi Kateketik KAJ, Mgr.Kartini diajak mengunjungi umat di salah satu lingkungan di paroki Sunter. Konon, menurut Mgr.Ricardo Fontana (Uskup Agung Spoleto Italia, yang sekitar tahun 1978 itu pernah menjadi Staff Kedutaan Vatican di Jakarta), Mgr.Martini kagum dengan koleganya Uskup Soekoto yang membuat keputusan dan revolusi besar dalam gereja yaitu : “memutuskan 30% kolekte semua paroki KAJ, untuk orang miskin”. Karena keputusan ini, maka sampai sekarang semua kolekte misa hari Minggu di KAJ, langsung dimasukkan 30% bagiannya untuk orang miskin via Dana Sosial Paroki. Sangat sedikit, atau bahkan hampir tidak ada keuskupan di dunia ini – termasuk keuskupan super kaya seperti Milano – yang membuat keputusan sehebat keputusan Uskup Soekoto ini.
Carlo Maria Martini, Kardinal, Uskup Agung Milano, “Bapak Dialog” Italia, ahli Kitab Suci, Exseget, Teolog besar, Ahli Dogma dan seabreg predikat lain, lahir di Torino 15 Februari 1927. Beliau meninggal di Kolese Aloisianum Gallarate Milano, pada hari Jum’at 30 Agustus 2012,  setelah beberapa lama mengidap penyakit Parkinson.  Beliau dimakamkan di dalam Duomo (Katedral) Milano pada hari Senin 3 September 2012, di dekat altar dan makam Santo Carolus Borromeus, pelindungnya. Menurut berita, 200 ribu orang hadir memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum Kardinal Martini di Duomo Milano. Carlo Martini, imam Jesuit ini, pernah menjadi Rektor Universitas Gregoriana dan Institut Biblicum Roma yang sangat berwibawa. Pada 29 Desember 1979, beliau diangkat oleh Paus Yohanes Paulus II menjadi Uskup Agung Milano. Tahun 1983 ditunjuk menjadi Kardinal. Beliau menjadi menjadi Uskup Agung Milano sampai tahun 2002. Selama 23 tahun menjadi Uskup Milano, tak terhitung terobosan pastoral yang dibuat oleh Kardinal Martini. Beliau dikenal sebagai Bapak dan Tokoh Dialog, Bapak Pluralisme, Bapak Ekumenisme, Bapak katekese modern, Bapak para Professional, Pengusaha dan tentu saja Gembala yang sangat mencintai keluarga, para papa miskin dan imigran. Kardinal Martini menghabiskan masa pensiun di Yerusalem Tanah Suci.
Beberapa hari sebelum wafatnya, Pater Georg Sporschill SJ – confater Kardinal Martini di Kolese Aloisianum Gallarate Milano, sempat ngobrol-ngobrol dengan Kardinal Martini mengenai issue-isue gereja. Pada 8 Agustus 2012, di sela-sela perawatannya, Pater Georg ditemani Federica Radice, mengadakan wawancara malam hari dengan Kardinal Martini. Wawancara ini dipublikasikan lengkap di Koran Milano “Corriere della Sera”  edisi Sabtu 1 September 2012. Wawancara yang dipublikasikan “Corriere della Sera”  ini sempat menghebohkan, setelah dikutip New York Times, Le Monde dsb dengan judul besar “Gereja Katolik ketinggalan 200 tahun”. Sebelum dipblikasikan, Kardinal Martini membaca sendiri teks yang ditulis oleh Pater Georg Sporschill SJ ini dan memberikan persetujuannya. Berikut saya terjemahkan teks itu dari bahasa Itali yang dipublikasikan oleh Corriere della Sera.
Selamat Jalan Bapak Kardinal Martini ! Kami bangga dan berbahagia, Tuhan memberikan Bapak Kardinal untuk kami dan Gereja. Rahmat Tuhan sungguh yang luar biasa. Requiescat in pace.
“Domine ut videam !”
(A.Kunarwoko – salah seorang pengagummu)
Bagaimana Bapak Kardinal memandang keadaan gereja kita sekarang ini ?
Gereja kita gereja sudah capek dan  lelah, di benua yang makmur seperti Eropa dan Amerika ini. Budaya kita tambah tua. Gedung gereja kita besar-besar. Biara-biara kosong. Aparat birokarasinya kelewat besar. Liturgi, upacara dan pakaiannya tak lagi bermakna. Itulah kenyataan yang kita alami dan mesti kita terima sekarang ini. Kemakmuran ternyata memberi beban. Kita berada dalam dilemma yang dialami anak muda kaya dalam Injil : yang pergi dengan sedih dan tidak bersedia menjadi murid Tuhan karena hartanya banyak. Saya tahu, kita tidak bisa menghadapi kenyataan seperti itu dengan mudah. Tetapi kurang lebih, kita masih bica menemukan orang-orang yang berhati bebas dan mudah peduli dengan orang lain. Seperti Uskup Romero dan para martir Jesuit di El Salvador. Saya bertanya : “Di mana sekarang ini, kita bisa menemukan para pahlawan yang bisa memberi inspirasi kepada kita ?” Jangan-jangan, kita ini terlalu terbelenggu oleh lembaga kita sendiri.
Kalau begitu, lalu siapa yang bisa menolong Gereja kita sekarang ini ?
Pater Karl Rahner, pernah memberi perumpamaan tentang bara api yang tertutup oleh abu. Saya melihat, Gereja kita itu seperti bara api yang terlalu sering tertutup abu sehingga kehilangan fungsinya. Bagaimana kita bisa membebaskan diri dari abu itu, sehingga api cinta kasih itu semakin berpijar ? Yang pertama, kita mesti menemukan kembali bara api itu. Di mana bisa kita temukan kembali orang-orang yang murah hati seperti orang Samaria itu ? Bagaimana kita bisa memiliki iman yang teguh seperti serdadu Roma itu ? (yang pernah mengatakan : “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya. Tetapi bersabdalah saja maka hamba saya pasti sembuh” – catatan Kun). Di mana orang-orang beriman seperti Maria Magdalena ? Saya pernah mengusulkan kepada Paus dan para Uskup untuk mencari 12 orang di luar yang sekarang ada, untuk menempati posisi-posisi direksi yang mengarahkan. Kita membutuhkan orang-orang yang berani, sehingga Roh Kudus lebih bisa leluasa bergerak kemana-mana.
Apa hal-hal yang Bapak Kardinal usulkan untuk mengatasi Gereja kita yang “capek” seperti itu ?
Saya mengusulkan tiga hal yang sangat penting.
(1)   Yang pertama : pertobatan. Gereja mesti menyadari dan mengetahui dengan sungguh baik, semua kesalahannya agar kemudian bisa membuat perjalanan perubahan yang radikal, dimulai dari Paus dan para Uskup. Skandal pedofili misalnya, mestinya bisa mendorong lebih keras pertobatan radikal itu. Persoalan sekitar seksualitas dan tubuh manusia, adalah juga salah satu tema pertobatan itu. Itu semua sangat penting untuk kita semua. Terlalu penting malah ! Kita mesti bertanya, apakah umat kita masih mendengarkan yang dikatakan Gereja tentang seksualitas ? Dalam hal ini, Gereja kita masih memiliki otoritas dan menjadi acuan atau malah kini sekedar menjadi olok-olok karikatur media ?
(2)   Yang kedua : Sabda Tuhan. Konsili Vatikan II telah mengembalikan Kitab Suci kepada umat Katolik. Hanya mereka yang menanamkan Sabda Tuhan dalam hatinya, bisa mengambil bagian dalam menolong pembaharuan dalam Gereja dan bisa menjawab setiap persoalan pribadi dengan pilihan jawaban yang tepat. Sabda Tuhan itu sederhana dan menjadi kawan setia nurani kita dan yang selalu siap mendengarkan kita. Para imam dan Hukum Gereja, tidak bisa bisa menggantikan hati nurani manusia yang terdalam. Semua aturan, tata cara, hukum, ajaran, dogma, diberikan untuk menyuarakan suara hati dan discernment yang diberikan oleh Roh.
(3)   Yang ketiga : sakramen. Ini alat ketiga penyembuhan gereja kita. Sakramen itu untuk siapa ? Sakramen itu bukan alat untuk membantu kedisiplinan, tetapi alat untuk membantu manusia ketika menjalani hidup dan menemukan kelemahan. Saya bertanya, apakah sakramen-sakramen kita masih berdaya guna memberikan kekuatan yang baru ? Saya mengingat begitu banyak pasangan yang bercerai, yang menikah lagi, keluarga-keluarga yang retak. Mereka itu membutuhkan perlindungan khusus. Memang, Gereja mesti memegang teguh kesetiaan perkawinan. Sungguh merupakan rahmat bagi mereka yang bisa melaksanakan itu. Perlunya Gereja merengkuh mereka yang menikah lagi, akan sangat berpengaruh dan dirasakan anak-anak mereka. Misalnya saja, seorang wanita yang ditinggalkan suaminya, dinikahi seorang pria dengan 3 anak. Ada cinta yang kedua. Kalau keluarga semacam ini dikucilkan, kita tidak hanya mengucilkan wanita atau pasangan itu, tetapi juga anak-anak mereka. Kalau pasangan suami-isteri merasa terkucil dari Gereja dan merasa tidak dilibatkan dalam hidup menggereja, Gereja akan kehilangan generasi masa depannya. Dalam Misa, sebelum Komuni, kita berdoa : “Tuhan saya tidak pantas,… !” Memang, kita tahu, kita ini orang-orang yang tidak pantas ! Cinta itu rahmat ! Cinta itu pemberian, hadiah. Apakah mereka yang bercerai boleh menerima komuni, dijadikan persoalan dengan jawaban yang seolah tak bisa ditawar lagi. Sebenarnya, persoalannya adalah : bagaimana Gereja, dengan daya kekuatan sakramennya,  bisa menolong keluarga-keluarga yang menghadapi persoalan begini komplek, rumit ?
Dan menurut Bapak Kardinal, dalam hal ini Gereja bisa berbuat apa ?
Gereja kita ketinggalan 200 tahun. Bagaimana mungkin begitu ? Kita takut ? Kita tidak punya keberanian ? Bagaimanapun, mari kita menyadari : iman itu dasar Gereja. Iman, kesetiaan, keberanian ! Saya ini sudah tua, sakit-sakitan dan tergantung dari pertolongan orang lain. Orang-orang baik di sekeliling saya, membuat saya ini sungguh merasa dicintai. Cinta semacam ini, lebih kuat dari rasa tak berdaya dan rasa bimbang yang menyelimuti begitu banyak orang dalam Gereja, khususnya di Eropa. Hanya cinta mengalahkan keputusasaan dan kelelahan. Tuhan adalah cinta. Saya masih punya pertanyaan untuk Anda : “apa yang bisa Anda buat untuk Gereja ?”

Leave a Reply

Required fields are marked *.