Fiat Voluntas Tua

Korupsi

| 0 comments

ImagePeringatan Hari Anti-Korupsi Sedunia, 9 Desember :
INDONESIA SEHAT LAWAN KORUPSI, BUDAYAKAN MALU KORUPSI! “koruptor lebih kejam dari penjajah”. Mendukung cita-cita mulia ini dengan pasukan doa. Indonesia harus bersih. Satu suara dari tiap-tiap orang untuk perubahan. Perjuangan bangsa Indonesia sekarang bukan lagi merdeka atau mati, tetapi :
INDONESIA HARUS BERUBAH ATAU PUNAH!!

KORUPSI DI MASYARAKAT KITA

Sungguh memprihatinkan, negara Indonesia mempunyai masyarakat yang religius tetapi banyak korupsi. Gereja setiap ada ibadah penuh, Masjid juga penuh, tetapi korupsi jalan terus. Ini karena ajaran agama salah dihayati. Korupsi adalah penyakit yang ditimbulkan oleh pemisahan ajaran agama dari perilaku keseharian manusia. Memang, korupsi bisa saja dilakukan semua orang baik yang beragama maupun yang tidak beragama, tetapi ajaran-ajaran agama dengan jelas mengajarkan moralitas yang baik, dengan jelas pula meng-haram-kan praktek-praktek korupsi, mencuri dan sejenisnya. China, negara komunis juga pernah menderita akibat praktek korusi, namun semenjak PM Zhu Rong Zi menjabat, ditegakkan suatu hukum yang ketat untuk membasmi korupsi. Bahkan dengan tegas ia mengatakan kalau saja ada yang bisa membuktikan dia korupsi, dia bersedia dihukum mati. Dan dengan kejelasan hukum itu menjadi salah-satu tonggak kemajuan The New Modern China saat ini.
Korupsi adalah merupakan masalah yang kompleks. Ia berakar dan bercabang di seluruh masyarakat. Entah di organisasi yang berorientasi keagamaan maupun sekuler. Dalam arti luas, korupsi mencakup praktek penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh. Bentuk korupsi yang paling umum adalah “nilep dana”. Mencuri (menilep) uang kas, mark-up dana proyek dsb. Hal tersebut sudah biasa dilakukan di negara kita ini. Dan dimata internasional negara ini tidak bisa mengelak bahwa Indonesia termasuk negara yang terkorup nomor sekian. Tidak ada bidang kehidupan di negara ini yang belum tercemar virus korupsi jenis ini, baik yang kecil maupun yang besar.

Belum lagi model korupsi yang sifatnya “suap” atau “sogok” yaitu memberi sesuatu kepada pejabat agar ia melakukan sesuatu yang sebenarnya wajib dilakukannya secara cuma-cuma. Pemberian itu tidak terbatas pada uang, tetapi bisa berbentuk mobil, tanah, perhiasan, rumah, seks, makanan dan minuman, emas, batu mulia, saham, dll. umumnya yang dihargai oleh si pejabat. Suap semacam ini lazim oleh orang Jepang disebut “peanut”, artinya peanut (kacang) itu kecil nilainya, yang sebenarnya tidak layak jika dibanding dengan dampak yang diderita negara/rakyat secara keseluruhan.

Pembenaran suap beragam coraknya. Ada yang berpendapat bahwa suap itu sebenarnya sekadar hadiah di antara kawan, sebagai balasan atas kemurah-hatian yang tidak ada hubungan dengan jabatan si penerima. Bahwa hal-hal itu merupakan imbalan pengganti tenaga dan pikiran yang telah diberikan oleh si pejabat. Azas timbal-balik adalah norma dasar yang dianuti setiap kebudayaan di sepanjang masa. Lazimnya, penerima hadiah merasa berhutang pada pemberi hadiah. Menolak hadiah, atau menerima hadiah tetapi kemudian tidak membalas dianggap sikap permusuhan. Namun demikian memberi hadiah kepada seorang pejabat tinggi juga dinilai negatif, yaitu sebagai upaya menjilat, menjalin hubungan, atau mempengaruhi. Seorang penguasa yang menerima sogokan dan tidak membalasnya dengan jasa, dianggap tidak bijaksana, dan tidak adil.

Ada sementara anggapan bahwa sogok atau suap baru dianggap tidak bermoral apabila ia disoroti dan dikecam oleh masyarakat luas. Bila tidak terjadi pengecaman, maka suap cuma dianggap sebagai cara yang praktis untuk memperoleh tanggapan positif atas suatu permohonan dan upaya untuk memuluskan suatu usaha tertentu.

Kasus yang terkenal pada jaman Yesus ini adalah “suap” kepada Yudas Iskariot, ia menerima 30 keping uang perak untuk harga seorang Mesias. Meskipun pada waktu itu istilah suap mungkin belum muncul, tetapi inilah salah satu model suap. Dan kemudian penerima suap melakukan sesuatu seperti yang diingini oleh pemberi suap. Transaksi ini mirip dengan jual-beli.

Penegakan moral anti-suap jarang terjadi. Yang terjadi hanya sekedar kasak-kusuk pembicaraan atau gossip, di negara ini belum ada rujukan Hukum yang pasti mengenai suap ini. Yang dikecam adalah yang menerima suap, sedangkan yang memberi suap bebas dari kutukan masyarakat. Hal biasanya terjadi ialah seorang penyuap akan kecewa tatkala penerima suap tidak melakukan sesuai yang dikehendakinya.

KORUPSI – MENCURI

Akibat korupsi, hanya akan ada kekacauan hukum dan kekerasan, karena orang menjadi ‘serigala’ bagi sesamanya, karena orang mau menjajah sesama warga masyarakat atau warga negara lainnya. Praktek-praktek korupsi yang kita jumpai di negara ini adalah justru dilakukan oleh orang-orang yang terpilih untuk mengemban amanat rakyat (wakil-wakil rakyat) dan para pejabat. Praktek ini telah begitu mewabah dan mungkin sudah menjadi tradisi di hampir seluruh lapisan masyarakat yang memegang jabatan.

Korupsi bisa disamakan dengan mencuri, karena mereka telah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Indonesia adalah negara yang berketuhanan, dan setiap agama tidak pernah mengajarkan umatnya untuk melakukan hal ini. Dengan demikian memberantas korupsi menjadi tugas seluruh lapisan masyarakat termasuk kaum agamawan yang selama ini dianggap umat masyarakat mempunyai otoritas memberikan pengajaran dan teladan bagi umat. Keadaan sekarang menuntut mereka untuk tidak hanya sekedar menyampaikan hal-hal bersifat ritualistik tetapi penting para pembina rohani itu mengajar dalam bentuk dorongan moral. Paradigma lama yang menganggap pemberantasan korupsi tidak terlalu penting harus segera diubah. Melalui keyakinan bahwa memberantas korupsi menjadi jihad/ perang rohani/ perang moral dan perlu diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk terlibat aktif.

Negara ini sudah terlalu lama menderita, rakyat berharap negara ini maju, yaitu rakyat bebas dari segala penderitaan dan dapat menikmati kesejahteraan. Sayangnya, justru penderitaannya diteruskan karena cita-cita bangsa dengan segala aspirasinya dikorupsi oleh kelompok bangsanya sendiri

KORUPSI DALAM GEREJA

Yang menarik adalah bahwa korupsi atau penyalahgunaan dana yang bukan haknya terjadi pula dalam dunia “suci” seperti dana urusan naik haji di Depag, misalnya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak selalu korup!” Keadaan semacam itu terjadi juga dalam sejarah gereja.

Ketika Kaisar Constantine memeluk agama Kristen, kemudian Istitusi Gereja dan Imperium Romawi menyatu dan kekuasaan Gereja Katolik Roma mulai menggusur bentuk-bentuk kekuasaan yang lain. Pada saat itu pula praktek suap mulai berbentuk jual-beli jabatan gereja. Transaksi jual-beli kedudukan dalam birokrasi gereja atau simoni tak tersentuh hukum. Mereka menganggap hukuman hanya diberikan di akhirat. Di dunia, seorang yang bersalah paling sial hanya diusir dari gereja, atau dipecat dari jabatannya. Pada saat itu pula terjadi jual-beli surat pengampunan dosa yang merajalela. Praktek yang menyebar pesat ini merupakan sumber penghasilan gereja yang amat penting.

Bahwa ada bagian dari Yudas Iskariot dalam setiap pribadi kita umat Allah, mungkin diantara anda tidak setuju dengan pendapat ini. Tetapi mari kita pelajari karakter Yudas ini yang dikenal sebagai salah-satu murid Yesus yang memegang uang-kas pelayanan Yesus bersama murid-muridNya. Alkitab dengan jelas menulis bahwa ia adalah seorang pencuri.

* Yohanes 12:6
….. karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.

Berapapun besarnya kekuasaan/wewenang atau seberapa terbatasnya kekuasaan, korupsi adalah salah satu penyalahgunaan kekuasaan. Yudas diberi wewenang untuk mengelola uang kas, dan ia menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Yudas dipanggil Yesus untuk menjadi muridNya, tetapi kedekatannya dengan Yesus tidak juga membawanya menjadi baik, karena memang ia sengaja menjauhkan dirinya daripada mengikuti teladan-teladan yang diajarkan Yesus. Yudas membawa-bawa uang kas, itu sama dengan anda dan saya, bukan?. Kita diberi berkat dari Allah secara materi, namun apakah kita lebih mencintai harta daripada Tuhan sendiri, sehingga kita mungkin punya kecenderungan menjadi pencuri seperti Yudas.

Yang kita jumpai sekarang ini, betapa banyak Hamba Tuhan (pendeta, diaken, pengurus, dll) yang menyarankan jemaat untuk setia memberi persembahan, membayar perpuluhan rutin dan menyantuni orang miskin, namun pada akhirnya justru mereka para penghimpun dana gereja ini jatuh dalam dosa ‘pencurian’ terhadap uang kas gereja. Bahkan tidak jarang uang persembahan itu menjadi asset pribadi. Mereka menghimpun dana diakonia dari jemaat, tetapi giliran ada jemaat/orang miskin/orang sakit yang butuh disantuni, mereka akan berdalih banyak-banyak dengan menggunakan strategi birokrasi gereja yang bertele-tele, padahal dana diakonia itu dipersembahkan para jemaat dengan hati yang tulus. Bukankah ini sering kita temui?

Memang, Tuhan memandang perlu akan pentingnya uang untuk pelayanan, dan setiap hamba Tuhan yang melayani jemaat berhak mendapatkan upahnya (1 Korintus 9:9-14). Tetapi tidak sedikit para pelayan Tuhan ini terjangkit penyakit “cinta uang” dan itu jahat dimata Tuhan (Roma 16:17-19).

Mengapa korupsi juga melanda gereja?

Ada permasalahan teologis terletak di sini, yaitu gereja secara keseluruhan belum memberi pemahaman yang alkitabiah tentang Salib. Pengertian Salib ialah Yesus yang menderita untuk keselamatan ciptaan-Nya. Orang yang bersedia menderita dengan tidak mengikut cara duniawi untuk memperoleh kehidupan “layak, mewah, serba wah” itulah hidup dalam Salib. Salib berarti menderita. Untuk mencapai kepuasan di dunia, kita tidak mengikuti arus duniawi. Korupsi, jelas merupakan tindakan yang menanggalkan dan membuang jauh penghayatan kita tentang Salib. Sebab kebahagiaan/ kepuasan tidak dapat terpenuhi hanya dari segi materi saja.

Tuhan Yesus sudah memberi teladan bagi kita bagaimana hidup yang berarti bagi orang lain yaitu melalui jalan salib untuk mana kitapun diundang mengikutinya. Yesus Kristus dalam pengajaranNya yang sangat terkenal Kotbah di Bukit menyatakan “Berbahagialah orang yang menderita oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10).

Tindak korupsi, apalagi yang dilakukan didalam lingkungan gereja oleh para hamba Tuhan, itu jelas bukan suatu pengabaran tentang Injil Salib!.

* Ibrani 13:5
“Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman:”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

PENANGGULANGAN KORUPSI

Muncul ide dari beberapa pakar agar budaya korupsi itu pelan-pelan dihilangkan lewat pendidikan. Mungkinkah? Apakah pendidikan kita dapat menjadi sarana untuk menekankan nilai “anti korupsi” pada orang-orang kita?

Romo Magnis pernah berpendapat bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Mereka mengangap bahwa agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja, sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Karena perannya tidak berarti, pesan-pesan/ ajaran-ajaran agama hanya sebatas seruan saja. Karena hanya sebatas seruan saja, agama tidak memiliki pengaruh apapun terhadap persoalan korupsi. Semestinya agama/gereja bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibanding institusi lainnya. Sebab agama mempunyai korelasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar, maka kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat, bahwa korupsi bisa membawa dampat yang sangat buruk. Dampak itu bukan saja kepada kondisi masyarakat, bangsa dan negara saja, tetapi terlebih kepada beban rohani setiap pemeluknya dimana mereka harus mempertanggung- jawabkan dosa itu kepada Tuhan.
Selain itu Romo Magnis berpendapat bahwa, musti pula diciptakan opini publik bahwa korupsi tidak sejalan dengan misi agama. Korupsi berdampak buruk dilihat dari sudut pandang ajaran agama. Dengan demikian kiranya opini tersebut dapat mempengaruhi keberanian para politisi dalam memungkinkan terjadinya korupsi.

Kita perlu seorang pemimpin atau politisi yang mempunyai komitment anti korupsi dan menciptakan hukum yang jelas terhadap tindak korupsi apapun, seperti mantan Perdana Mentri China Mr. Zhu Rong Zi, tetapi beliau ini sampai sekarang sepertinya masih komunis (atheis) — Bagus Pramono

Leave a Reply

Required fields are marked *.