Fiat Voluntas Tua

Tentang Imam Religius dan Imam Diosesan/Praja

| 4 Comments

1. Siapa itu imam Katolik?
Seorang imam Katolik adalah seorang laki-laki yang dipanggil Tuhan untuk melayani Gereja dalam pribadi Kristus sang Kepala. Ia adalah seorang yang mengasihi Tuhan, Gereja dan Umat yang ia layani. Ia mengamalkan kasihnya ini melalui ikrar setia selibat, ketaatan dan kesahajaan hidup. Ia adalah seorang yang berakar dalam doa, yang dengan sukacita dan semangat rela berkorban memberikan hidupnya bagi sesama.

2. Siapa itu imam diosesan?
Seorang Imam Diosesan adalah seorang Imam Paroki. “Diosesan” berasal dari kata Yunani yang berarti “menata rumah,” dan kata Yunani “paroki” yang berarti “tinggal dekat.” Seorang imam diosesan adalah seorang imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia “tinggal dekat mereka” dalam segala hal, dan membantu uskup setempat untuk “menata rumah” dalam keluarga Allah, entah sebagai seorang pastor pembantu atau sebagai pastor kepala paroki (dan kadang kala dalam pelayanan-pelayanan seperti pengajaran, atau melayani sebagai pastor mahasiswa, atau pastor di rumah sakit, di pangkalan militer, atau di penjara). Seorang pastor paroki bertanggung jawab atas segala pelayanan yang diselenggarakan oleh paroki dan atas administrasi paroki.

Sebagian besar imam di seluruh dunia adalah imam diosesan. Mereka ini ditahbiskan untuk berkarya di suatu diosis (= keuskupan) atau di suatu arki-diosis (= keuskupan agung) tertentu.  Seorang imam diosesan merupakan bagian dari satu presbiterium (= dewan imam), yang beranggotakan para imam dari suatu diosis/arki-diosis yang sama, dan karenanya berada di bawah kepemimpinan uskup yang sama.

Pada saat ditahbiskan sebagai diakon (biasanya sekitar satu tahun sebelum ditahbiskan sebagai imam) mereka berikrar setia untuk menghormati dan mentaati uskup diosesan dan para penerusnya. Mereka juga berikrar setia untuk hidup dalam kemurnian, dan sesuai dengan status klerus mereka (termasuk di dalamnya hidup bersahaja). Berbicara secara teknis, para imam diosesan tidak mengucapkan kaul dan tidak berikrar kemiskinan. Mereka menerima gaji sekedarnya dari paroki atau lembaga Katolik lainnya yang mereka layani. Oleh karena tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan dasar telah dipenuhi oleh paroki di mana mereka berkarya, maka gaji mereka yang sedikit itu lebih dari cukup untuk memenuhi keperluan-keperluan pribadi mereka, misalnya pakaian, biaya berlibur, mobil dan sumbangan amal kasih.   
Dalam tahbisan diakonat, uskup menerima ikrar setia para diakon dan para imam, dan dengan demikian menginkardinasi mereka ke dalam keuskupan. Ini mendatangkan hak-hak tertentu bagi diakon calon imam dan imam diosesan – misalnya hak untuk mendapatkan dukungan dari gereja diosesan – dan mengenakan kepada mereka kewajiban untuk berkarya bagi gereja diosesan di bawah kepemimpinan uskup. Ini merupakan komitmen atas tanggung jawab seumur hidup. Karena sebagian besar karya keuskupan dilaksanakan di paroki-paroki, maka pada umumnya seorang imam diosesan berkarya di suatu paroki. Imam diosesan sering juga disebut imam praja atau imam sekulir, sebab karya utama mereka adalah pastoral, yaitu membantu umat yang berada dalam dunia pada masa sekarang ini (Latin saeculum, artinya dunia, masa).

3. Apa beda imam religius dan imam diosesan?
Seorang imam religius adalah anggota dari suatu ordo atau lembaga religius. Suatu ordo atau lembaga religius adalah suatu serikat yang dibentuk Gereja guna mempromosikan suatu gaya hidup atau suatu spiritualitas tertentu, atau untuk melaksanakan suatu karya tertentu. Sebagian besar anggota komunitas religius berkarya di lebih dari satu keuskupan, dan banyak lainnya berkarya lintas negara. Setiap komunitas religius memiliki konstitusinya sendiri, dan para anggotanya hidup menurut suatu peraturan hidup yang ditetapkan. Sebagian anggota komunitas religius berkarya di paroki-paroki, sedangkan yang lainnya tidak. Para imam religius berkarya sebagai pastor rumah sakit, memberikan retret, mengajar, pembicara, pastor paroki, misionaris dan di berbagai macam bidang lainnya. Setiap komunitas religius memiliki karisma, atau karunia Roh Kudus. Para imam yang adalah anggota suatu komunitas religius membawa karisma itu ke dalam karya mereka.

Uskup diosesan mengawasi para imam religius apabila para imam ini terlibat dalam pelayanan aktif dalam keuskupannya. Tidak ada suatu komunitas pun yang dapat berkarya di suatu diosis tanpa ijin uskup diosesan. Superior komunitas religius mengawasi karya internal komunitas. Jika suatu komunitas religius melayani kebutuhan umat di suatu paroki tertentu, maka komunitas religius tersebut berkarya berdasarkan suatu kesepakatan dengan uskup diosesan.

Seorang imam religius mengucapkan kaul kemurnian, kaul ketaatan dan kaul kemiskinan; mereka tidak diperkenankan memiliki harta pribadi. Biasanya, imam religius tinggal bersama sejumlah imam atau broeder dari komunitas religiusnya. Pada umumnya, mereka berkarya dalam suatu pelayanan tertentu, misalnya pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan atau karya misi. Pelayanannya kepada Gereja dapat menjangkau melintasi batas-batas keuskupan: ia dapat saja diutus ke manapun di suatu pelosok dunia di mana komunitasnya berkarya. Sebaliknya, seorang imam diosesan, pada umumnya melayani sebatas wilayah keuskupan di mana ia ditahbiskan. Ia tunduk pada uskup diosesan. Seorang imam diosesan tidak mengucapkan kaul.

4. Mengapa menjadi seorang imam?
Seorang laki-laki menjadi imam bukan bagi dirinya sendiri melainkan bagi orang-orang lain. Imamat merupakan suatu cara hidup yang unik dan penuh kuasa demi menyelenggarakan pelayanan bagi kebutuhan-kebutuhan rohani orang-orang lain. Imam adalah sungguh merupakan kehadiran unik Tuhan Sendiri di dunia ini, yang diperlengkapi kuasa untuk menghadirkan Tuhan. Orang tidak ditahbiskan atau orang tidak menjadi imam bagi dirinya sendiri, tetapi ia ditahbiskan bagi orang-orang lain. Seorang imam memberikan hidupnya sendiri agar yang lain dapat hidup.

5. Apakah seorang imam kehilangan kebebasannya?
Seorang imam diosesan berikrar setia secara resmi untuk taat kepada uskupnya. Ikrar ketaatan ini mengikatkan imam kepada uskupnya dalam suatu cara demi menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan umat Allah terpenuhi. Kebebasan dalam kehidupan dan pelayanan imam adalah bagaikan kebebasan anak-anak dalam kehidupan orangtua mereka. Orangtua bertanggung jawab atas anak-anak mereka. Demikian pula, dalam mengambil keputusan seorang imam pertama-tama memikirkan kepentingan yang lain terlebih dahulu, yaitu umat yang dipercayakan kepadanya, dan uskupnya yang bertanggung jawab atas seluruh keuskupan

6. Apa yang dilakukan seorang imam?
Tujuan dasar dari pelayanan seorang imam adalah mewartakan Sabda Allah. Imam melakukannya dengan beragam cara. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya demi mempersiapkan dan merayakan sakramen-sakramen (Ekaristi, Tobat, Baptis, Perkawinan, Pengurapan Orang Sakit). Setiap hari selalu diluangkannya waktu untuk berdoa. Mengunjungi yang sakit, mengunjungi umat dan bekerjasama dengan paroki-paroki lain dan dengan berbagai kelompok organisasi merupakan bagian dari pelayanannya pula. Seorang imam diosesan harus siap sedia melayani umat apabila mereka membutuhkan bantuan. Ia kerap kali terlibat dalam konseling pribadi, (masalah perkawinan, obat-obatan terlarang, masalah orangtua/guru, atau sekedar berbagai masalah pada umumnya). Imam memilih untuk tinggal di tengah suatu komunitas iman tertentu (suatu paroki), dan dengan demikian ia bertindak sebagai pemimpin yang memberikan perhatian sosial dan spiritual bagi umatnya. Sama seperti orang lain pada umumnya, seorang imam juga membutuhkan waktu untuk berolah raga, beristirahat dan relaks – waktu di mana ia dapat melakukan apa yang ia sukai; hal-hal seperti sports, hobi, musik, dll.

7. Bagaimanakah hari-hari seorang imam?
Seorang imam bekerja dan berkarya setiap hari demi membangun jembatan antara langit dan bumi. Imam membawa Tuhan kepada manusia dan manusia kepada Tuhan. Setiap hari berbeda baginya, tergantung pada karya di mana ia terlibat. Namun demikian, satu hal yang pasti bagi setiap imam adalah merayakan Misa. Setiap imam sebisanya merayakan Ekaristi setiap hari. Dengan menghadirkan Yesus dalam Ekaristi, imam dipanggil untuk menghadirkan Yesus pula dalam setiap detik hidupnya. Hal ini mungkin terjadi pada saat pertemuan, kunjungan ke rumah atau rumah sakit, mengajar, menyampaikan khotbah ataupun sekedar hadir bersama yang lain. Sungguh, hari-hari seorang imam adalah hari-hari yang sibuk, melelahkan, beragam variasi, namun mendatangkan keselamatan, yang menuntut stamina fisik, disiplin mental dan kedewasaan rohani. Hidup seorang imam adalah hidup bagi orang lain; hidup bagi pelayanan kasih. Jadi, meski kesibukan dalam hari-harinya tak dapat diprediksi, tetapi wajib senantiasa merupakan pelayanan kasih, pertama-tama bagi Tuhan, dan kemudian bagi sesama.

8. Apakah seorang imam diosesan mendapatkan suatu pelatihan khusus?
Seorang imam diosesan pertama-tama dipersiapkan untuk menjadi seorang imam paroki. Ia mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk melakukan segala hal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari Gereja. Ia dapat juga menerima pelatihan khusus dalam bidang seperti konseling, pengajaran, pelayanan kaum muda, komunikasi, bekerja untuk orang-orang miskin, dan bidang-bidang lain yang dianggap perlu oleh Gereja.

9. Dapatkah seorang imam diosesan melayani di luar keuskupannya?
Terkadang, seorang imam diosesan dapat meminta ijin kepada uskup untuk melayani di luar keuskupannya. Seorang imam diosesan dapat melayani sebagai guru, misionaris, atau dalam kapasitas lainnya di suatu keuskupan lain.

10. Siapakah yang memiliki kualifikasi menjadi seorang imam?
Seorang laki-laki single dengan intelegensi sekurangnya rata-rata, emosional yang stabil, memiliki kemurahan hati dan kasih yang tulus bagi Tuhan pantas bagi imamat. Ia hendaknya seorang yang menikmati bekerja dengan beragam orang dan memiliki komitmen untuk menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik bagi umat manusia melalui pelayanan imamat. Ia hendaknya seorang individu yang penuh sukacita yang mencintai hidup dan bersedia memberikan segala-galanya bagi apapun yang Tuhan kehendaki darinya. Ia wajib mengejar kekudusan, setia pada ajaran-ajaran Gereja Katolik dan setia kepada Bapa Suci.

11. Bagaimana saya tahu Tuhan memanggil saya menjadi seorang imam?
Satu-satunya cara adalah meluangkan waktu dalam doa dan dalam diskusi dengan yang lain. Hubungi pastor paroki, Komisi Panggilan, atau seorang awam yang engkau percaya di paroki untuk membicarakan perasaan-perasaan dan imanmu. Sering kita mendengar suara Tuhan lewat sharing iman dengan yang lain.

12. Bagaimana jika saya pernah berbuat salah sebelumnya?
Seorang tidak perlu kudus untuk menjadi seorang imam, meski imam wajib merindukan kekudusan. Kemampuan untuk mencari pengampunan Tuhan dan untuk menerima kerahiman ilahi menunjukkan pertumbuhan dalam kekudusan. Seorang pembimbing rohani acapkali merupakan seorang penolong yang tepat bagi mereka yang hendak mengenali kesiapan dirinya bagi hidup dan pelayanan imamat.

13. Apakah saya harus meninggalkan keluarga, teman dan sahabat demi memenuhi panggilan imamat atau hidup religius?
Tidak. Sesungguhnya, keluarga, teman dan sahabat merupakan pendukung yang sangat penting bagi panggilan baik imam, biarawan maupun biarawati. Mereka didorong untuk ambil bagian dalam kejadian dan peristiwa-peristiwa keluarga dan menemukan cara demi mendukung para anggota keluarga melalui doa dan peran mereka. Hendaknya tuntutan Umat Allah atau komunitas religius mendapatkan prioritas dalam hidupmu. Dalam hal ini, engkau “meninggalkan” keluarga, teman dan sahabat. Tetapi, ingatlah akan janji Yesus dalam Injil Matius, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19:29).
14. Bagaimana jika saya merasa tidak layak menjadi seorang imam?
Kamu tidak sendiri! Tak seorang pun yang sesungguhnya “layak”. Bukan dari diri kita sendiri, melainkan Yesus bersabda, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Dengan panggilan, datanglah rahmat untuk menanggapi panggilan dengan murah hati dan segenap hati dan untuk masuk ke dalam suatu perubahan sepanjang hidup menjadi serupa dengan Yesus Kristus.

sumber : 1. “Heed the Call Vocation Office for Diocesan Priesthood”; www.heedthecall.org; 2. “St John The Evangelist Catholic Church”; www.stjohnsphilly.com; 3. “Office of Vocations Diocese of Toledo”; www.toledovocations.com; 4. berbagai sumber
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Tambahan dari Romo Santo Pr:
Nama romo-romo diosesan sering diakhiri dengan huruf “Pr”, yang di Jawa Tengah disebut “Projo”. Namun aslinya ialah “Presbyter”, (Yun) yang artinya “Imam” atau “Tua-Tua”. Bahasa Inggrisnya “Priest”. Saya sendiri Imam KAS, namun karena tugas di KWI, dan karenanya mesti “mens sana in corpore sano”  (maen ke sana maen ke sono), maka di tempat-tempat lain itu sering ditanya tentang  arti “Projo” yg sebenarnya khas Jawa Tengah saja haha…  Beberapa saudara kita di luar konteks Jateng tak suka dengan “Projo” yang kejawa-jawaan itu haha… mirip “Satpol Pamong Projo” aja hahaha… Memang untuk konteks Jateng, Projo itu terkait dengan pemerintahan. Maka Imam Projo ialah imam pemerintahan Gereja yang adalah Keuskupan.
Namun pada umumnya, secara internasional, imam diosesan, di nama depannya ada R.D. dan tak usah diakhiri dengan Pr. RD = Reverendus Dominus. Maka secara internasional, cukup ditulis nama imam itu misalnya: RD. Benediktus Susilo.  Kalau ditulis Benediktus Susilo Pr maka justru orang Philipina akan bertanya apa maksudnya “Pr” hehe… Dalam negara berbahasa Inggris, cukuplah Father Benediktus Susilo, tak perlu embel-embel Pr. Atau kadang ditulis Rev. Fr Benediktus Susilo. Sebenarnya di Indonesia, cukuplah Romo Susilo saja atau Pastor Susilo atau RD Susilo.  Jelas itu imam diosesan jika tanpa embel-embel di belakangnya walaupun tak usah ada “Pr” di belakangnya. Namun kalaupun ditambahi “Pr”, maka mesti jelas bahwa di Papua itu bukan “Projo”, melainkan “Presbyter”.  Bahkan di Surabaya pun konon, tak lagi ditambahi embel-embel “Pr” lagi.
Sedangkan nama imam-imam tarekat religius biasanya diawali dengan huruf RP (Reverendus Pater) dan diakhiri dengan huruf  tarekatnya misalnya SJ, OFM, SVD, MSF, dll. Contoh: RP. Benediktus Susilo, SVD; atau Fr Benedictus Susilo SVD; atau Rev. Father Benediktus Susilo SVD.

4 Comments

  1. syallom………saya seminaris yang ingin melamar ke seminari tinggi tapi kurang tahu informasi yang pasti tentang prosedur masuk ke SM. tolong buatkan catatan persyaratan dsb, trims…….

  2. Pingback: Kepanjangan RD dan RP | sumber cerita

  3. matur nuwun Romo …

  4. Pingback: sebutan RD di depan nama Pastor Diosesan | Katolik di Batam

Leave a Reply to emilio gard Cancel reply

Required fields are marked *.