Fiat Voluntas Tua

Etiket Makan

| 0 comments

Kemarin aku beli soto di dekat rumahku. Ternyata di warung itu juga menjual Mie Ayam, aku baru tahu kali itu. Sambil nunggu pesananku, aku lihat pelayan membawa nampan dengan beberapa mangkuk mie ayam. Rupanya ada yang memesannya. Secara tak sengaja aku melihat ada sumpit yang ditusukkan di mie nya. Jadi sumpitnya agak berdiri nancap di mie. Aku sungguh kaget melihat ada sumpit nyaris berdiri begitu. Baru sekali itu melihatnya.
Cara meletakkan sumpit dan cara memegang sumpit yang berasal dari China atau Jepang tentulah ada aturannya. Orang bilang ada etiketnya. Tidak pada tempatnya sumpit ditusukkan seperti itu. Sebab itu hanya terjadi untuk upacara kematian. Mungkin pelayan warung tersebut hanya tahu sumpit dan mie ayam, tapi tidak tahu makna makan dengan sumpit. Mungkin pula hanya berpikir praktis, supaya sumpit tidak ngglundung, ya ditancap begitu saja.
Pernah pula aku lihat di suatu acara kuliner di televisi, suatu keluarga dengan anak-anaknya makan bakso dengan sumpit. Eehh ternyata baksonya ditusuk dengan sumpit yang disediakan. Ya namanya anak-anak, tapi kenapa orang tuanya tidak mengajarinya. Heheheee …ortunya mungkin juga tidak tahu cara pakai sumpit. Untuk bakso yang ditusuk tidak lepas dan terlontar keluar dari mangkuknya.
Makan tidak hanya sekedar memasukkan makanan ke dalam mulut. Ada tatacaranya. Ada ritualnya. Demikian pula dengan minum. Ada ritual minum teh. Ada ritual minum kopi. Ada ritual minum anggur. Mulai dari menyeduh, menyiapkan, meminum, juga peralatan yang dipakai. Waah banyak sekali ya ritual untuk makan dan minum.
Makan ala barat juga ternyata ada etiketnya. Pernahkah Anda lihat seorang makan steak sambil ngobrol. Tangan kiri pegang garpu, lalu tangan kanan yang memegang pisau diayun-ayunkan sambil menunjuk-nunjuk. Koq seperti penodong yang sedang mengancam korbannya. Aneh ya … tapi itu sering terjadi bahkan di acara televisi dengan pembawa acara yang cantik …namun tidak tahu etika atau sopan santun dalam makan.
Memang tidak mudah untuk mempelajari dan mempraktekkan tata cara makan atau minum dari kultur (kebudayaan) lain. Bagaimana dengan kebudayaan yang ada dalam gereja yang tentu berasal dari suatu tempat di sebelah barat sana. Ada tata cara makan dan minum yang telah dikembangkan oleh gereja, yang tertuang dalam Liturgi. Aturan-aturan untuk “makan” dan “minum” dalam misa juga telah ada. Namun sayangnya, masih banyak umat yang seenaknya saja dalam ritual “makan” dan “minum” dalam perayaan ekaristi.
Katekese liturgi telah memberikan banyak pelajaran, tapi kadang kita terlalu malas untuk membaca. Ya bisa pula tidak terbaca meskipun telah ada buku-buku liturgi atau tersurat di panduan misa, sebab ada umat yang hanya napas alias ke gereja pas natal atau pas paskah saja. Sikap pragmatis dan cenderung acuh membuat simbol-simbol dan filosofi ritual makan dan minum terabaikan. Padahal dalam perayaan ekaristi, ritual “makan” dan “minum” merupakan puncak dari kebersamaan kita dengan Tuhan. Suatu ritual peringatan yang diminta dilakukan oleh Yesus sendiri.
Atau … mungkinkah kita mau kembali ke zaman dimana Yesus sendiri hidup. Ketika makan roti dan ikan hasil dari penggandaan 5 roti dan 2 ikan, ribuan orang itu jelas makan roti dan ikan itu tanpa sumpit ataupun garpu dan pisau. Ritual makan dan minum saat itu juga masih sangat sederhana, nyaris tanpa makna-makna dan filosofi mendalam.
Nah, bagaimana jika sekarang kita makan Roti Hidup?  ”Akulah roti hidup yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya. Dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh 6:51)
Masih perlukah etiket makan dan minum dalam perayaan Ekaristi ?
Salam,
Petrus Paryono

Leave a Reply

Required fields are marked *.