Fiat Voluntas Tua

Merayakan Ekaristi – Adi Wardoyo SJ – RIP

| 0 comments

Telah berpulang kepelukan Bapa, RM. ADI WARDAYA, SJ. Hari ini 8 Desember 2011 pk. 17.40 di RS. CAROLUS. Romo Adi sangat dikenal dalam pendampingan totalnya bagi kaum muda di seluruh Indonesia. Romo Adi adalah Sekretaris eksekutif Komkep KWI sebelum Romo Dwi Harsanto, Pr. Para orang muda dampingan beliau tersebar di seluruh Indonesia dan menjadi penggerak di berbagai bidang. Romo Adi adalah inspirator tanpa lelah bagi orang-orang muda, berbagai gerakan pendampingan beliau masih terus memberi warna bagi dinamika orangmuda Katolik, Gereja, dan Indonesia.
 Malam ini jenazah Rm Adi disemayamkan di kapel Kanisius. Besok (Jumat 9/12) jam 20.00 Misa Requiem dan langsung diberangkatkan ke GiriSonta. Sabtu Misa Pemakaman di Girisonta jam 11.00.  Selamat Jalan Romo, Damai di Surga ! Sebagai penghormatan kepada beliau, berikut tulisan almarhum tentang Ekaristi. Semoga meneguhkan.

LAKUKANLAH INI SEBAGAI KENANGAN AKAN DAKU
J. Adi Wardaya SJ

MERAYAKAN EKARISTI
Istilah perayaan ekaristi dimaksudkan untuk menggaris-bawahi asal-usul umat yang merayakan ekaristi. Ketika umat berkumpul untuk beribadah, mereka menyadari bahwa mereka bersama adalah suatu paguyuban atas nama Jesus. Maka perkumpulan mereka mempunyai tujuan untuk mengenangNya. Dia hadir dalam perjumpaan dan terlibat dalam memecahkan roti dan minum bersama dengan yang hadir, dan secara khusus dengan mereka yang tersingkir dan tersung­kur, yang terjajah dan melarat (Hellwig, 57).
Oleh karena itu mereka dituntut untuk berbuat yang sama terhadap sesama (Kis.2:41-47). Melalui ekaristi mereka menyatakan identifikasi diri sebagai komunitas yang berbagi dan yang melayani sesama. Mereka menyadari bahwa dengan pelayanan terha­dap sesama (bukan melalui doa bersama, membangun kemesraan paguyuban iman dan sibuk mengurus diri sendiri) Jesus akan dikenali bahwa Dia hidup bersama manusia demi keselamatan dunia. Ekaristi harus merupakan titik tolak untuk mewujudkan sisi lain dari pewartaan Injil, yakni membangun bumi dan langit baru (Grassi, 93).
Semula istilah Gereja berarti sekumpulan orang, yang sadar bahwa mereka dipersatukan dengan Jesus. Keyakinan ini pelan-pelan bergeser dan Gereja lebih dimengerti sebagai organisasi. Hilang­nya kesadaran ‘menjadi Gereja’ memerosotkan pelak­sanaan sakramen, sehingga komuni sebagai ‘aksi bersama untuk berbagi’ digeser oleh konsekrasi sebagai saat yang keramat. Seluruh ekaristi tidak lagi menjadi aksi seluruh umat untuk menjawab kebutuhan sesama, melainkan menjadi sesuatu yang dilakukan imam bagi umat.
Karena sakramen adalah ‘sesuatu’ maka dengan rajin mereka berkumpul di gedung gereja untuk berebut ‘sesuatu’ itu. Peralihan pengertian itu membawa akibat
bahwa sekarang dalam ekaristi berkum­pul ‘penganggur dengan mentalitas pasif’ yang menanti saat ajaib dan ‘pengemis dengan mentalitas hanya mau menerima’ yang menunggu pembagian rah­mat. Sebaliknya Gereja Purba yakin bahwa perseku­tuan umat beriman adalah pelaku dan pemeran pe­rayaan.
Perubahan pandangan di atas sangat jelas dalam pandangan umat mengenai kata-kata konsekrasi. Dalam Doa Syukur Agung terdapat sebuah cerita mengenai perjamuan terakhir. Cerita ini ditempatkan di situ dengan maksud untuk mengungkap­kan alasan mengapa umat bersyukur dengan cara memecahkan roti dan minum bersama. Cerita itu ditujukan kepada orang yang mau terlibat guna melak­sanakan perintah Jesus.
Namun semenjak hilangnya kesadaran menjadi Gereja dan berubah menjadi organisasi, serta kemerosotan kesadaran menjadi pelaku perayaan dan berubah menjadi penerima dalam perayaan, maka cerita itu juga berubah menjadi: kata-kata konsekrasi yang diucapkan imam dan ditujukan kepada benda, yakni roti dan anggur. Roti dan anggur adalah benda atau obyek yang diterima oleh umat.
Kalau ditanya : “Apa simbol utama ekaristi?”, maka akan segera dijawab roti dan anggur. Roti dan anggur adalah benda sakramen, sedangkan kata-kata konsekrasi adalah bentuk sakramen, namun keduanya bukan simbol sakramen ekaristi. Simbol yang asli dan benar adalah “perbuatan memecahkan roti dan mengedarkan piala”. (Grassi, 87-88)
Sekarang ini kita sangat dipengaruhi oleh mentalitas abad pertengahan diatas, sehingga kita mengalami kesukaran untuk merasakan cerita perjamuan terakhir. Sabda Jesus: “Inilah tubuhKu” telah berabad-abad hanya dihubungkan dengan roti. Kalau sekarang kita mencoba mendengarkan kata-kata itu dengan semangat ekaristi sebagai aksi bersama, akan muncul getaran yang berbeda dari yang selama ini kita yakini.
Istilah tubuhku menunjuk kepada kepatuhan utuh orang yang berbicara, yakni Jesus yang rela sampai mati patuh kepada kehendak Allah untuk menyelamatkan manusia. ‘Tubuhku yang diserahkan bagimu’ melambangkan seluruh tindakan: memberkati, memecahkan dan membagi-bagikan roti. Sedangkan kata ”inilah’ menunjuk pada seluruh perbuatan Jesus, bukan roti itu saja.
Maka Tradisi Gereja Purba tidak mempermasalahkan perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Jesus, tetapi lebih memperhatikan umat beriman. Bukan apa yang terjadi dengan roti dan anggur melainkan “apa yang terjadi dengan umat beriman yang merayakan perjamuan dengan roti dan anggur?” Mereka yang mengambil bagian dalam perjamuan harus menjadi “roti dan anggur bagi sesama”, seperti Jesus sendiri adalah roti dan anggur yang diserahkan pada umat. Karena iman Gereja Purba bersifat normatif bagi iman kita sekarang, maka tidak tersedia pilihan lain bagi kita kecuali harus membangun Gereja agar semakin hari semakin menjadi roti bagi umat manusia. Niat ini harus selalu diperbaharui bila umat bersama-sama merayakan ekaristi, dan dengan demikian kesadaran akan makna ekaristi juga akan semakin diperdalam (Boff, 23-30).
Mengenang Jesus berarti mengakui Dia sebagai ‘man for others’, yakni orang yang secara tegas dan tuntas patuh kepada kehendak Allah untuk membebaskan manusia dari cengkeraman rejim dosa. Penjajahan dosa dewasa ini tampil dalam tatanan dan sistem yang menghisap habis-habisan manusia dan alam semesta. Setiap pengikut Jesus tidak cukup mengamini gagasan itu tetapi juga mengamankan­nya dari rongrongan ambisi tersembunyi dalam diri kita maupun ancaman dari luar. Kemudian dengan semangat bekerja tanpa mengharapkan imbalan dan berjuang tanpa mengeluh kesakitan kita mencoba agar gagasan itu menjadi kenyataan.
Saat ini kita wajib menggali kembali akar tradisi asli dari Alkitab, sehingga ekaristi lebih menjadi ‘tindakan’ seperti dilakukan oleh Gereja Purba. Seluruh tindakan dalam hidup kita persembahkan ke altar. Maka ketika imam berkata : Inilah tubuh Kristus dan kita menjawab amin, artinya kita mengamini kenyataan diri kita itu. Dengan demikian ekaristi berdaya-guna untuk membangun hidup kita sebagaimana dikehendaki Jesus.
Akhirnya mulai sekarang harus dibangun komu­nitas ekaristi (Paoli, 25-28), yakni komunitas yang dihimpun melalui ekaristi yang asli. Komuni­tas itu senantiasa berusaha menafsirkan ceritera tentang Jesus dalam kenyataan sehari-hari (Gustafson, 56-58). Ibadat yang kehilangan ceriteranya akan cepat berubah menjadi upacara rutin dan mandul. Bila sudah demikian tidak mungkin membuat komitmen yang tulus.

Leave a Reply

Required fields are marked *.