Fiat Voluntas Tua

May Day – Potret Buruh Kita

| 0 comments

1 Mei adalah peringatan St. Josef – pelindung para pekerja. Rupanya di era modern, era industrialisasi, era informasi, St. Josef masih harus bekerja lebih keras lagi. Yang dibawah perlindungannya semakin berat hidupnya. Semoga juga menjadi permenungan kita bersama agar kepedihan hidup mereka menjadi keprihatinan kita.

Fitri, Potret Buruh Kita
“Buruh sekarang, kayak kutu loncat, pindah sana sini, tapi ternyata semua pabrik sama.”
Sabtu, 1 Mei 2010, 07:13 WIB
Suwarjono

VIVAnews – Wajah lesu para buruh kerap mewarnai suasana sore hari di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung Jakarta Utara. Setiap pukul 17.00 WIB hingga 19.00 WIB sore, pintu belakang KBN yang tembus ke Jalan Tipar Cakung, selalu dipenuhi ribuan buruh yang menanti angkutan.

Pada jam itu, setiap hari ribuan buruh wanita, meninggalkan KBN. Mereka keluar bersamaan sehingga disebut “bubaran pabrik” oleh warga sekitar. Banyak juga di antaranya yang berjalan menuju tempat tinggal mereka.

Rumah petak berukuran panjang 3 meter dan lebar 4 meter yang letaknya tak jauh dari KBN, menjadi pilihan mereka untuk tempat beristirahat.

Bukan karena kenyamanan, namun mereka memilih tempat tersebut untuk menghemat ongkos transportasi dan bisa cepat sampai ke tempat kerja.

Harga kontrakan bervariasi, antara Rp 300 sampai Rp 500 ribu per bulan tergantung lokasi terdekat ke KBN. Rata-rata harga itu belum termasuk listrik dan air. “Lebih dekat ke KBN, pastinya lebih mahal,” kata Fitri (26) salah satu buruh perusahaan garment di KBN.

Fitri tinggal di salah satu kamar pada rumah yang agak besar. Pada pagi hingga sore hari, rumah tersebut berada di tengah pasar tradisional yang becek dan kumuh. Maka tak aneh, bila malam di depan rumah itu tersandar puluhan meja besar yang menjadi lapak para pedagang.

Wanita berkulit putih ini, tinggal di kamar itu bersama dua orang temannya yang juga wanita. Mereka menyewa kamar itu seharga Rp 350 ribu ditambah listrik dan air Rp 100 ribu. Mereka membayar sewa kamar yang sempit dan pengap dengan aroma kurang sedap dari sampah pasar secara patungan bersama dua teman lainnya.

“Yang penting bisa istirahat dan bangun pagi berjalan ke pabrik tanpa mikirin ongkos dan macet,” kata Fitri sambil menikmati mie instan di sudut kamarnya.

Fitri memang bukan orang baru sebagai buruh pabrik. Sejak tahun 2001 wanita berijazah SD ini sudah menjadi pekerja pabrik. “Sekarang ini, sudah tidak nyaman lagi menjadi buruh. Berbeda dengan tahun 2001 sampai 2004,” katanya.

Menjadi buruh sekarang ini, bukan lagi menjadi pilihan baginya. Tetapi karena tak ada pilihan lain, terpaksa ia jalani profesi itu. “Kalau ada pilihan lain yang lebih baik, pasti saya sudah tak mau jadi buruh,” katanya.

Di usia 17 tahun, kala itu tahun 2001, merupakan pekerjaan yang paling berkesan indah bagi Fitri. Dia diangkat menjadi pegawai tetap setelah 4 bulan bekerja di perusahaan tekstil PT Tuntex Indonesia Busana di KBN Cakung.

Tahun 2004 perusahaan itu pindah ke Tangerang, dan Fitri mendapat pesangon Rp 8,5 juta. Uang itu sangat menolongnya. “Walaupun sempat terpakai, sampai sekarang uang itu masih ada. Sempat dipakai untuk bertahan hidup selama nganggur, melamar pekerjaan, dan dikirim ke kampung,” ujar wanita satu anak itu.

Setelah tahun 2004 sampai sekarang, menurut Fitri, sistem perusahaan tidak lagi mengangkat buruh menjadi pegawai tetap. Buruh hanya berstatus kontrak maksimal 11 bulan, dan bila kontrak habis maka buruh harus mengajukan lamaran lagi ke perusahaan yang sama atau perusahaan lain.

“Buruh sekarang, kayak kutu loncat, pindah sana sini, tapi ternyata semua pabrik ya sama aja,” ucap Fitri yang memilih memperpanjang kontrak di perusahaan yang sama.

Di perusahaan sekarang, yang memproduksi pakaian dalam wanita, Fitri mengaku bekerja di bawah tekanan target. Buruh dipaksa bekerja sampai malam tanpa hitungan lembur sampai target terpenuhi.

“Di saat mengejar target, seluruh pengawas turun dengan membawa kayu atau penggaris besi. Tak perduli hitungan jam kerja. Lembur kami tak dihitung. Mereka teriak-teriak dan memukuli meja menyuruh kami cepat mengerjakan seperti keinginan mereka,” katanya.

Dengan gaji sebesar Rp 1.146.000 per bulan, Fitri harus hidup terpisah dari anak dan suaminya yang tinggal di kampungnya Purwokerto, Jawa Tengah. Kadang kerinduan menyiksa di tengah malam saat teringat tangis anaknya.

“Kehidupan di kampung sangat sulit untuk mencari nafkah. Terpaksa saya harus hidup terpisah seperti ini,” ucap Fitri dengan nada lirih saat mengenang suaminya yang berjalan pincang, karena kaki kirinya mengecil akibat terjatuh saat memanjat pohon kelapa di kampungnya.

Fitri berharap dengan peringatan Hari Buruh Internasional ini, pemerintah dan pengusaha menyadari pentingnya peran buruh dalam perusahaan. Untuk itu, dia berharap agar lebih memperhatikan kesejahteraan buruh. (jon)
Arnes Ritonga | Jakarta Utara

Leave a Reply

Required fields are marked *.