Fiat Voluntas Tua

Paskah, Menghidupkan Kasih – Aloys Budi Purnomo Pr

| 0 comments

SETIAP tahun umat Kristiani mengenang dan merayakan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus secara istimewa. Tahun ini, wafat Yesus Kristus dikenang pada Jumat (5/4), dan Paskah dirayakan pada Minggu (7/4). Baik wafat maupun kebangkitan Kristus merupakan bukti kasih sempurna kepada umat manusia di tengah kebatilan dan ketidakadilan.

Memang, kasih tak terpasung oleh agama tertentu. Kasih juga bukan monopoli kelompok tertentu. Kasih merupakan entitas universal yang membuat hidup bersama tak terbelah antara aku dan kau, kami dan kalian. Kasih membuat setiap anak manusia masuk dalam kita.

Bangsa ini sedang memasuki zaman baru, ketika ruang-ruang bersama untuk merajut “ke-kita-an” tampak kian rapuh. Ini merupakan akibat individualisme agresif-destruktif karena mereka yang berkuasa berkuasa kerap hanya terpacu untuk memikirkan kepentingan diri, masing-masing kelompoknya, bukan kepentingan kita sebagai bangsa.

Perekat-perekat yang mempersatukan warga sebagai bangsa dengan segala ragam budaya, agama, suku, serta ideologi mengering dan melapuk. Bangsa yang malang, dengan rakyat yang mengerang dirusak oleh keserakahan elite politik yang terus mengguritakan korupsi dan tak kunjung tuntas terbasmi.

Dalam keadaan seperti ini, mereka yang lemah dan minoritas dengan mudah dipinggirkan. Mereka yang lemah dan minoritas tak mendapat kesempatan sewajarnya sebagai warga bangsa dan negara. Alih-alih mendapatkan keadilan, mereka menerima pelecehan. Alih-alih memperoleh kesejahteraan, mereka menanggung penggusuran, bahkan pembantaian. Alih-alih hidup aman dan harmonis, mereka terus tergencet, bahkan untuk sekadar mengekspresi iman sesuai sila pertama Pancasila.

Budaya Antikasih
Bangsa ini tertatih-tatih dalam jejak budaya antikasih. Fenomenanya tampak dalam berbagai peristiwa sosial, ekonomi, hukum-peradilan, dan politik yang tak berujung pada pembelaan dan perlindungan terhadap masyarakat, terutama rakyat jelata. Budaya antikasih paling jelas adalah perilaku koruptif yang terus menggurita dan tak kunjung teratasi secara tuntas.

Korupsi adalah wajah budaya antikasih paling nyata sekaligus paling hina. Para koruptor menggerogoti kesejahteraan bangsa dan rakyat demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Upaya-upaya pemberantasan korupsi dari berbagai seginya, baik pengusutan, peradilan, dan penghukumannya sama sekali tidak mencerminkan kasih sosial bagi rakyat.

Dari waktu ke waktu, upaya pemberantasan korupsi tak lebih dari sekadar dramaturgi, seakan-akan serius memberantas korupsi namun nyatanya, yang diurus hanya koruptor kelas teri, sementara koruptor kelas kakap terus bebas, bahkan terlindungi dengan segala fasilitas dan rasa nyamannya.

Elite politik, pelaku hukum dan semua elite penguasa yang teriakteriak bahkan seakan sibuk (mau) memberantas korupsi – meminjam penuturan Santo Agustinus – tak lebih dari sekawanan perampok yang bekerja sama dalam kejahatan yang sama, intrinsece malum ad corruptionem. Dalam bahasa Santo Thomas Aquinas, mereka terjebak dalam lingkaran intrinsic evil, yakni absennya kehendak baik untuk menuntaskan kejahatan korupsi.

Karenanya, janganlah pernah berharap bahwa pemberantasan korupsi akan tuntas di negeri ini. Dari sisi hidup keagamaan, budaya antikasih sudah sangat jelas dan kasat mata. Intimidasi terhadap kelompok minoritas, penghambatan kebebasan beribadah, dan upaya-upaya mengerdilkan semangat kebhinnekaan adalah bentuk-bentuk budaya antikasih secara sosial-kultural.

Budaya antikasih dalam perspektif sosial-keagamaan bahkan kian terlegitimasi dengan hadirnya perundang-undangan, produk elite politik dan penguasa yang tak memihak kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan keyakinan kelompok minoritas tertentu yang terus berlarut-larut tanpa solusi adil dan bijaksana.

Budaya antikasih saling membunuh tak hanya bermotivasi agama, tapi juga harta dan tanah. Pembantaian terhadap warga atas nama harta dan tanah begitu mudah terjadi, berserakan di berbagai daerah.

Peradaban Kasih
Masyarakat yang dijiwai dan mewujudkan kasih dalam keseharian hidup adalah masyarakat yang beradab. Dalam penuturan G WF Hegel, siapa memandang dunia dengan jiwa penuh kasih, akan dipandang oleh dunia dengan mata kasih pula. Peradaban adalah perwujudan masyarakat yang saling memandang dengan mata kasih.

Peradaban kasih tak ditandai oleh tangan berpedang, melainkan oleh tangan-tangan yang saling merangkul dan memberi rasa aman. Karena itu, di tengah bergeloranya budaya antikasih, entah secara sosial, ekonomi, politik maupun keagamaan, dibutuhkan hadirnya pribadi-pribadi yang mewujudkan kasih bukan sebagai kata-kata dan wacana apalagi citra, melainkan kasih sebagai logos, yang sekaligus terwujud dalam tindakan menjunjung tinggi harkat martabat kehidupan. Itulah inti Paskah, menghidupkan budaya kasih.

Secara historis kebangsaan, para pendiri republik ini telah jauh hari membuktikan betapa mereka lebih mewariskan peradaban kasih bagi rakyat ketimbang ketamakan. Atas nama peradaban kasih, mereka telah mewariskan motivasi kesetiakawanan kepada sesama warga bangsa yang diperbudak dan diisap oleh bukan saja kekuatan bangsa lain, tetapi juga oleh sesama manusia.

Peradaban kasih itu mewujud dalam desire d’etre ensemble, yang bertumbuh berdasarkan solidaritas dengan sesama warga bangsa yang menderita akibat eksploitasi, kekerasan, dan keserakahan. Peradaban kasih yang berkarakterkan keibaan hati, kesetiakawanan sosial, dan solidaritas itulah yang sekarang harus segera diwujudkan sebagai ganti nafsu yang terus mau merampok kesejahteraan rakyatnya sendiri!

Dalam semangat Paskah, yang merupakan peristiwa peradaban kasih terluhur, saat seorang pribadi bernama Yesus Kristus rela menyerahkan nyawa untuk membela rakyatnya dan manusia pada umumnya, siapa saja diundang untuk rela menimba semangat yang sama, apa pun agama kita. Dengan semangat Paskah, marilah kita menghidupkan budaya kasih di antara kita. Selamat Paskah!

Penulis adalah rohaniawan, budayawan interreligius, tinggal di Semarang

Sumber : Investor daily

Leave a Reply

Required fields are marked *.