Fiat Voluntas Tua

Benarkah Sakramen Perminyakan hanya untuk orang yang sadar?

| 0 comments

Berikut saya bagikan perbincangan hangat yang sempat dibahas di sebuah milis dan mungkin bisa jadi perhatian kita juga. Kita tidak pernah jauh dari orang-orang tercinta yang menghadapi terminal kehidupan akhir dan umumnya kita pasti berusaha memenuhi keinginan mereka sebagai ‘last wishes’.
Di salah satu surel (surat elektronik) dikisahkan adanya beberapa oknum pastor, yang menolak memberikan sakramen perminyakan dengan alasan sang ‘pasien’ sudah dalam keadaan tidak sadar atau coma. Ditelpon tengah malam masih bertanya ‘bagaimana kondisi pasien? bisa diajak ngomong apa gak, dsb dsb. Dan akhirnya ia memutuskan tidak perlu diberikan sakramen perminyakan, dengan alasan karena makna sakramen tidak disadari oleh yang bersangkutan.

Inilah jawaban romo BS Mardiatmadja,  profesor dan doktor teologi STF Driyarkara serta pengalaman beberapa romo. Semoga menjadi pencerahan kita semua dan dengan tetap teguh berusaha memberikan yang terbaik bagi yang tercinta. Intinya marilah kita mengajak kerabat dan saudara serta rekan kita lebih dekat dengan Allah, lebih menyadari kasih dan kehadiranNya dalam kehidupan kita. Semoga kita juga tidak berhenti mendoakan para imam agar selalu senantiasa setia dengan rahmat panggilannya.

Frans dan teman-teman
Pada dasarnya Sakramen (lihat Lumen Gentium art. 1) adalah tanda dan sarana bahwa Allah berkarya dalam umatNya dalam aneka segi dan tahap hidupnya. Maka partner utama Tuhan dalam Sakramen adalah ‘umatNya’: hal itulah yang menjadi dasar penting baik dalam semua Sakramen (7) maupun khususnya Sakramen Baptis (khususnya Bayi), Sakramen Tobat, Sakramen Ekaristi maupun Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Perihal Sakramen Pengurapan Orang Sakit, karena partner Tuhan itu pertama-tama seluruh umat, maka kehadiran para saudara dan handai taulan bukan sekedar hiasan dan penggembira melainkan penting serta menyebabkan bahwa pengurapan itu dapat terjadi bahkan kalau kesadaran si sakit sudah amat sangat menipis.

Kecuali itu, diketahui bahwa salah satu indera yang paling akhir ‘tidak berfungsi’ (alias ‘masih tetap berfungsi pun kalau kelihatannya orang sudah tidak sadar) adalah pendengaran dan perabaan. Oleh sebab itu, dalam saat gawat, doa di telinga dan nyanyian serta sentuhan adalah bagian penting dalam pendampingan orang sakit (khususnya dalam Sakramen Pengurapan Orang Sakit). Apalagi, sudah merupakan hal umum diakui, bahwa dapat saja orang tidak sadar, namun titik akhirnya barulah ‘kematian otak’ (hai dokter2, koreksilah kalau saya keliru) sehingga ketidaksadaran tidaklah merupakan syarat Pengurapan Orang Sakit.

Salam hangat.
mardi bs

Frans dan teman-teman,
masih ada kemungkinan, bahwa ada orang memberi catatan sbb: “Wahyu membutuhkan jawab manusia” Maka diperlukan tanggapan si manusia. Kalau begitu, diperlukan bahwa “orangnya memberi jawab”.
Menurut saya catatan kita adalah: “Ini bukan masalah ‘atau ini atau itu’ melainkan “ya ini, ya itu”. Artinya, segi pribadi adalah bagian jawab iman iman; tetapi aspek sosial (peran komunitas beriman yi keluarga, handai taulan) adalah aspek eklesiologis yang penting. Contoh utama adalah baptis bayi. Lainnya dapat mengenakan penjelasan saya yang lalu.
Dengan demikian, dalam situasi ‘kesadaran menurun’ pun Sakramen Pengurapan Orang Sakit tidak perlu ditolak. Salah satu bukti lain adalah tradisi yang sudah lama diakui ada dalam Gereja tentang Baptis yang diberikan dalam keadaan darurat, ketika orangnya tidak pasti “apakah masih hidup, ataukah sudah mati (sepenuhnya? )”. Lalu, argumentasi medis yang saya sebut dalam email sebelum ini dapat diajukan. Kalau ada keraguan: dapat melihat Buku-buku resmi Rituale Romanum (Bagian “Ordo Ministrandi Sacramentum Extremae Unctionis” dan khususnya “Ritus Benedictionis Apostolicae cum Indulgentia Plenaria in articulo mortis”, lalu masih ada bagian lebih khusus: “Bila sudah hampir mati”).

Salam hangat. Berkat Tuhan.
mardi bs

Mbak Ratna dkk,
Terima kasih atas peringatan agar para imam segera berangkat memberi pengurapan orang sakit begitu diminta. Sejak lama sebelum masuk seminari, saya sudah mendengar dari wargi Rm Sandiwan Broto ketika meminyak suci tetangga: “Romo boleh menunda acara apapun selain minyak suci”…

Ketika belajar di seminari pun saya  mendengar dari dosen, hal yg sama yg disampaikan rm Mardi, bahwa minyak suci tetap harus dilakukan, juga kendati pasien tidak sadar karena sebenarnya tetap bisa merasakan. Juga melihat kesaksian dan diajak para romo yg baik bahwa ketika dipanggil darurat minyak suci, mereka  segera berangkat tanpa menunda dl waktu yg tak wajar…

Dan ketika saya jadi imam, saya mengusahakannya pula, dan alhamdulilah,  baru tiga kali  terlambat / kepancal, sudah dg kecepatan tinggi ke tempat si sakit, sampai di sana keluarga sudah tangis-tangisan… saya  tetap masuk dan ajak berdoa. Kini di jakarta, saya siap selalu minyak suci di mobil, dlm tas, juga stola ungu dan buku liturgi Oleum Infirmorum, bhs jawa, indo, dan inggris. Memang menurut pengalaman,  2 kali ditelpon ke RS ketika sedang bermobil. jadi, langsung meluncur. Memang tidak secepat superman… masih bisa kena macet dan kepancal…namun semoga tidak lagi.
Salam
YDHpr

Sedulur,

Sudah beberapa kali ngalami nih.Berangkat minyak suci. Sampai di tempat yang mau terima sakramen minyak suci baru saja wafat. Masih anget-anget dikit gitu.Yo diminyak suci ajah to….
WW

Sering orang yang berada dalam proses kematian sudah tidak memiliki kontak dengan orang lain seperti tidak bisa berbicara, tidak bisa berbahasa tubuh dan melakukan cara-cara komunikasi lain. Tapi, menurut dr Siegel dalam bukunya, Love, Miracle and Medicine, pendengaran merupakan indera terakhir yang hilang dalam proses tersebut. Jadi, kemungkinan orang yang sedang dalam proses meninggal masih bisa mendengar apa yang dibisikkan oleh orang lain kendati dia tidak bisa meresponsnya. Keadaan ini sering disebut sebagai keadaan koma…

Di samping itu, manusia kan memiliki pusat kognitif, memori, emosi dan spiritual. Jika terjadi kerusakan pada pusat kognitif dan memori di dalam otak besarnya (termasuk semua pusat penginderaan) seperti yang terjadi pada stroke perdarahan yang luas, dia memang tidak bisa berkomunikasi. Namun, jika pusat spiritualitasnya yang lokasinya lebih dalam di dalam otak manusia itu masih utuh (orang awam mengganggap pusat ini berada di hati dengan mengatakan Roh Kudus berada dalam hati orang beriman yang mau menerima dan memelihara-Nya) , maka refleksi saya mengatakan bukankah orang semacam ini sedang berada dalam fase kontemplatif sebelum benar-benar berpulang ke pada Sang Pencipta. Jadi, sakramen perminyakan sungguh akan menguatkan dirinya agar siap menghadap di hadirat Allah.

dr. andryhart

Dear Bu Ratna Ariani dan anggota milis KAS

Amat di sayangkan kalau demikian. Ini sisi lain,  Romo Suparso MSF pernah di telepon bapak Paulus Purnomo  (kenalan saya di Pukenden), tolong romo ada yang mau menerima sakramen orang sakit di RS Elisabeth, siapa pak Paulus Purnomo tanya romo. Romo datang saja di ruangan ini ….. . Ketika romo tiba, beliau bertanya, siapa pak Pur… saya sendiri romo. Beberapa hari kemudian bapak Paulus Purnomo meninggal dunia.  Sungguh bahagia keluarga dan pak Paulus Purnomo menerima kepulangan orang tercinta ke rumah Bapa, lengkap sesuai tata cara gereja kita.

Lain kesempatan saya mendengar romo yang sama kotbah di kapel Shekinah jl Pemuda Semarang. Ada seorang anak, dalam kondisi diinfus sedang menunggu jumputan dari Singapura karena pengobatan di Semarang tidak memberikan harapan pada mereka. Orang tuanya mengundang romo Parso, dan setelah menerima sakramen orang sakit, anak ini berangsur sembuh dan tidak jadi dibawa ke Singapura.

Mujisat itu nyata, dan datang lewat seorang Suparso yang memiliki kuasa khusus, tahbisan sebagai iman, mendapat  perintah/ kuasa  langsung dari Kristus  dalam kepercayaan Katolik kita. Oleh karena itu, jangan lupa mendoakan para imam kita, khususnya pada tahun kesucian imam ini. Kapan dan dimana saja.

Salam Hangat
Martin T Teiseran

Saya sangat setuju dan terimakasih bila para romo mau melakukan saran romo Mardi. Saya mempercayai bahwa sakramen merupakan sarana kita komunikasi dengan Tuhan.
Saat pemberian sakramen, yang menerima maupun yang menyaksikan penerimaan adalah satu kesatuan kegiatan mendekatkan diri dengan Tuhan. Kalaupun yang menerima sudah kelihatan mati, tidak bisa komunikasi verbal, tetapi pasti ada cara dimana target masih bisa mengerti kehadiran kita dan usaha kita menerimakan sakramen dan doa2 pendampingan kita.
AMDG
YAnto

Leave a Reply

Required fields are marked *.