Fiat Voluntas Tua

Sang Pejuang (R. Maryono, SJ)

| 0 comments

Jam lima pagi. Satu jam lagi anakku akan digantung. Sepanjang malam aku berjaga, diliputi rasa takut akan subuh yang mendatang, saat anakku akan tiada lagi. Aku gemetar berada di batas keputusasaanku. Tetapi masih ada waktu, dan aku percaya pada mukjizat.
Anakku! Anakku! Masih kokohkah semangat ketabahanmu? Apakah kau tetap berbahagia dalam jam-jam yang telah berlalu, yang menghancurkanmu sampai demikian dekat pada penggenapan nasibmu? Aku berjaga dan berdoa, berpegang teguh pada ketabahan yang telah kau nyatakan kepadaku. Tetapi aduh, terasa tersumbat tenggorokanku dan banjir airmata menekan kelopakku. Tetapi waktunya belum tiba. Saat untuk meratap belum tiba. Anakku masih hidup dan menatapi malam yang kutatap ini, kagum akan keindahan alam dan kebahagiaan karena masih hidup. Dan aku pun, aku hidup bersamanya menit demi menit, menimbun setiap keindahan yang berlalu, sadar akan saat yang akan hilang untuk selamanya.

Sambil duduk, aku menatap kenang-kenangan di sekelilingku. Seolah-olah masih hari kemarin, saat biasanya aku melihatmu datang melalui jalanan yang kotor, jari kakimu yang telanjang, penuh abu dan debu yang panas, piyamamu penuh dengan lumpur karena bermain, sepatumu menggantung di atas bahu dengan sikap tak peduli. Dan dalam kontras yang aneh, aku mengingat hari saat kau pulang kembali. Oh, pelukanmu yang menyenangkan, begitu kuat, begitu kokoh. Aneh, bahwa sekarang pun aku bisa tersenyum. Tersenyum dengan ingatan yang menggetarkan hati. Mengangumi kembali tinggi dan kekarnya badanmu. Anakku. Pria dewasa. Bagaimanakah ini bermula, anakku? Kau tak pernah mengatakannya padaku, dan aku tak pernah bertanya. Waktu selalu sedikit. Bilakah aku dapat bertanya?
Anakku. Begitu gembira, sembrono tetapi menyenangkan. Selalu tertawa, selalu menganggu. Jika saja aku bisa mati sebagai penggantinya.
Aku tak dapat melupakan hari itu.

“Ibu jangan menahanku dengan pertanyaan-pertanyaan. Sekarang aku tak dapat menjelaskan sesuatu pun. Tidak ada waktu. Yang dapat aku ceritakan adalah bahwa aku seorang revolusioner yang dicari oleh para tetua negeri ini. Mereka akan datang megambilku tiap saat. Katakan kepada mereka aku pergi. Ceritakan kepada mereka apa saja. Demi Tuhan. Ibu kuasailah dirimu. Jangan mengecewakanku sekarng. Segalanya tergantung pada ibu.“

Mendadak ia melepaskanku, bergegas lari ke pintu. Dan seperti angin puyuh, ia pun pergi. Satu menit ia ada di situ dan pada menit berikutnya hanya tinggal kesunyian dari rumah yang seakan mengejek, airmataku bercucuran karena iba dan tidak dapat mengerti. Mengapa ia lakukan itu, aku merenung sendiri, mengapa ia lakukan itu. Ia mengikuti kelompok orang yang tidak puas, yang berasal dari sampah masyarakat. Apakah hak dan kebebasan kita memang dibatasi? Apakah perjuangan semu itu dipeloporinya, dengan demikian mengorbankan nama keluarga, apakah itu lebih penting untuk hari depan yang aman dan menyenangkan? Aku tidak dapat mengerti. Aku tidak dapat mengerti.

Aku ingat suatu ketika anakku duduk di sampingku pada sebuah sofa yang hampir runtuh dan aku mengelus tangannya dan mencoba menahan airmataku.
“Ibu!” Ia tersenyum manis menawan. “Senyumlah kepadaku. Ya begitulah! Ibu tahu, aku adalah orang yang paling berharga dalam duniaku dan aku sedih melihat ibu bersedih.”
Aku tekan tangannya. Apa yang dapat kukatakan?
“Percayalah, sesungguhnya aku telah mengalami banyak saat sedih karena keraguanku. Aku telah berjuang melawan keyakinanku, menutup mata akan penghinaan terhadap bangsaku, dan mencoba untuk tidak melihat kewajibanku kepada negeriku.Tetapi keyakinanku begitu kuat, rasa tanggungjawabku begitu mendesak untuk dapat kukesampingkan.”
Ia bediri dan mulai melangkah mondar-mandir.
“Jika saja aku dapat menjelaskan kepada ibu betapa gusarnya aku dengan ketidakadilan terhadap negeriku yang begitu indah dan diberkati dengan kelimpahan. Dibebani untuk kepentingan sebuah tanah kecil, dipaksa untuk menarik tanah kecil yang lemah itu, supaya menjadi makmur dan maju, atas beban jutaan orang yang menderita dan melarat.”
Ia memalingkan wajahnya yang gelisah ke arahku, tertawa sumbang dan berkata, “Ibu kelihatan cemas, aku tidak heran. Aku dihanyutkan oleh luapan emosiku.”
Matanya menyala, tanpa menyerah.
“Aku tidak tahan melihat keruntuhan bangsa yang besar dan baik. Aku tidak sanggup memikirkan dunia ini maju pesat ke depan, sedangkan negeriku yang dahulu pernah bangga dengan sejarah kemampuan-kemampuannya yang hebat, kini harus menundukkan kepalanya, dengan pasrah di hadapan bangsa-bangsa lain. Aku tidak sanggup melihat dan menanggung penghinaan itu, ibu, sebab aku harus berjuang. Aku berjuang untuk mengeluarkan negeri dan bangsaku dari debu tempat ia telah jatuh. Aku berjuang supaya cucu-cucumu nanti dapat berdiri dengan bangga dan sama hak dan kesempatan dengan siapa pun di seluruh dunia ini.”
Dia diam, aku pun diam juga. Aku mengerti keterlibatannya yang sungguh-sungguh dalam perjuangan ini, tetapi aku masih belum mengerti mengenai perjuangan itu sendiri. Sebagian yang ia katakan masuk akalku, tetapi pasti masih ada jalan lain untuk membeberkan keluhan-keluhan ini. Anakku mempunyai tempat yang tepat, dohormati dalam pergaulan. Aku tak ragu bahwa cucu-cucuku nanti akan mempunyai hak istimewa. Mengapa ia harus dengan gigih membela berjuta-juta orang yang tidak dikenal? Biarlah mereka yang ditindas berjuang untuk diri mereka sendiri.

Anakku mengenalku dengan baik dan ia dapat membaca pikiranku dari mataku,”Apakah sukar menjelaskan keyakinanku dalam kerangkan pemikiran ibu? Dunia ibu sangat terbatas bagimu, ibuku. Ibu adalah seorang wanita desa yang khas, tidak menganggap penting membaca dan menulis, atau memberikan perhatian pada hal-hal yang di luar dari hal-hal keluarga. Selama keluarga itu makmur, ibu puas. Dan ada berjuta-juta orang seperti itu, ibuku! Itulah tragedi kita. Tetapi diantara mereka yang berpikir, mereka tahu hal ini. Dan karena kita mengetahuinya, kita harus bertindak. Percayalah kepadaku, aku telah berpikir panjang sebelum aku mengambil langkah ini. Kebahagiaan ibu, aku tahu, adalah di dalam kebahagiaanku. Dan aku tidak akan pernah mendapat kebahagiaan sampai aku melihat negeriku merdeka.”
Saat itu aku tahu, dan tak ada gunanya berargumentasi dengannya. Dia terlibat secara menyeluruh dan aku tahu hal itu. Tidak ada yang dapat kulakukan kecuali mendoakan keselamatannya.
“Tidak ada siksaan hebat ibuku. Tubuhku tidak mampu menahan api yang membara di dalam diriku. Malahan kini pun hanya tubuh yang tak berguna ini yang membuat aku kecewa. Jiwaku masih begelora tak henti-hentinya. Mengertikah ibu permainan yang kumainkan membutuhkan lebih dari ketabahan?”
Seraya ia berbicara, terbentuklah sebuah gambaran dari seorang pria yang dikejar-kejar sampai kehabisan tenaga.
“Ada satu jasa terakhir yang dapat kusumbangkan kepada perjuanganku, yaitu peradilan umum dan eksekusi di hadapan umum. Ibu, ibuku, tabahlah dan pandanglah anak ibu dengan bangga. Kita telah terpilih, ibu dan aku, untuk suatu kehormatan bagi negeri kita. Perananku lebih mudah. Pada ibulah jatuh beban berat itu. Pengorbanan ibulah yang akan mengangkat tinggi negeri ini. Tinggi di antara bangsa-bangsa yang terbesar di dunia ini. Penderitaan ibu akan menjadi hiburan bagi berjuta-juta orang yang tertindas tidak berdaya. Dan akan memberikan mereka suatu kebanggaan yang baru, jati diri, dan persamaan dalam dunia manusia. Ibu diciptakan untuk kebesaran. Pengorbanan ibu akan mengubah arah sejarah.”
Kata-kata yang indah dan menggetarkan. Kata-kata hampa. Apa pedulinya aku pada berjuta-juta orang yang hidup melarat. Aku hanya menghendaki kehidupan anakku. Perasaan tersumbat pada kerongkonganku membengkak, aku hampir tidak bisa bicara lagi.
“Bagaimana kau tahu, anakku,”kukatakan pada akhirnya,”bahwa peradilanmu akan berakhir dengan tidak menguntungkan?”
“Bukan tidak menguntungkan, ibu. Adalah menguntungkan bagi perjuangan kita, bila aku dihukum mati. Peradilanku pasti akan berakhir menurut yang kuduga. Pengikutku sudah terlalu banyak, sehingga tak mungkin orang yang berkuasa di negeri ini melepaskanku. Mereka akan menggantung aku. Itu tidak dapat dielakkan lagi.”

Ramalannya ternyata benar. Pengadilan hanya merupakan suatu permainan hina. Anakku ternyata luar biasa. Matanya yang cekung bersinar kembali dengan sinar gemilang yang pernah dimilikinya. Sikap penuh percaya dirinya seolah-olah memenuhi ruangan pengadilan yang gelap itu, dengan kebenaran dan perjuangannya. Aku hanya memahami sedikit dari apa yang ia katakan, tetapi aku dapat melihat ekspresi wajah yang penuh malu dari dewan hakim. Dan aku mengerti bahwa hakim memutuskan hukuman seperti yang memang harus diputuskan.
Peradilan, tuntutan, pembelaan, dan hukuman, semuanya telah diatur sebelumnya. Ini merupakan suatu pertunjukan sandiwara dari sebuah skenario yang telah disiapkan dengan baik. Setengah gila aku mendorong diriku masuk ke tiap pintu yang mengandung harapan, membenturkan kepalaku pada dinding yang tak dapat didaki. Hukuman mati itu harus segera dilaksanakan. Kini tidak berdaya menghadapi arus deras nasib, aku menunggu dan berdoa. Aku berdoa untuk ketabahan. Ketabahan untuk anakku, ketabahan untuk diriku. Aku terkejut oleh setiap suara halus di luar pintu, disebabkan oleh harapan yang tidak masuk akal yang memenuhi diriku. Masih belum waktunya. Mungkinkan ini merupakan penangguhan untuk anakku?
Apakah itu anakku yang berdiri di muka pintu yang dingin, menunggu dilepaskan menikmati masa depan yang aman dan berbahagia?
Anakku, anakku. Kau ditakdirkan untuk sesuatu yang besar, tetapi aku hanya seorang ibu yang lemah dan beban kesedihan begitu besar bagiku untuk dapat menanggungnya.

Dari : The Patriot, dalam Saloni Narang, 1984, “The Coloured Bangles, and Other Stories“, Three Continent Press, Washington D.C.

Salam,
R. Maryono, SJ

Leave a Reply

Required fields are marked *.