Fiat Voluntas Tua

Perjalanan Hening Romo Yohanes Indrakusuma OCarm

| 1 Comment

HIDUPKATOLIK.com – Minat pada dunia batin membuat Romo Yohanes Indrakusuma OCarm tertarik pada konsep ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Tema kebatinan itu pula yang dipilihnya untuk disertasinya di bidang spiritualitas di Institut Catholique de Paris.

Judul disertasinya adalah “Manu­sia Sempurna Menurut Pangestu”. “Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal) adalah salah satu aliran kebatinan yang bersumber pada mistik Jawa, di mana manusia merindukan penyatuan dengan Allah yang disebut Ma­nunggaling Kawula Gusti,” paparnya.

Dalam disertasinya, ia mengemukakan agar orang Katolik jangan puas hanya dengan upacara-upacara yang lahiriah atau karya-karya sosial semata. “Orang Katolik perlu menggali segi-segi kebatinan. Di antaranya, melalui latihan-latihan rohani, khu­susnya semadi,” ujarnya.

Ia melihat banyak orang Katolik seperti ‘kelaparan’ mencari santapan rohani ke sana kemari. Mereka ibarat ayam yang mati kelaparan di lumbung padi. “Padahal, sesungguhnya mereka mempunyai kekayaan yang begitu besar,” beber imam kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 8 Juni 1938 ini.

Dewasa ini, menurut Romo Yohanes, du­nia batin kerap terbengkalai karena manusia cenderung terpukau pada hal-hal duniawi. “Banyak orang lupa bahwa ada kekayaan batin yang sesungguhnya jauh lebih besar dan lebih nikmat. Itulah pengalaman akan kasih Allah.”

Mendambakan keheningan

Sejak semula Romo Yohanes mendambakan keheningan. Ketika duduk di Seminari Menengah di Lawang, ia sudah ingin masuk biara kontemplatif, tetapi rektor menilainya tidak cocok. Tahun 1960, pengagum Santo Yohanes Salib ini masuk novisiat Karmel.

Di novisiat, kerinduannya hidup dalam kesunyian kembali bergolak. Lagi-lagi, pembimbingnya mengingatkan bahwa panggilannya bukan ke Trappist.

Jauh hari sebelum ditahbiskan menjadi imam, Romo Yohanes mendengar, ada satu pertapaan Karmel internasional di Wolfnitz, Austria. Tahun 1964, ketika Jendral Karmelit, Pastor Kilian Healey, berkunjung ke Indonesia, Frater Yohanes memberanikan diri menanyakan hal ini. “Beliau mengatakan, kalau saya sudah menjadi imam, terbuka kemungkinan untuk menjadi pertapa,” ungkap imam yang dibaptis oleh Pastor E. Schalkwijk OCarm pada 14 April 1954 ini.

Ternyata, saat Romo Yohanes studi di Roma, ia mendengar kabar bahwa salah satu keputusan Kapitel Jendral Karmelit adalah menutup pertapaan di Austria karena kurangnya animo para Karmelit menjadi pertapa. Realita ini membuat Romo Yohanes terpaksa menyimpan impiannya menjadi pertapa.

Ketika studi doktoral di Paris, keinginannya menjadi pertapa kembali menggelitik. Ia berkenalan dengan suster-suster dari Betlehem yang hidup dalam biara kontemplatif. “Mereka ketat dalam keheningan tetapi tetap bisa bebas di alam sekitarnya,” kenang imam yang studi lisensiat teologi di Universitas Gregoriana, Roma ini.

Pengajaran rohani

Tahun 1973, setelah menjadi doktor di bidang spiritualitas, Romo Yohanes kembali ke Indonesia. Ia mengajar dogmatik dan spiritualitas di STFT Widya Sasana Malang. Saat itu ia mulai sering diminta memberikan pengajaran-pengajaran rohani kepada para biarawan, biarawati, dan awam.

Seiring bergulirnya waktu, keinginan hidup bertapa kian mendedasnya. Ia sangat merindukan kesehariannya dipadati dengan aktivitas doa. “Awalnya, terjadi pergumulan. Saya ingin bertapa, sementara banyak orang meminta pengajaran kepada saya,” ucapnya.

Lantas, Romo Yohanes mengutarakan keinginannya itu kepada Provinsial Karmel waktu itu, Romo Hadisumarto OCarm. Kebetulan Pastor Cyprianus Verbeek OCarm memiliki keinginan serupa.

Akhirnya, tahun 1976, Romo Yohanes dan Romo Verbeek memperoleh izin untuk bertapa di Ngroto, Malang. Namun, Romo Verbeek hanya bertahan setahun di tempat itu. Akhir 1977, Romo Yohanes memperoleh izin pergi ke Jepang dan India. Selama setahun ia mempelajari spiritualitas Zen di Jepang dan spiritualitas Asia di India. Di India, selama beberapa waktu Romo Yohanes tinggal di Shantivanam Ashram. “Dalam perlawatan itu, kesadaran saya akan kekayaan spiritualitas Gereja Katolik makin diteguhkan,” ungkap Romo Yohanes.

Pada 8 September 1978 Romo Yohanes kembali ke Pertapaan Karmel di Ngroto. Ia tinggal seorang diri di sana hingga Desember 1979. Dalam sepekan, lima hari ia bertapa. “Setiap Selasa dan Rabu saya ‘turun gunung’ untuk mengajar,” kenangnya.

Selanjutnya, lokasi pertapaan pindah ke Ngadireso. Ternyata, tamu yang mendatanginya kian mengalir.

Dalam doanya, ia mengeluh kepada Tu­han atas kondisi tersebut. Syukurlah, selanjutnya ia bisa menerima kehadiran banyak tamu dengan sukacita. “Setelah tamu-tamu pulang, baru saya masuk lagi ke dalam keheningan,” tuturnya.

Pentakosta Katolik

Romo Yohanes mulai mengenal Karismatik dari seorang biarawati di Perancis pada tahun 1974. Biarawati yang dikenalnya saat mengikuti retret Ignasian di Paris itu mengiriminya tiga buku karya Kevin dan Dorothy Renegan mengenai Pentakosta Katolik.

Kemudian, Romo Yohanes mendalami Karismatik dengan terus mencari literatur-literatur lainnya. Di antaranya, tulisan Santo Yohanes Salib tentang kuasa Roh Ku­dus. “Sampai sekarang saya belum pernah menemukan tulisan mengenai Roh Kudus yang lebih dalam dari tulisan Yohanes Salib yang waktu itu tidak mengenal Karismatik,” ujarnya seraya mengait senyum.

Sebagai pertapa, Romo Yohanes membedakan antara aspek teologis dan aspek sosiologis dalam Karismatik. Menurutnya, sebaiknya Karismatik dibedakan antara isi dan kemasannya. “Kami lebih memperhatikan isinya,” tegasnya. Alhasil, setiap kali para frater CSE dan suster Putri Karmel binaannya hendak memberikan pelayanan retret, Romo Yohanes berpesan, “Jangan bertepuk tangan!”

Ia berpendapat, gerakan Karismatik sangat membutuhkan teologi yang sehat, yakni teologi yang sesuai dengan iman Gereja Katolik. “Dengan refleksi iman yang benar, kita bisa melihat mana isi dan mana kemasannya,” tegasnya.

Kini, separuh abad sudah Romo Yohanes membiara. Awalnya, tak pernah terbersit di benaknya ia akan mendirikan serikat Carmelitae Sancti Eliae (CSE), Pu­tri Karmel (PKarm), dan Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM). “Setahap demi setahap semua itu terbentuk,” tu­kasnya terharu.

Hamparan onak duri pun telah ia lintasi, termasuk berkembangnya Pertapaan Ngadireso Malang dan Cikanyere yang mengusung pro dan kontra dari berbagai pihak. Dengan lapang dada, ia menerima semua itu sebagai aspek manusiawi.

Bila mengilas balik rangkaian peristiwa itu, rasa syukurnya mengemuka. “Tuhan memakai kelemahan-kelemahan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang di luar jangkauan pemikiran manusia.”

Maria Etty – sumber http://m.hidupkatolik.com//2011/09/21/perjalanan-hening-romo-yohanes-indrakusuma-ocarm%0A

One Comment

  1. Romo, saya kagum terhadap romo.
    Saya ada minat untuk masuk ordo trapist.
    Bagaimana cara nya?

Leave a Reply

Required fields are marked *.