Fiat Voluntas Tua

Tuhan telah mati, FB lah yang membunuhNya

| 2 Comments

Tulisan mbak Anjar ini saya bagikan sebagai permenungan awal tahun 2010 agar kita sungguh menyadari bahwa bagaimanapun situasi yang kita hadapi dan seperti apapun perasaan kita, Tuhan itu tetap ada. Tuhan tidak tergantung pada situasi, tigak tergantung pada  perasaan kita. Tetapi kitalah yang terkadang membuatNya ‘tiada’ sehingga kehadiranNya tidak kita sadari.

Saya tergelitik menuliskan ini setelah menghadiri sebuah Perayaan Ekaristi di sebuah kampus. Kebetulan Misanya sedikit telat dimulai. Tapi, di sebelah saya begitu Misa dimulai dia sudah sibuk dengan HP-nya. Saya pikir dia sedang ber-SMS. Karena hingga Misa dimulai dia masih bersibuk juga, sempat saya tegur, “Sibuk, Bu?”. Dia hanya menyeringai. Hingga pertengahan Misa, dia masih berkutat dengan HP-nya. Sejujurnya saya sedikit risih. Tapi, mau gimana lagi? Sudah ditegur, masih begitu juga. Sampai ketika menjelang persembahan, saya mendengar sebuah bunyi ring telepon. Saya pikir dari HP yang di sebelah saya itu.

Ternyata, beberapa bangku setelah dia, seorang ibu-ibu berdandan rapi dan cantik tengah mengangkat teleponnya. Nampaknya ia tidak berusaha menerangkan atau menyudahi pembicaraan karena ia sedang mengikuti Misa. Itu terlihat dari gerak tubuh dan waktu sekian menit ia bertelpon. Kali ini saya dan gadis muda yang juga masih sibuk dengan HP-nya saling berpandangan. Kami sama-sama tahu, bahwa kami terganggu dengan kondisi ini. Saya lebih nggak bisa apa-apa lagi selain berharap pembicaraan ibu itu cepat selesai. Suara sang ibu cukup terdengar sampai ke tempat duduk saya yang sederet dengannya. Dari tampilan dan letak duduk kami, saya menduga dia adalah salah satu dosen dari kampus itu. Ah, saya jadi makin geleng-geleng kepala saja. Setelah Bu Dosen itu menyelesaikan pembicaraannya, perhatian saya kembali kepada gadis muda yang duduk di sebelah saya. Dia masih tetap saja berkutat dengan HP-nya.

Hingga akhirnya dia menahan kesal dan berujar pelan, “ Susah amat sih mau up date status di facebok? Daritadi mental terus”. Hah??!!?! Jadi, selama ini berkutat dengan HP itu karena dia sedang berusaha mengubah statusnya di facebook bukan karena sedang SMS? Selesai Misa, gadis itu tersenyum panjang sebab up date status FB-nya bisa terlaksana. (tidakkah ini semacam tanda supaya dia tidak melakukan hal itu selama di misa?)Well. Saya nggak bisa komentar banyak lagi. Cuman bisa menepuk-nepuk bahu gadis di sebelah saya itu.

Di dunia yang serba canggih dan (katanya) membuat kemudahan pekerjaan banyak orang ini, nampak semakin absurd bentuk atau kondisi boleh atau tidaknya sesuatu yang kita kerjakan pada suatu waktu atau tempat.

Saya ingat dulu, ibu alm nggak memperbolehkan saya keluar rumah dengan bercelana pendek apalagi menerima tamu. Harus ganti dengan baju yang lebih sopan. Tapi, sekarang bercelana pendek ke gereja pun rasanya semua orang idem saja. Jika bertamu, pukul 20 beberapa waktu lalu dianggap terlalu malam. Waktunya orang beristirahat dan berkumpul dengan keluarga.

Sekarang? Pukul 22 juga masih boleh karena kebanyakan orang baru sampai di rumah pukul 21. Lalu, waktu beristirahat dan untuk keluarga? Ya bisa jadi, disambi diantara itu. Cuman… Apakah hal-hal seperti itu juga menjadi permakluman untuk yang berhubungan dengan waktu khusus di rumah Tuhan? Kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup memang tidak bisa kita singkirkan begitu saja. Malah kita diberi akal dan budi supaya terlaksanalah kewajiban itu. Tak bisa disalahkan juga makin hari, kebutuhan hidup semakin bertambah. Harus bekerja keras supaya semua itu bisa terpenuhi. Tapi, dari 7×24 jam = 168 jam kita diberi untuk menggapai banyak cita itu, Tuhan hanya meminta sekitar 1 jam saja untuk sekadar menyapa dan berterima kasih padaNya, “Tuhan, apa kabar hari ini? Terima kasih untuk selalu menyertaiku ya….” Tak salah bukan menyapaNya sebab Ia selalu menyapa kita setiap saat? Bahkan mungkin bercakap-cakap denganNya. 1 jam saja. Tidak sampai berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Setelah itu, boleh lah kita tenggelam dalam kesibukan atau kesenangan kita lagi. Dari yang hanya 60 menit itu, apakah harus “didiskon” lagi untuk memenuhi hasrat ber-FB dan atau bertelpon, entah untuk urusan apa pun? Apakah kepentingan duniawi lebih penting dari sekadar bertemu yang memberi hidup untuk memenuhi kepentingan itu? Atau memang FB lebih menarik dari kotbah Pastor? Seorang adik damping yang saya curhati tentang hal ini berkomentar, “Tuhan telah mati. Facebooklah yang membunuhnya”. Benarkah?

* tulisan ini saya tulis sebagai permenungan saja tanpa bermaksud menyinggung pihak-pihak tertentu.

Anjar Anastasia

(sabtu sembari meriang, 26 April 2009)

2 Comments

  1. ada sebuah kisah yang tak pernah di sadari manusia untuk apa hari esok..
    aq pernah memahami sebuah hal yang sulit tuk ku mengerti..dan secara perlahan aku mulai mengerti apa itu hari esok…dan ternyata hari esok adalah hari di mana kita akan menemukan semangat baru….semangat yang berarti untuk hari ini…dan sesungguh nya tuhan tak pernah mati karna fb…hanya tergantung orang yang menggunakan fb….tuhan selalu ada sebagai semangat yang berarti dalam hidup yang sesungguh nya tak kan ada setelah ini…hidup yang indah sesuai semangat yang kita miliki….beribu-ribu kilo tak kan berarti jika semangat ada sebagai tuhan yang baru dalam kehidupan..

  2. terima kasih sudah membagikan tulisanku ini kepada yang lain…
    Tuhan berkati…

Leave a Reply to handoko Cancel reply

Required fields are marked *.