Fiat Voluntas Tua

Romo Danang SJ – Pewartaan via Pameran Lukisan

| 2 Comments

Saya bagikan artikel tentang karya pewartaan Romo Danang SJ melalui pameran lukisannya. Romo Danang adalah mantan putera altar paroki Santa Perawan Maria Ratu, yang notabene paroki tengah kota Jakarta. Ia memutuskan menjadi imam setelah menamatkan kuliahnya di UNPAR Bandung. Kalau Tuhan sudah memilih dan memanggil untuk menjadi imam, apapun caranya dan bagaimana pewartaan melalui talentanya, pasti tidak ada yang sia-sia. Mari kita doakan setiap imam yang ada disekitar kita dan dimanapun juga agar teguh memegang janji imamatnya dan dilimpahi kesehatan senantiasa.

Tafsir Pastor Danang tentang Realitas Harjosari Minggu, 19 September 2010 | 14:07 WIB   TEMPO Interaktif, Yogyakarta -

Krisis moneter tahun 1998 telah mengubah sejarah hidup warga Kelurahan Harjosari, Ungaran, Jawa Tengah. Impian hidup makmur berubah menjadi tragedi. Lingkungan terlanjur rusak, dan warganya mngais rejeki mulai dari titik nol lagi. Tragedi di Kelurahan Harjosari ini kemudian mengusik Antonius Danang Bramasti, 42 tahun, untuk menggelar pameran tunggal bertajuk “Asa di Reruntuhan” di Tembi Rumah Budaya, Bantul, 17-26 September 2010. Pastor Jesuit yang juga perupa ini mengusung 14 lukisan cat minyak bergaya impresionis. Lukisan karya Danang pada pameran ini sebenarnya adalah sebuah tafsir atas realitas kehidupan warga kelurahan Harjosari saat ini. “Lukisan-lukisan ini memang bersifat tafsir pribadi saya atas realitas yang tergambar pada foto-foto aktivitas warga Harjosari,” jelas alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan Bandung tahun 1997 yang kemudian memilih jalan hidup menjadi seorang pastor Jesuit yang bertugas di Ungaran ini.

Harjosari sebelum tahun 1980 adalah daerah pertanian yang subur dan asri. Beberapa tahun kemudian, tanah pertanian itu beralih fungsi menjadi daerah industri. Pabrik-pabrik besar tumbuh pesat. Penduduk dijanjikan pekerjaan layak hingga tujuh turunan. Lurah Harjosari, Widiar Sakto, bahkan dianugerahi gelar “Lurah Teladan” selama empat tahun berturut-turut (1991-1994) oleh Presiden Soeharto saat itu. Widiar Sakto yang tak lain adalah sepupu Antonius Danang Bramasti ini diberi gelar “Lurah Teladan” karena mampu menurunkan angka pengangguran hingga nol persen.

Namun, mimpi indah memperoleh pekerjaan layak hingga tujuh turunan itu berubah menjadi tragedi. Krisis moneter tahun 1997 membuat pabrik-pabrik di kelurahan Harjosari terpaksa ditutup. Penduduk kehilangan pekerjaan karena terpaksa di-PHK, sementara mereka sudah terlanjur kehilangan tanah pertaniannya. Penduduk yang kehilangan pekerjaan terpaksa merantau ke Semarang sebagai buruh. Ada juga yang berwiraswasta menjadi penjahit, makelar hingga pengusaha kerupuk. Ada yang gagal, ada juga yang berhasil.

Sementara pabrik-pabrik yang sudah lama tak beroperasi, berubah menjadi bangunan tua, rusak dan mencemari lingkungan. Kondisi kelurahan Harjosari inilah yang kemudian ditampilkan melalui foto. Ada warga yang sedang menjahit. Ada pula bangunan pabrik yang runtuh atapnya, tangki raksasa penyimpan bahan bakar yang kini kosong melompong. Juga potret pintu gerbang yang tertutup dengan latar belakang bangunan pabrik yang juga tertutup pintunya. Muncul kesan muram, merana sekaligus mencekam. Dari sembilan foto itulah, Danang kemudian membuat lukisan dengan obyek yang sama.

Meski obyeknya sama, hasilnya sangat berbeda karena lukisan tersebut merupakan tafsir pribadi Danang atas realita yang tergambar di foto. Pada karya berjudul “Membara”, misalnya, Danang menampilkan obyek bekas bangunan pembangkit listrik sebuah pabrik yang dilingkupi warna merah membara. Bangunan itu terkesan seperti sedang terbakar. Pada foto aslinya, bangunan itu dilatar belakangi pohon dan hamparan langit. “Inilah yang saya maksud sebagai tafsir pribadi atas realitas. Saya prihatin atas nasib warga Harjosari. Saya juga pengin marah atas kondisi lingkungan Harjosari saat ini. Kemarahan inilah yang kemudian saya ekspresikan melalui lukisan,” kata Danang kepada Tempo, Minggu (19/9).

Tak hanya melukis bangunan yang mangkrak, Danang juga melukis wajah-wajah tiga warga Harjosari. Ketiganya mewakili warga desa yang terpaksa banting stir dari pekerja pabrik menjadi penjahit, pengusaha toko pakaian dan pengusaha kerupuk. Meski terpuruk, ekspresi wajah mereka memancarkan sebuah harapan masa depan yang lebih baik. Sembilan foto yang ditampilkan pada pameran ini sengaja dicetak hitam putih, meski aslinya foto warna. Menurut Danang, cetak foto hitam-putih ini sengaja dilakukan agar lebih terkesan netral, sebagai pembanding atas 14 lukisan karyanya yang bersifat menafsirkan. Pameran “Asa di Reruntuhan” ini merupakan pameran tunggal kedua Antonius Danang Bramasti. Pameran tunggal pertamanya, “Peziarahan”, digelar di Rumah Seni Yaitu, Semarang, Agustus 2009. Danang melukis sejak balita, karena ayahnya seorang perupa. Saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpar, Danang aktif membimbing anak-anak jalanan dalam ketrampilan melukis – Heru CN

Link berita serupa http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=33545

2 Comments

  1. wah… luar biasa..
    ditengah-tengah pelayan masih dapat mengembangkan talenta yang ada…
    selamat..

  2. kalau di bandung berarti kang romo. kapan lagi yah ada pamerannya.
    seneng liat-liat pameran lukisan

Leave a Reply

Required fields are marked *.