Fiat Voluntas Tua

Menanti Janji Sang Nakhoda – Aloys Budi Purnomo

| 0 comments

BUSYRO Muqoddas akhirnya terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dialah yang mengemban ekspektasi sebagai penguat lembaga ekstrayudisial pemberantasan korupsi di negeri kita. Busyro pun berjanji, tidak akan kompromi dalam melawan korupsi!

Setahun ke depan, Busyro akan menjadi nakhoda baru KPK dalam berrperang melawan korupsi dan para koruptor di negeri ini. Dia harus mengembalikan “taring” KPK yang beberapa waktu belakangan ini meredup karena dihantam kasus Bibit-Chandra. Ia harus mengembalikan spirit jajaran institusi yang selama ini berjalan seperti sebuah “kapal retak”.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Saldi Isra memang mengumpamakan KPK sebagai kapal retak yang sedang mengarungi samudera luas. Namun, saya ingin menambahkan bahwa samudera luas yang diarungi kapal retak KPK bukan hanya samudera luas yang tenang teduh, melainkan samudera luas dengan gelombang dan badai dahsyat, plus perompak laut prokorupsi!

Dalam hal korupsi, republik ini memang laksana samudera luas dengan gelombang badai dahsyat yang siap mengandaskan siapapun yang hendak mengarunginya. Samudera luas penuh gelombang badai nan dahsyat itu sangat kasat mata bila kita menyimak data lima tahun terakhir (2005-2009) yang membuat Indonesia tercatat sebagai negara paling korup di Asia, bahkan di dunia.

Potret Buram
Hasil survei Transparancey International (TI) 2005-2009, memberikan potret buram betapa samudera luas negeri ini dilanda gelombang badai korupsi yang dahsyat. Tahun 2005, Indonesia berada pada peringkat 137 dari 158 negara; tahun 2006, urutan ke-130 dari 263 negara; tahun 2007, urutan 143 dari 179 negara; tahun 2008 urutan 126 dari 180 negara. Bahkan pada 2009, urutan Indonesia meningkat menjadi 111 dari 180 negara.

Potret buram samudera bergelombang badai korupsi ini dapat kita amati pula dari pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam hal koruptor yang dinyatakan bebas maupun bersalah selama lima tahun terakhir (2005-2009). Pada tahun 2005, sebanyak 243 terdakwa korupsi dari 71 perkara, 54 dinyatakan bebas, dan 189 koruptor dinyatakan bersalah. Tahun 2006, dari 124 perkara, melibatkan 361 terdakwa, yang bebas 116, dan yang dinyatakan bersalah 245.

Tahun 2007, dari 166 perkara yang melibatkan 373 terdakwa, 161 dinyatakan bersalah, 212 lainnya dinyatakan bebas. Tahun 2008, terdapat 194 perkara, melibatkan 444 terdakwa, yang dinyatakan bebas 277, sedangkan 167 dinyatakan bersalah. Tahun 2009, dari 199 perkara dengan 378 terdakwa, 224 bebas, dan 154 bersalah.

Data itu sudah sangat menggambarkan potret buram Indonesia sebagai samudera berbadai korupsi. Terjadi kecenderungan jumlah perkara korupsi meningkat, dari 71 (tahun 2005) menjadi 199 (tahun 2009). Hanya dalam rentang waktu lima tahun, perkara korupsi yang diproses di pengadilan sudah tercatat sebanyak 754, melibatkan 1.799 terdakwa, 883 bebas, dan 916 dinyatakan bersalah. Indonesia sebagai samudera berbadai korupsi, tidak lain merupakan Indonesia yang terjebak banalitas korupsi. Korupsi yang adalah kejahatan luar biasa dan kejahatan melawan kemanusiaan, bahkan merupakan kejahatan yang melembaga, justru dianggap lumrah dan biasa.

Samudera berbadai korupsi kian dahsyat manakala kita menyaksikan bahwa kasus-kasus korupsi berska-la besar ternyata tidak terselesaikan secara tuntas, adil, dan bijaksana. Hal ini diperparah pula saat KPK sebagai lembaga ad hoc yang didambakan rakyat untuk memerangi korupsi pun mengalami kriminalisasi. Kondisi ini bertambah buruk lagi, sebab di tengah samudera berbadai korupsi itu, KPK harus berhadapan dengan perompak laut sebagaimana mewajah dalam diri oknum elite politik, penguasa, penegak hukum, dan keadilan yang tidak menginginkan gerakan antikorupsi dan pemberantasan korupsi di negeri ini berjalan tuntas dan adil.

Sepercik Asa
Syukurlah, di tengah samudera berbadai korupsi plus perompak laut prokorupsi ini, terpancar sepercik asa setelah Busyro Muqoddas terpilih sebagai ketua KPK yang baru. Di mata publik, Busyro diakui memiliki integritas dan komitmen antikorupsi di negeri ini. Saya ingin kembali menyebut nama Saldi Isra yang selalu memberikan catatan kritis terkait komitmen antikorupsi. Saya mengenalnya dan berkunjung ke rumahnya di Padang pada 2003, dan sambil menikmati ikan panggang pun ia tetap menggebu berbicara tentang antikorupsi.

Saat munculnya nama Busyro Muqoddas sebagai calon ketua KPK, pada akhir Agustus lalu, Saldi Isra berkomentar, “Sosok Busyro Muqoddas menghidupkan kembali asa memberantas korupsi yang telah lama memudar.” Dengan terpilihnya Busyro Muqoddas sebagai ketua KPK pada Kamis (25/11) pekan ini, kita sungguh berharap sosok ini mampu menebarkan sepercik asa baru yang pada saatnya kelak menjadi api asa membara yang menghanguskan kebusukan-kebusukan para koruptor yang selama ini menggerogoti dan merampok kesejahteraan rakyat. Meski masa jabatannya hanya setahun, kita tetap mengharapkan Busyro mampu memberikan dentuman besar bagi pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Selamat untuk Pak Busyro! Kendalikan KPK dengan jiwa dan hati “baja” agar institusi ini tidak dikuasai oknum perompak laut prokorupsi di tengah samudera berbadai korupsi yang justru memadamkan sepercik asa yang sedang menyala terhadap visi pemberantasan korupsi di negeri ini!

Indonesia menanti janji Busyro untuk tidak bersikap kompromistis dalam memberantas korupsi yang sudah sangat parah di republik ini. Selamat memimpin perang melawan para koruptor!

Penulis adalah rohaniwan, budayawan interreligius- sumber http://www.investor.co.id/opini/menanti-janji-sang-nakhoda/916

Leave a Reply

Required fields are marked *.