Fiat Voluntas Tua

Monogami: Masih relevankah ?

| 4 Comments

Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut. Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak daat menghanyutkannya.

Misa kali ini ada yang istimewa di paroki Blok Q, khusus misa jam 9.00 dirayakan Hari Ulang tahun Perkawinan  bagi para pasutri yang menikah di bulan Juli s/d Desember. Dengan mengambil tema ‘Bali’ seluruh umat dipersiapkan seperti masuk pura sebelum sembahyang . Para pasutri sesuai undangan  panitya diminta mengenakan kemeja putih dan kebaya putih dengan kain sarung. Kami mendapat sepasang kembang kemboja untuk disematkan di telinga, ikat kepala untuk yang pria, selendang kuning untuk diikatkan dipinggang dan sepasang lilin untuk dinyalakan saat memperbaharui janji pernikahan. Seluruh gereja dihias dengan kain kuning dimana-mana  termasuk para petugas liturgi dan koor menggunakan pakaian khas bali bahkan romo pun menggunakan ikat kepala pedanda. Tarian bali juga mengiringi di awal perarakan serta persembahan bahkan menjadi intro sebelum homili. Karena istimewa, maka gak masalah kalau kali ini Misa menjadi lebih panjang juga bacaan pertama dan keduapun disesuaikan dengan tema HUP “Ternyata Aku Makin Cinta” . Yang penting semua umat merasa disapa dan diberkati terutama mereka yang sudah menikah. Sayapun tidak kuasa menahan airmata mensyukuri rahmat Allah sepanjang 22 tahun perkawinan kami. Berikut adalah homili romo Maryono, pastor paroki Blok Q :

Hari ini kita merayakan secara khusus Hari Ulang tahun Perkawinan para pasutri yang menikah di bulan juli sampai dengan desember. Maka semuanya pun disiapkan secara khusus dengan satu maksud tentunya, agar bapak ibu senantiasa semua diberkati Tuhan untuk mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan berkeluarga seumur hidup.

Kalau tadi kita menyaksikan sendratari singkat tentang binatang-binatang, ini hanyalah mengisahkan bagaimana perilaku binatang dalam berkembang biak. Ternyata ada binatang-binatang yang setia pada pasangannya seperti merpati. Suatu penelitian dilakukan untuk melihat sejauh mana perilaku binatang dilihat dari jalur paternalistik, artinya gen dari sang bapak ke anak. Ternyata 70 persen keturunannya bukan berasal dari gen pejantannya. Lho? Jadi betinanya pun selingkuh. Hanya ada satu jenis binatang yang tidak pernah selingkuh, yaitu cacing pipih, sejenis cacing tanah. Saat betina dan jantan bersatu, mereka melebur menjadi satu tubuh. Sudah tidak ada lagi harapan dan kesempatan untuk selingkuh. Lalu bagaimana dengan kita manusia?

Adakah bapak ibu yang bisa menjawab perbedaan antara ‘tahu’ dan ‘percaya’? Didepan saya ada Odes dan Willy, anaknya namanya Nada. Odes tahu bahwa Nada itu anaknya Willy. Tapi Willy ya hanya bisa percaya saja bahwa Nada itu anaknya. Gerrr…..

Begitulah hakekat perkawinan jaman ini yang banyak kita temui disekitar kita. lalu apakah perkawinan monogami yang dipercaya dalam Gereja Katolik masih relevan di masa kini? Santo Thomas Aquinas menyatakan bahwa manusia tidak hanya mahluk yang bisa berpikir yang membedakannya dengan binatang dan tumbuhan. Tetapi manusia memiliki kehidupan rohani yang memampukan ia berhubungan dengan Allah, mendengar panggilan Allah dan menanggapinya.

Bacaan pertama berbicara bagaimana Hosea menunjukkan kesetiaannya mencari istrinya adalah tanda bahwa ia dikuatkan dengan hubungan yang erat dengan Allah. Kehidupan rohaninya yang erat dengan Allah membuat ia bertahan dan tetap setia  walaupun istrinya tidak jelas pergi kemana; toh ia tetap mencarinya dan tidak putus asa. Allah melihat kesetiaan Hosea dan menyatakan bahwa hubungan Allah dengan bangsa Israel juga seperti suami yang setia dengan istrinya. Walaupun Israel berzinah dengan menyembah berhala dan meninggalkan Allah, Allah tetap mengasihi bangsa Israel, bahkan mengutus Yesus datang ketengah bangsa itu. Yesus pun mengutip kitab Kejadian  yang menyatakan betapa setianya Allah kepada manusia seperti yang dinyatakan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan bapa-ibunya untuk bersatu dengan istrinya. Selamanya.

Dalam Injil dikatakan Yesus pun ditolak di Galilea di tanah kelahirannya. Kenapa? Kita perlu memahami bagaimana kultur orang Yahudi saat itu. Orang Yudea adalah kelompok orang-orang yang taat aturan Taurat. Sedangkan orang-orang Galilea tempat asalnya Petrus dan murid lain berasal adalah tempat yang subur dimana banyak usaha berkembang, sehingga mereka rata-rata hidup berkecukupan. Dan kalau sudah makmur, seperti biasa juga sudah tidak perlu memelihara kehidupan rohani. Toh sudah berkelimpahan tanpa berdoa. Kehidupan kita di kota besar juga seperti orang Galilea, gak perlu memelihara kehidupan rohani, maka mereka tidak bisa menerima karya Yesus disana. Lalu apakah kita masih perlu memelihara kehidupan rohani?

Kebanyakan pasangan yang datang berkonsultasi kepada saya dan romo Marwan, menyatakan bahwa mereka sudah tidak cocok lagi. Ada banyak alasan dan sebab, tetapi bila dirunut kebelakang lagi ternyata cocoknya dengan orang lain. Ada kesetiaan yang dilanggar, memang tidak salah. Binatangpun tidak setia pada pasangannya. Tapi apakah manusia itu sama dengan binatang?

Kemudian saya bertanya apakah mereka masih ke gereja dan mengikuti Misa? Ternyata rata-rata menjawab sudah tidak pergi ke gereja lagi. Lalu bagaimana dengan hidup doa nya? Ya kadang-kadang masih doa, itupun doa rosario, doa yang paling mudah dilakukan. Pernyataan St Thomas Aquinas tentang manusia rohani menjadi jelas disini. Kalau kita mulai meninggalkan kehidupan rohani, tidak lagi memiliki kehidupan doa, apalagi memelihara sakramen sebagai penghayatan kehadiran Allah dalam kehidupan kita, kita akan sulit menjaga dan memelihara kesetiaan.  Maka bila ada orang lain bisa melakukan perkawinan dengan banyak orang (poligami)  ataupun berkali-kali, pertanyaannya adalah apakah kehidupan rohaninya terutama relasinya dengan Allah juga kuat?

Saya kembalikan lagi kepada para pasutri, pada perayaan HUP ini, kita kembali mensyukuri kehadiran Allah yang menyertai tahun-tahun kehidupan kita. Tema yang kita ambil “Bali” selain berarti nuansa pulau dewata, pulau yang penuh dengan godaan duniawi tapi tetap menjaga kehidupan spiritualnya, sehingga masyarakatnya tidak terganggu dengan arus globalisasi dan tetap menjaga adat dan agamanya. Tapi ada pesan lain dalam kata “Bali” dengan konteks bahasa jawa, yang artinya ‘mbali’ atau ‘kembali’. Kita kembali melihat besarnya kasih Allah, kembali dari hiruk pikuknya kehidupan metropolitan dan menimba kasih Allah kembali. Kita kembali kepada kekuatan cintaNya, kembali kepada SakramenNya.

Maka saya mengajak semua pasutri dalam penziarahan hidup ini, untuk kembali bersama-sama mensyukuri kekuatan Allah yang senantiasa mampu memulihkan semua. Hanya manusia yang menjaga kehidupan rohanilah yang mampu memelihara kesetiaan dalam hidup berkeluarga. Dengan kata lain, monogami hanya bisa dimengerti oleh manusia yang menjaga kehidupan rohaninya. Oleh karenanya mari kita memperbaharui kehidupan doa kita, kembali menghayati janji Tuhan dalam Kitab Suci dan menikmati kekuatan Sakramen-sakramen yang menyadarkan kita akan kehadiran Allah dalam berbagai situasi. Sekali lagi doa saya bagi anda semua, semoga berkat  dan kasih karunia Allah senantiasa menyertai bapak ibu sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan berkeluarga seumur hidup.

==============================================================================================

Bacaan Mg Biasa IV : Hos 2:15-22; 3:1-5; 1Kor 13:4-13; Luk 4:21-30)

Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?”
Maka berkatalah Ia kepada mereka: “Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!” Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri.
Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu.” Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu.
Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.

4 Comments

  1. Thanks postingnya, sangat menarik, suatu pertanyaan yang mulai banyak timbul di era berkembang pesatnya alat2 komunikasi sehingga bisa ‘medekatkan yang jauh’ tetapi juga bisa ‘menjauhkan yang dekat’, akibatnya meskipun suami isteri sedang duduk, makan maupun tidur bersama tapi saling tidak berkomunikasi karena masing2 berkomunikasi dg orang lain.
    Mungkin perlu diadakan survey untuk menjawab pertanyan ini.
    Menurut saya pribadi perkawinan monogami tetap pilihan terbaik sampai saat ini karena hanya dalam perkawinan monogami suami isteri dpt saling mencintai seutuhnya, lebih konsisten dalam mendidk anak2 dan menjalani kehidupan berkeluarga dg lebih tenteram.

  2. Bagus sekali inisiatif untuk senantiasa mengingatkan akan “kasih setia” dalam pernikahan seperti apa yang Allah telah curahkan kasih-setia kepada umat manusia….

  3. Thanks untuk mb Inna dan mas kris, semoga kehadiran Allah dalam kehidupan keluarga anda juga menjadi kesaksian dan peneguhan bagi yang lain.
    Memang tidak mudah, tapi kalau dengan usaha manusia rasanya melelahkan. Tapi syukurlah kita selalu dapat menimba kekuatan baru untuk menghadapi tantangan kehidupan.

    AMDG – RA

  4. Dari PUMR….
    346. Warna-warna busana liturgis hendaknya digunakan menurut kebiasaan yang sampai sekarang berlaku, yaitu :
    a. Warna putih digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa pada Masa Paskah dan Natal, pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus ( kecuali peringatan sengsara-Nya ), begitu pula pada Pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada Hari Raya Semua Orang Kudus ( I November ) dan kelahiran Santo Yohanes Pembaptis ( 24 Juni ), pada Pesta Santo Yohanes Pengarang Injil ( 27 Desember ), Pesta Takhta Santo Petrus Rasul ( 22 Februari ) dan Pesta Bertobatnya Santo Paulus Rasul ( 25 Januari ).
    b. Warna merah digunakan pada hari Minggu Palma memperingati Sengsara Tuhan dan pada hari Jumat Agung ; pada hari Minggu Pentakosta, dalam perayaan-perayaan Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang Injil, dan pada perayaan-perayaan para martir.
    c. Warna hijau digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa selama Masa Biasa sepanjang tahun.
    d. Warna ungu digunakan dalam Masa Adven dan Prapaskah. Tetapi dapat juga digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa arwah.
    e. Warna hitam dapat digunakan, kalau memang sudah biasa, dalam Misa arwah.
    f. Warna jingga dapat digunakan, kalau memang sudah biasa, pada hari Minggu Gaudete
    ( Minggu Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV).

    Konferensi Uskup dapat menentukan perubahan-perubahan yang lebih serasi dengan keperluan dan kekhasan bangsa setempat. Penyerasian-penyerasian itu hendaknya diberitahukan kepada Takhta Apostolik.

    347. Dalam perayaan Misa Ritual digunakan warna liturgi yang ditentukan untuk perayaan yang bersangkutan, atau putih, atau warna pesta; dalam Misa untuk pelbagai keperluan digunakan warna liturgi yang sesuai dengan hari atau masa liturgi yang bersangkutan, atau dengan warna ungu bila perayaan bertema tobat seperti misalnya Misa di masa perang atau pertikaian, Misa di masa kelaparan, Misa untuk memohon pengampunan dosa; Misa Votif dirayakan dengan warna yang cocok dengan tema Misa yang bersangkutan, atau boleh juga dengan warna hari/ masa liturgi yang bersangkutan.

Leave a Reply

Required fields are marked *.